Kamis, 02 Mei 2024 | 01:05
NEWS

Pada Seminar Nasional Perikanan Indonesia, Prof. Rokhmin Dahuri Beberkan Fungsi Dan Peran KKP Dalam Pembangunan Bangsa Indonesia

Pada Seminar Nasional Perikanan Indonesia, Prof. Rokhmin Dahuri Beberkan Fungsi Dan Peran KKP Dalam Pembangunan Bangsa Indonesia
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

ASKARA - Seminar Nasional Perikanan Indonesia ke-24 merupakan kegiatan seminar dari bidang perikanan yang diselenggarakan oleh BPPSDM Politeknik Ahli Usaha Perikanan Jakarta yang bertema "Optimalisasi Strategi Pengembangan Perikanan Berkelanjutan untuk Menyongsong Indonesia Emas 2045", di Auditorium Madidihang Poltek AUP, Selasa, 12 Desember 2023.

Saat menjadi keynote speaker, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS membeberkan fungsi dan peran KKP dalam pembangunan bangsa Indonesia. Yakni, mengatasi permasalahan internal sektor Sektor Kelautan dan Perikanan (KP); Berkontribusi secara signifikan dalam memecahkan permasalahan bangsa.

”Serta bendayagunakan potensi pembangunan KP secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan (sustainable); dalam rangka mewujudkan Indonesia maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas) pada 2045, ” ujar Prof Rokhmin Dahuri mengangkat tema "Untuk Peningkatan Daya Saing Dan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Secara Ramah Lingkungan Dan Berkelanjutan Dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Emas 2045".

Lalu, Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu mengemukakan Permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS yakni pengeluaran Rp 470.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (3,2 dolar AS/orang/hari atau 96 dolar AS/orang/bulan (Rp 1.440.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2023 sebesar 111 juta jiwa (37% total penduduk). “Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia,” terang Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. “Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Oxfam.

Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2023), yakni pengeluaran Rp 580.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Bahkan, lanjutnya, sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).

Dalam hal ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin), terangnya, Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara. Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfam International, 2021).

Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). “Institute for Global Justice menyebutkan, sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” ungkapnya.

Tak kalah rumitnya, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, permasalahan bangsa lainnya adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI  (Gross National Income) per kapitanya belum mencapai 12.536 dolar AS (status negara makmur).

“Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” tandas Penasehat Ahli Bidang Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu itu.

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya (a lost generation).

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, menurut UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.

Maka, mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut, atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi memenuhi biaya tersebut. “Saya tidak habis pikir kalau pejabat Negara bisa tidur dengan data ini,” katanya.

Masalah lainnya kekurangan rumah sehat dan layak huni. Dari 65 juta Rumah Tangga, menurut data BPS tahun 2019 dimana 61,7 persen tidak memiliki rumah layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terang Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Prof. Rokhmin Dahuri mencatat, bahwa dari 195 negara di dunia, hanya 20 negara yang PDB nya diatas 1 trilyun dolar AS, dan PDB Indonesia merupakan yang terbesar ke-16 (Bank Dunia, 2018). Namun, hingga kini Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah (lower -- middle income country), dengan pendapatan nasional kotor  (Gross National Income = GNI) sebesar 3.870 dolar AS per kapita (Kemenko Perekonomian, 2019).

“Bahkan menurut Bank Duni,kita belum menjadi negara  makmur (high-income country), dengan pendapatan nasional kotor diatas 12.165 dolar AS per kapita,” ujar Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu.

Implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%. (UNCTAD dan UNDP, 2021).

Peta Jalan Pembangunan Menuju Indonesia Emas 2045

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, I + E > K + Im. Ketiga, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif). Keempat, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebutnya.

Bahkan, sambungnya, menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%). Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

Hingga 2022, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. Hingga 2019, Global Entrepreneurship Index  Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN. Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN.

Indonesia peringkat ke-69 dari 81 negara tingkat literasi negara di dunia Riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. “Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB),” ujar Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Definisi Dan Makna Blue Economy

Mengutif pendapatnya sendiri, menurut Prof. Rokhmin, definisi Ekonomi Biru (Blue Economy) adalah ”kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia”.

Sejak pertengahan tahun 1980an, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk memperbaiki kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) antara lain: 1 miliar warga dunia berada dalam kemiskinan ekstrem, 3 miliar orang masih miskin, 800 juta orang kelaparan, meningkatnya kesenjangan ekonomi, dan tiga krisis ekologi (polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan Pemanasan Global) (UNEP, 2011; Bank Dunia, 2022).

