Jumat, 03 Mei 2024 | 13:24
OPINI

Perempuan ga bisa bisa jadi pemimpin karena baperan?

Intip Kepemimpinan Jacinda Ardern sebagai Pemimpin Perempuan di Selandia Baru

Intip Kepemimpinan Jacinda Ardern sebagai Pemimpin Perempuan di Selandia Baru
Jacinda Ardern sebagai pemimpin perempuan di Selandia Baru (Dok Ask)

Oleh: Hafiya Nuruna 

 
ASKARA - Keberadaan pemimpin sejatinya dari dulu hingga sekarang mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam organisasi dan masyarakat. Di dalam dinamika masyarakat dan organisasi, rasanya tidak mungkin dengan banyak dan beragamnya individu didalamnya, untuk bekerja dan memimpin diri mereka masing-masing untuk mencapai tujuan bersama mengingat semakin beragamnya kebutuhan dan kepentingan masing-masing individu. 

Untuk itu, keberadaan pemimpin sejatinya memang sangat dibutuhkan untuk berjalannya suatu organisasi dan dinamika masyarakat di suatu negara. Pemimpin yang dimaksud juga bukanlah hanya seorang pemimpin yang sekedar “dapat mempengaruhi orang lain” atau “dapat memerintah” terlebih lagi di zaman sekarang dengan perkembangan yang sangat masif dalam berbagai sektor, mengharuskan sosok pemimpin untuk memiliki kriteria-kriteria tertentu untuk dapat secara efektif dan etis menjadi seorang pemimpin. 

Semakin berkembangnya zaman, banyak orang yang seakan melupakan konsep etis dalam sosok pemimpin. Banyak tokoh-tokoh pemimpin organisasi bahkan dunia yang dijadikan acuan oleh banyak orang atas kinerja dan prestasinya saat menjadi pemimpin, tetapi banyak diantara mereka yang tidak berlaku etis dalam kepemimpinannya. Kepemimpinan yang tidak etis dapat menyebabkan banyak dampak buruk baik bagi internal organisasi maupun sampai ke external organisasi. 

Pemimpin adalah pilar bagi suatu organisasi, pemimpin yang tidak etis, akan menyebabkan buruknya kinerja organisasi dan bahkan menjadi contoh bagi anggotanya yang lain untuk bertingkah laku tidak etis. Untuk itu urgensi kepemimpinan yang etis sangat dibutuhkan terlebih lagi di zaman sekarang mengingat semakin berkembang dan beragamnya individu dan masyarakat. 

Konsep kepemimpinan memiliki banyak pengertian, Gary Yukl, mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju tentang apa yang perlu untuk dilakukan dan bagaimana hal tersebut dapat dilakukan secara efektif. Kepemimpinan juga merupakan suatu proses memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai suatu tujuan bersama. Sedangkan Peter Northouse mendefinisikannya sebagai proses mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai tujuan bersama (Perry 2018). 

Dari banyaknya konsep kepemimpinan yang ada, dapat ditarik kesamaan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana individu mempengaruhi suatu kelompok tertentu untuk mencapai suatu tujuan bersama. Kepemimpinan memiliki banyak model dan gaya yang berbeda, seperti kepemimpinan melayani, inovatif, dan kepemimpinan etis. 
Kepemimpinan etis atau ethical leadership adalah suatu gaya kepemimpinan dimana pemimpin memimpin dan mempengaruhi para anggotanya dengan mengedepankan perilaku etis seperti bertanggung jawab, empati, berintegritas, toleran, dan lainnya. 

Ethical Leadership sendiri dapat didefinisikan sebagai seseorang yang tidak bias dan tidak memihak, bertindak secara etis, mempertimbangkan kebutuhan orang lain, dan menjaga hak-hak individu (Zhu.,et al 2004, dalam Wirba 2023). Tracy (2016), seperti yang dikutip dari Wirba (2023), ethical leadership mendorong adanya akuntabilitas, integritas, toleransi, dan kejujuran. 

Karakter dari kepemimpinan etis ini berkaitan dengan pembentukan hati nurani yang baik dalam diri seorang pemimpin. Pemimpin adalah mereka yang tidak hanya setia kepada hati nurani mereka, tetapi juga mereka yang membentuk hati nurani yang baik ke individu atau kelompok lain. Pemimpin yang beretika tidak hanya berusaha untuk melihat dan mengubah diri mereka sendiri menjadi orang tertentu, tetapi juga yang membantu para pengikutnya untuk menjadi orang tertentu juga  (Perry, 2018). 