Ekonomi Hijau adalah ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan (UNEP, 2011).

Apakah Ekonomi Biru itu? “Ekonomi Biru adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut,” kata Prof. Rokhmin mengutip Bank Dunia (2016).

Ekonomi Biru adalah pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan manusia, serta sekaligus menjaga kesehatan dan keberlanjutan ekosistem laut (, 2016).

Selain itu, mengutip EC (2020), Rokhmin menyebutkan, “Ekonomi Biru adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor-sektor ekonomi mapan (established sectors) dan sektor-sektor ekonomi yang baru berkembang (emerging sectors).”

“Ekonomi biru juga mencakup manfaat ekonomi kelautan yang mungkin belum bisa dinilai dengan uang, seperti Carbon Sequestrian, Coastal Protection, Biodiversity, dan Climate Regulator,” kata Prof. Rokhmin mengutip Conservation International ( 2010).

“Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menerapkan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik ramah lingkungan; (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif; (3) dan pengaturan kelembagaan yang proaktif untuk mencapai tujuan ganda yaitu melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu mengutip PEMSEA, (2016).

Prof. Rokhmin Dahuru juga menjabarkan ruang lingkup Ekonomi Biru  (Blue Economy) Peran, Fungsi, dan Kegunaan Pesisir dan Lautan.

Lautan global menyediakan barang dan jasa ekosistem yang penting bagi umat manusia yang mencakup pengaturan iklim Erath, sistem pendukung kehidupan serta penyediaan pangan, mineral, energi, sumber daya alam lainnya, rekreasi, dan nilai-nilai spiritual.

Laut tidak hanya penting bagi perekonomian dunia, namun juga keseimbangan dan kelangsungan hidup lingkungan (Noone et al., 2013) sebagai Ekonomi, Rekreasi dan spiritual, Keamanan dan pertahanan, Ekologi.

Lebih menukik lagi, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan domain, potensi dan tingkat pemanfaatan ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia. Ia menyebutkan, penelitian dan pendidikan total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2023 (Rp 3.000 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,2 PDB Nasional saat ini.

Sektor kelautan dan perikanan Indonesia mampu menyediakan  lapangan kerja untuk 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia. “Namun, pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya  lebih besar dari 30 persen,” paparnya.

Pada 2014 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 20%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.

Potensi Lestari Sumber Daya Ikan Perairan Laut Indonesia menurut WPP Total potensi lestari SDI Laut Indonesia mencapai 11,68 juta ton, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan/JTB sebesar 72% atau 8,41 juta ton

Mulai 2015 potensi SDI laut meningkat, namun tingkat pemanfaatan menurun. Perairan darat meliputi: Sungai, Danau, Waduk, Rawa, Kolong (bekas galian), Situ, dan Embung.

Pada 2013 – 2022, produksi perikanan tangkap perairan darat menurun (rata-rata 0,1% per tahun). Peluang pengembangan lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di Indonesia masih sangat leluasa. ”Sejak tahun 2009-2020, Indonesia menjadi produsen budidaya perikanan ke-dua terbesar setelah Cina, ” katanya.

Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu menegaskan bahwa dibutuhkan strategi pembangunan Blue Economy untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah antara lain;

Pertama, Penyusunan Big Data yang interaktif dan dinamis berdasarkan data yang absah, akurat (presisi), dan kuantitasnya mencukupi tentang semua aspek penting tentang Sektor Perikanan (produktivitas, produksi, konsumsi pangan, demand, ekspor, dll) sebagai dasar dalam perencanaan, implementasi, dan MONEV pembangunan, investasi, dan bisnis perikanan.

Kedua, Revitalisasi semua unit usaha perikanan atau blue food (perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi perairan) yang ada saat ini (existing business units) supaya lebih produktif, efisien (profitable), berdaya saing, dan berkelanjutan (sustainable).

“Revitalisasi ini dapat berhasil dengan menerapkan: (1) Economy of Scale, (2) Integrated Supply Chain Management System, (3) teknologi mutakhir di setiap rantai pasok (seperti teknologi-teknologi Industry 4.0), dan (4) prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” jelas Prof Rokhmin.

Ketiga, Pengembangan usaha perikanan tangkap untuk jenis-jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan (laut dan PUD) yang status penangkapan ikannya masih underfishing (total hasil tangkapan ikan/produksi < MSY = Maximum Sustainable Yield) sampai total produksinya = 80% MSY atau MSY.

Keempat, Kurangi intensitas penangkapan ikan (jumlah kapal dan nelayan) untuk jenis-jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan yang sudah overfishing.

Kelima, Pengembangan usaha perikanan budidaya di wilayah-wilayah perairan laut, lahan pesisir (tambak), dan perairan tawar/darat (sungai, danau, bendungan, sawah, kolam, akuarium, dan wadah lainnya) yang baru (belum ada usaha aquaculture) dengan menerapkan 4 jurus manajemen bisnis.

Keempat, Diversifikasi usaha perikanan budidaya dengan spesies/varietas biota (organisme) perairan yang baru, dengan menerapkan 4 jurus manajemen bisnis pada butir-2.

Kelima, Penguataan dan pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan, sehingga produk olahannya berdaya saing tinggi (QCS = top Quality, low Cost, and sufficient and sustainable Supply).

Keenam, Penguataan dan pengembangan Industri Bioteknologi Perairan, sehingga produk olahannya berdaya saing tinggi (QCS = top Quality, low Cost, and sufficient and sustainable Supply).

Domain Industri  Bioteknologi Kelautan

Mengutip Lundin and Zilinskas, (1995), Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, Bioteknologi perairan adalah teknik penggunaan biota perairan atau bagian dari biota perairan (seperti sel atau enzim) untuk membuat atau memodifikasi produk, memperbaiki kualitas genetik atau fenotip tumbuhan dan hewan, dan mengembangkan (merekayasa) biota perairan untuk keperluan tertentu, termasuk perbaikan lingkungan.

Setidaknya ada empat domain industri bioteknologi kelautan. Pertama, ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota laut untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Kedua, genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul.

Ketiga, rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar. “Dan keempat aplikasi bioteknologi untuk konservasi,” tutur Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Sampai sekarang, pemanfaatan Bioteknologi Kelautan Indonesia masih sangat rendah (< 10% total potensinya). Selain itu, banyak produk industri bioteknologi kelautan yang bahan baku (raw material) nya dari Indonesia diekspor ke negara lain negara pengimpor memprosesnya menjadi beragam produk akhir (finished products) seperti farmasi, kosmetik, dan healthy food and bevareges  lalu diekspor ke Indonesia.  Contoh: gamat, squalence, minyak ikan, dan Omega-3.

 Apabila potensi Ekonomi Biru ini dimanfaatkan dan dikelola berdasarkan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengelolaan yang profesional, maka sektor Ekonomi Kelautan diyakini mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengatasi segala permasalahan bangsa, dan mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan Indonesia Emas paling lambat tahun 2045.

Menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, adil-makmur dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim serta mampu menjadi a role model (teladan) dunia dalam berbagai bidang kelautan seperti pendidikan, IPTEK, infrastruktur, ekonomi, hankam, dan tata kelola kelautan (ocean governance).

Kebijakan dan Program Pembangunan Kelautan

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan tentang rincian Kebijakan dan Program Pembangunan Kelautan; 1. Penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI: (1) penyelesaian batas wilayah laut (UNCLOS 1982) dengan 10 negara tetangga; (2) penguatan & pengembangan sarpras hankam laut; (3) peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan nasionalisme aparat; dan (4) law enforcement.

2. Penguatan dan pengembangan diplomasi maritim.

3. Revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability) seluruh sektor dan usaha (bisnis) Ekonomi Kelautan yang ada sekarang (existing).

4. Pengembangan sektor-sektor Ekonomi Kelautan baru, seperti: industri bioteknologi kelautan, deep sea fisheries, offshore aquaculture, shale and hydrate gas, fiber optics, deep sea water industry, dan laut sebagai ‘a development space’.

5. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru berbasis Ekonomi Kelautan di wilayah pesisir sepanjang ALKI, pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan, dengan model Kawasan Industri Maritim Terpadu  berskala besar (big-push development model)

Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi (Kemajuan dan Kemakmuran) yang berkembang di wilayah perbatasan akan membentuk semacam “Prosperity Belt” yang secara otomatis sebagai  ”Security – Defense – Sovereignty Belt”

6. Penguatan dan pengembangan konektivitas maritim: TOL LAUT dan konektivitas digital: a. evitalisasi dan pengembangan armada kapal yang menghubungkan pelabuhan utama, dari ujung barat sampai ujung timur NKRI: (Sabang) – Kuala Tanjung – Batam - Tj. Priok – Tj. Perak – Makassar – Bitung – (Morotai) – Sorong – (Kupang).

b. Revitalisasi dan pembangunan pelabuhan baru sebagai tambat labuh kapal, basis logistik, dan kawasan industri

c. Pembangunan transportasi multimoda (sungai, darat, kereta api, atau udara) dari pelabuhan ke wilayah darat (upland areas, dan pedalaman).

d. Konektivitas digital: telkom, fiber optics, dan internet.