Jacinda Ardern adalah satu dari banyak contoh pemimpin yang beretika tersebut. Jacinda Ardern adalah mantan Perdana Menteri Selandia Baru. Pada awal karirnya, Jacinda Ardern sudah mendapatkan banyak sorotan karena posisinya sebagai pemimpin negara di umurnya yang masih tergolong muda dan posisinya sebagai perempuan. Bukan hanya tampil sebagai sosok pemimpin perempuan sekaligus seorang ibu di tengah-tengah banyaknya kursi pemerintah yang mayoritas ditempati oleh laki-laki, kepemimpinan Jacinda Ardern juga sangat menonjol selama masa jabatannya. Ardern terkenal sebagai seorang pemimpin “yang penuh dengan kasih sayang” dan berani. Ia tidak takut untuk mengambil langkah yang menurutnya benar untuk dilakukan.

Ardern adalah pemimpin yang memiliki rasa kasih sayang, empati, dan sifat toleransi yang besar, seperti kepemimpinannya dalam merespon salah satu peristiwa besar yang pernah menggemparkan dunia, yaitu penembakan masjid di Christchurch. Peristiwa ini setidaknya menewaskan 49 orang termasuk perempuan dan anak-anak dan sebanyak 48 orang mengalami luka dan cedera (CNBC, 2019). 

Masyarakat Selandia Baru, khususnya muslim di sana, mengalami kedukaan dan kesedihan yang mendalam akibat peristiwa tersebut. Bukan hanya warga Selandia Baru, reaksi yang besar dan beragam pun muncul dari berbagai macam belahan dunia. Banyak umat muslim, baik itu di Selandia Baru maupun di negara lain, merasa takut dan khawatir akan keselamatan diri mereka masing-masing (CNBC, 2019). 

Melihat peristiwa tersebut, Ardern dengan segera merespon dengan langsung mengambil langkah tegas untuk mereformasi kebijakan tentang  kepemilikan senjata (gun law), seperti yang dikutip dari BBC (2019). Segera setelah peristiwa penembakan tersebut, Ardern bergerak untuk memperketat undang-undang senjata api Selandia Baru, melarang senjata semi-otomatis gaya militer hanya enam hari setelah serangan itu. Lebih dari 62.000 senjata api akhirnya ditarik dari peredaran melalui skema pembelian kembali senjata api (The Guardian, 2023). Ardern bergerak dengan cepat untuk memastikan bahwa setelah kejadian ini, tidak akan ada kejadian seperti ini lagi apapun alasannya. 

Ardern memberikan empatinya yang luar biasa kepada muslim di sana, dikutip dari BBC News (2019), sehari setelah penembakan itu terjadi Ardern dan anggota parlemen lainnya menemui para korban dari penembakan di Christchurch dan anggota komunitas muslim lainnya dan memeluk mereka sebagai bentuk pengakuannya atas kesedihan dan kedukaan yang dialami oleh para korban dan muslim disana. Ardern, sebagai bentuk penghormatan dan pengakuannya terhadap kesedihan mendalam yang dialami para muslim di sana, menggunakan kain hitam sebagai jilbab sebagai bentuk penghormatan sederhananya saat menemui para komunitas muslim dan korban dari penembakan Christchurch. 

Beberapa hari setelah penembakan, Ardern berpidato di parlemen dan membuka pidatonya dengan penyataan kecil namun berani dan mengucapkan “Assalamualaikum” yang merupakan salam yang diucapkan oleh umat muslim. Ardern juga dengan berani menyebut peristiwa tersebut sebagai serangan teroris, mengingat bahwa pelaku adalah seorang berkulit putih yang dimana banyak pejabat yang enggan menyebutnya sebagai serangan teroris, Ardern dengan berani menyebutnya sebagai serangan teroris. 

Ardern juga menolak untuk menyebut nama pelaku penembakan ini, seperti yang dikutip dari Doherty (2023) dalam The Guardian, “Sebutlah nama-nama mereka yang hilang, bukan nama orang yang mengambilnya,” sebutnya. 

“Dia mungkin mencari ketenaran tetapi kami tidak akan memberikan apa-apa, bahkan namanya,” katanya.

Ardern secara tegas menolak memberikan rasa simpatinya sedikitpun bahkan hanya untuk sekedar menyebut nama dari pelaku. Ardern juga tidak takut untuk menyebut peristiwa tersebut sebagai serangan teroris tidak peduli warna kulit pelaku, ras pelaku, agama pelaku, serangan kebencian dan teroris tetaplah serangan teroris siapapun pelakunya. 