7. Semua unit usaha sektor Ekonomi Kelautan harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of scale); (2) Integrated Supply Chain Management System; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai suplai, dan (4) Sustainable Development principles.

8. Seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (Zero Carbon): solar, pasang surut, gelombang, angin, biofuel, dan lainnya.

9. Eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan.

10. Pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity).

11. Mitigasi dan adaptasi terhadap Global Climate Change, tsunami, dan bencana alam lainnya.

12. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan

13. Penguatan dan pengembangan R & D guna menguasai, menghasilkan, dan menerapkan IPTEKS.

14. Penciptaan iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif dan atraktif.

15. Peningkatan budaya maritim bangsa.

16. Kebijakan politik-ekonomi (fiskal, moneter, otoda, hubungan pemerintah dan DPR, penegakkan hukum, dll) yang kondusif: Policy Banking (Bank Maritim) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan.

Suku Bunga Pinjaman Negara Asean

Prof Rokhmin Dahuri meminta perbankan untuk terus memberikan akses kemudahan dan suku bunga kredit rendah di sektor kelautan dan perikanan. Menurutnya, Indonesia perlu menerapkan pembangunan perikanan budidaya yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan.

 “Tantangan penguatan industri kelautan dan perikanan di Indonesia, diantaranya suku bunga pinjaman bank masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, dan fungsi intermediasi (alokasi kredit) untuk sektor tersebut sangat rendah,” katanya.

Ia menjelaskan, dari total alokasi kredit perbankan nasional, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya mencapai sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp2,6 triliun. Sementara alokasi kredit tertinggi diberi ke sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 26,94 persen.

Di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 12,6 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (8,7 persen), Thailand (6,3 persen), China (5,6 persen), Filipina (5,5 persen), dan Malaysia (4,6 persen).

“Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Duta Besar Kehormatan Jeju Island dan Busan Metropolitan City itu.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri pembangunan Sektor-Sektor Ekonomi Kelautan Quick Wins (2024-2029) untuk mewujudkan Perikanan Tangkap Yang Maju, Mensejahterakan Nelayan dan Berkelanjutan. Yaitu; Perikanan Budidaya (Aquaculture), Perikanan Tangkap (Capture Fisheries), Industri Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Industri Bioteknologi Perairan, Pariwisata Bahari, Perhubungan Laut.

1. Revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya.

2. Ekstensifikasi usaha di kawasan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (seperti kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); perairan payau (seperti udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun perairan darat (seperti nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah).  

3. Diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat.

4. Pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya.

5. Revitalisasi dan pembangunan baru Broodstock Centers dan Hatcheries untuk momoditas unggulan (Udang Vaname, Lobster, Kerapu, Kakap, Bandeng, Nila, Patin, Udang Galah, Rumput Laut, dan lainnya) untuk menjamin produksi induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing) dengan harga relatif murah dan produksi (supply) mencukupi untuk seluruh wilayah NKRI, kapanpun dibutuhkan.

6. Revitalisasi dan pengembangan industri pakan nasional: (1) berbahan baku lokal dengan daya cerna tinggi; dan (2) formulasi pakan yang tidak hanya berdasarkan pada kandungan (level) protein dan lemak, tetapi lebih kepada profil (persyaratan) nutirisi yang dapat secara spesifik memenuhi kebutuhan biota perairan yang dibudidayakan  Sehingga, kita mampu memproduksi pakan ikan/udang yang berdaya saing tinggi: kualitas unggul (top quality), harga relatif murah, dan volume produksi dapat memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor secara berkelanjutan. Ini sangat penting dan urgen !!!.  Sebab, sekitar 60% total biaya produksi untuk pakan.

7. Peningkatan produksi growth stimulant, obat-obatan, ALSINTAN (kincir air tambak, KJA, automatic feeder, alat pemantau dan pengukur kualitas air, dan lainnya) yang berdaya saing tinggi (QCD) untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor secara berkelanjutan.

8. Penguatan dan pengembangan Sistem Logistik Perikanan Budidaya Nasional yang menghubungkan semua mata rantai pasok (Sarana Produksi – Produksi – Industri Pengolahan – Pemasaran) secara lebih efektif, efisien, dan aman.

9. Aplikasi teknologi Industri 4.0 baik pada subsistem (mata rantai pasok) produksi (on-farm), subsistem industri pengolahan dan pemasaran (subsistem hilir), subsistem sarana produksi (subsistem hulu) maupun rantai pasok (supply chain) nya. Contoh: Sound (Acoustic) - based Feeding System, IoT and AI water quality monitoring, dan digital site selection for aquaculture production.

10. Aplikasi Blue Economy: zero waste, zero carbon emission (penggunaan energi terbarukan seperti matahari, angin, kelautan, dan lainnya), ekonomi sirkuler, dan lainnya.

11. Perbaikan dan pengembangan infrastruktur: jalan, listrik, air bersih, telkom, internet, irigasi dan drainasi tambak, dan lainnya.

12. Penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif: perizinan, keamanan berusaha, kosistensi kebijakan, kepastian dan keadilan hukum, ketenagakerjaan, dan lainnya.

13. Kebijakan politik ekonomi yang kondusif: moneter (bunga bank), fiskal, ekspor-impor, RTRW, IPTEK, dan lainnya.

Komoditas (Output) Budidaya Perikanan

Peran dan fungsi budidaya perikanan secara konvensional menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota perairan lainnya; dan (4) perhiasan seperti tiram mutiara dan organisme akuatik lainnya.

Peran dan fungsi akuakultur non-konvensional (masa depan): (1) pakan berbahan dasar alga; (2) produk farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme perairan lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel yang berasal dari mikroalga, makroalga, dan biota perairan lainnya; (5) pariwisata berbasis budidaya perikanan; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global.

Semua unit usaha pada program-1 (Revitalisasi), program-2 (Ekstensifikasi), dan program-3 (Diversifikasi) harus sesuai atau menerapkan: (1) economy of scale; (2) Integrated Supply Chain Management System (Pra-produksi, Produksi, Industri Pengolahan, dan Pemasaran); (3) teknologi mutakhir yang tepat (Best Aquaculture Practices, Industry 4.0); dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Best Aquaculture Practices: (1) induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing); (2) pakan berkualitas dan cara pemberian yang tepat dan benar; (3) pengendalian hama & penyakit; (4) menajemen kualitas air; (5) pond design & engineering; dan (6) biosecurity.

Industry 4.0 technologies: Big Data, IoT, AI, Drone, Cloud Computing, dan Nanotechnology  “Precision, Efficient, Competitive, and Sustainable Aquaculture”.

Prinsip pembangunan berkelanjutan: (1) RTRW yang melindungi kawasan budidaya perikanan; (2) laju (intensitas) budidaya < Daya Dukung Lingkungan mikro (kolam) maupun makro (kawasan); (3) pengendalian pencemaran supaya lingkungan perairan tetap suitable dan sustainable untuk usaha aquaculture; dan (4) konservasi biodiversity pada tingkat spesies, ekosistem, dan genetik.

Pastikan bahwa semua unit usaha akuakultur harus menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, dengan pendapatan bagi karyawan (buruhnya) > US$ 300 (Rp 4,5 juta/karyawan/bulan).

US$ 480 dihitung berdasarkan garis kemiskian versi Bank Dunia (2023): US$ 3,2/orang/hari atau US$ 96/orang/bulan.  Rata-rata ukuran keluarga akuakultur 5 orang (ayah, ibu, dan 3 anak), dan pada umumnya yang bekerja hanya ayah.

Industri 4.0 & Industri Akuakultur

Prof Dr Rokhmin Dahuri menilai era Revolusi Indonesia 4.0 saat ini bukan hanya teknologi digital yang berkembang, tapi juga bioteknologi. Revolusi Industri Keempat (Industri-4.0) menawarkan serangkaian teknologi, dan beberapa di antaranya dapat diterapkan pada Sistem Akuakultur untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi (profitabilitas), daya saing, dan keberlanjutan.

Istilah ‘Aquaculture 4.0’ tepat diterapkan pada budidaya perairan yang didorong oleh teknologi disruptif ini, Beberapa “Proyek Akuakultur 4.0” yang menarik telah terbukti berhasil di sektor akuakultur.

Karakteristik Dasar Budidaya Perikanan 4.0 antara lain; Meningkatkan akurasi, presisi, dan keterulangan dalam proses budidaya perikanan, Memfasilitasi tingkat otomatisasi yang lebih besar atau kontrol bawaan dalam pemantauan rutin sistem akuakultur.