Ia juga memberikan kalimat pemersatu bagi warga di Selandia Baru, “mereka adalah kita.” 

Ardern seolah menekankan bahwa agama dan budaya lainnya tidak menjadi pemisah antar warga masyarakat Selandia Baru, mereka adalah bagian dari kita semua. Tidak ada yang berbeda, semua masyarakat Selandia Baru adalah satu. Ardern tidak hanya menunjukkan empatinya, tetapi juga menggabungkannya dengan janji-janji perubahan legislatif dan budaya yang konkret (BBC News, 2019).

Seperti yang dikutip dari Mayne (2023), Ardern mengatakan dalam acara LinkedIn Talent Connect Summit, “Menjadi manusia biasa saja sudah lebih dari cukup bagi seorang pemimpin.” 

Ini menunjukkan bahwa Ardern dalam gaya kepemimpinannya mengedepankan rasa kemanusiaanya, menjadi pemimpin bukan berarti meninggalkan diri kita sebagai seorang manusia. Pemimpin adalah manusia, memimpin dengan hati bukan berarti tidak etis dan tidak efektif. 

Banyak anggapan di masyarakat bahwa pemimpin yang lemah lembut tidak akan dapat memimpin dengan baik, padahal sifat lemah lembut dan berhati nurani adalah sifat manusia pada umumnya yang dimiliki oleh semua manusia. Anggapan tersebut seolah membuat adanya garis yang membedakan antara seorang manusia dengan seorang pemimpin. 

Kepemimpinan Ardern tidak hanya menonjol saat peristiwa penembakan Christchurch saja, Ardern juga berhasil menekan angka covid-19 di Selandia Baru pada 2020 lalu. Di mana strategi yang dilakukan adalah strategi penutupan perbatasan dan karantina wilayah yang berhasil menekan angka penderita dan kematian menjadi rendah. Tercatat hingga pada Januari 2023, Selandia Baru hanya mengalami total 2.500 atau kurang kematian selama pandemi covid 19 berlangsung. (The Guardian, 2023). 

Mungkin, apa yang dilakukan oleh Ardern ini merupakan “hal biasa” yang memang seharusnya dilakukan oleh para pemimpin. Namun, di banyak kasus yang terjadi banyak pemimpin yang seakan acuh tak acuh bahkan tidak peduli dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di negaranya. Jangankan terkait kemanusiaan dan keberagaman, terkait masalah lain seperti perekonomian, kemiskinan, pendidikan saja masih banyak yang diabaikan. Banyak pemimpin yang menunjukan perilaku mereka yang tidak mencerminkan seorang pemimpin yang etis dan beretika, di mana mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu daripada kepentingan rakyat. Padahal menjadi pemimpin adalah menjadi sosok figur dan tokoh yang dapat dipercaya dan diandalkan oleh anggota dan masyarakatnya. 

Seorang pemimpin bukanlah mereka yang harus memilih satu kubu, tetapi mereka yang dapat mempertemukan dan menyatukan dua kubu tersebut. Ardern bukan seorang pemimpin yang memilih kubu mana yang lebih menguntungkannya atau lebih “aman” baginya saat menanggapi terkait peristiwa penembakan Christchurch, mengingat komunitas muslim di sana juga merupakan kelompok minoritas. 

Ia tidak takut dan membiarkan dirinya dikuasai oleh pihak lain dalam menjalankan kepemimpinannya. Ia dengan berani dan penuh kasih sayang memimpin sekaligus merangkul masyarakatnya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Dari beberapa hal yang dilakukannya, banyak orang dan media yang menyebutnya sebagai “pemimpin dengan kasih sayang yang terpancar dengan jelas,” “contoh pemimpin bagi generasi baru,” “one of a kind leader,” dan masih banyak lagi. 

Sosok pemimpin yang beretika nampaknya semakin lama semakin sedikit untuk ditemukan. Untuk itu, kita memerlukan pemimpin yang beretika seperti Ardern lebih banyak lagi. Kita tidak hanya membutuhkan sosok pemimpin yang cerdas, kita sudah memiliki banyak sosok seperti itu. Kita tidak hanya butuh pemimpin yang visioner, kita sudah memiliki banyak sosok seperti itu. Kita tidak hanya membutuhkan sosok pemimpin yang inovatif, kita sudah memiliki banyak sosok seperti itu. Kita juga memerlukan sosok pemimpin yang adil, yang mau mendengarkan, yang menghargai, yang berempati, yang tidak membedakan, pemimpin yang berintegritas. Kita perlu pemimpin yang beretika. 


* Mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Administrasi

Komentar