Menyediakan sistem pendukung keputusan yang dapat diandalkan yang ditandai dengan program terkomputerisasi untuk mengumpulkan dan menganalisis data dan mensintesis informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dengan algoritma komputer atau campur tangan manusia atau keduanya.

Prof. Rokhmin Dahuri lalu memperkenalkan SmartPond, alat pendeksi kualitas air kolam dan kematian ikan buatab mahasiswa UGM, seperti berikut; 1. SmartPond adalah aplikasi berbasis internet of things (IoT) dan management data system yang dirancang untuk memonitor kualitas air kolam budi daya ikan, kematian ikan, dan kondisi cuaca di sekitar kolam.

2. SmartPond menggunakan lima sensor, yaitu sensor ultrasonik, pH, suhu, dissolve oxygen (DO), dan kelembapan, yang dipasang pada tepi kolam untuk mengumpulkan data besar tentang ikan, pakan, dan lingkungan.

3. SmartPond merupakan karya dari lima mahasiswa Sekolah Vokasi UGM dari program studi Teknologi Veteriner dan Teknologi Rekayasa Instrumentasi dan Kontrol, yang dibimbing oleh drh. Dela Ria Nesti M.Sc.

Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap

1. Peningkatan produktivitas (CPUE = Catch per Unit of Effort) secara berkelanjutan (sustainable)  Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata > US$ 480 (Rp 7,2 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan.

Modernisasi armada kapal ikan tradisional yang ada saat ini, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 480 (Rp 7,2 juta)/nelayan//bulan.

Pengembangan 4.000 kapal ikan nasional modern (> 100 GT) dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan SDI di wilayah laut 12 mil – 200 mil (ZEEI), dan  1.000 Kapal Ikan Modern dengan ukuran > 200 GT untuk laut lepas > 200 mil ( International Waters atau High Seas).

Kurangi intensitas laju penangkapan di wilayah overfishing, dan tingkatkan laju penangkapan di wilayah underfishing.

2. Nelayan harus menangani ikan dari kapal di tengah laut hingga didaratakan di pelabuhan perikanan (pendaratan ikan) dengan cara terbaik (Best Handling Practices), sehingga sampai di darat kualitas ikan tetap baik, dan harga jualnya tinggi  Seperti penggunaan Palkah Berpendingin, Cool Box, RSW, dll.

3. Revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai Kawasan Indsutri Perikanan Terpadu (industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjang), dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualitas dan keamanan pangan (food safety).

4. Untuk jenis-jenis ikan ekonomi penting, harus ditransportasikan dari Pelabuhan Perikanan ke pasar domestik maupun ekspor dengan menerapkan cold chain system.

5. BUMN, KOPERASI atau SWATA menyediakan (menjual) sarana produksi dan perbekalan melaut (kapal ikan, alat tangkap, mesin kapal, BBM, energi terbarukan, beras, dan lainnya) yang berkualitas tinggi, dengan harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi untuk nelayan di seluruh wilayah NKRI.

6. Pemerintah menjamin seluruh ikan hasil tangkapan nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat dijual dengan harga sesuai ‘’nilai keekonomian” (menguntungkan nelayan, dan tidak memberatkan konsumen dalam negeri).

7. Pada saat nelayan tidak bisa melaut, karena paceklik ikan maupun cuaca buruk (rata-rata 3 – 4 bulan dalam setahun), pemerintah wajib menyediakan mata pencaharian alternatif (perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, agroindustri, dan potensi ekonomi lokal lainnya)  supaya nelayan tidak terjerat renternir, seperti selama ini.

8. Evaluasi dan perbaikan sistem bagi hasil antara pemilik kapal dengan nelayan ABK supaya lebih adil dan saling menguntungkan.

9. Pemerintah harus menyediakan skim kredit perbankan khusus untuk nelayan, denga bunga relatif murah (3% per tahun) dan persyaratan relatif lunak.

10. Penyediaan asuransi (jiwa maupun usaha) untuk nelayan.

11. Pemberantasan IUU fishing dan destructive fishing.

12. Restorasi dan pemeliharaan lingkungan: pengendalian pencemaran, rehabilitasi hutan mangrove, terumbu karang dan ekosistem pesisir yang rusak, restocking, dan stock enhancement.

13. Mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lain: kapal ikan dengan energi surya, dll.

14. Pemerintah harus melaksanakan DIKLATLUH tentang teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan, Best Handling Practices, dan konservasi secara reguler dan berkesinambungan.

Komentar