Senin, 29 April 2024 | 13:27
NEWS

Pemaksaan Politik Dinasti Jokowi Telah Hancurkan Demokrasi Rasional

Pemaksaan Politik Dinasti Jokowi Telah Hancurkan Demokrasi Rasional
Presiden Jokowi bersama Megawati Soekarnoputri

ASKARA – Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai krisis konstitusi yang terjadi saat ini akan membawa dampak serius pada kehidupan demokrasi ke depan. 

"Politik dinasti untuk melanggengkan orang dalam keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) potensial akan menghancurkan iklim demokrasi rasional di Indonesia. Hal itu terkait dengan Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini yang tengah disorot atas Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 lantaran dinilai sarat dengan nepotisme. Presiden Jokowi disebut punya andil dalam putusan tersebut," kata Firman kepada para wartawan, Selasa (7/11).

Ditambah lagi, lanjut Firman, salah satu Hakim Konstitusi yakni Anwar Usman mempunyai hubungan kerabat dengan Presiden Jokowi, sehingga muncul penilaian putusan itu untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.

Firman mengungkapkan, dampak mengerikan dari kondisi saat ini ketika dibiarkan berlarut adalah hancurnya demokrasi rasional.

Menurut Firman, demokrasi dibangun berlandaskan rasionalitas, bukan ikatan kekeluargaan atau keturunan.

“Kalau seseorang secara rasional dari sisi pengalaman lebih banyak, kemampuan lebih baik, lebih teruji itu harus. Kalau dari anak kemarin sore simply (hanya karena) punya DNA yang sama dengan penguasa, itu demokrasi apa? Saya tidak mengerti itu,” jelas Firman.

Menurut Firman, yang terjadi di Indonesia adalah politik dinasti. 

Para elite, ungkap Firman, hanya bekerja atas dasar kepentingan mereka sendiri, tanpa mempertimbangkan pilihan masyarakat banyak, tanpa mempertimbangkan kehidupan politik di masa depan.

“Yang terjadi saat ini adalah ada proses yang nir-partisipasi dalam penentuan pengkandidasian orang-orang yang berhak maju atau tidak. Penentunya di sini, sayangnya adalah ikatan keluarga. Porsi ikatan keluarga lebih besar, bukan pertimbangan yang lain-lain,” tandas Firman Noor.

Sebelumnya, profesor Politik Islam Global asal Australia Greg Barton menyatakan langkah Jokowi melakukan segala cara untuk meloloskan anaknya sebagai cawapres sebagai tindakan yang terburu-buru. 

"Sayang sekali dia (Jokowi) mau campur tangan dalam urusan keluarga. Kalau bisa lebih sabar, pasti orang tidak keberatan kalau anaknya dikasih dan disiapkan untuk masa depan. Tapi, ini seolah terlalu terburu-buru," tegas Greg dalam podcast yang dipandu Akbar Faisal.

Greg menilai, putusan MK beberapa waktu lalu itu banyak membuat orang kecewa. Kemudian, hal ini berdampak pada wajah demokrasi di Indonesia. 

“Dalam beberapa hal ada pemerosotan demokrasi di bawah pemerintahan Pak Jokowi,“ tukas Greg Barton.

Kekuatan Penuh

Sementara itu, Pengamat Politik Adi Prayitno menuturkan, meski ditinggal kawan lama, namun sikap Presiden Jokowi jelas.  

“Bagi Jokowi pasti jalan terus. Semua sudah terjadi. Gibran sudah daftar ke KPU berdampingan dengan Prabowo Subianto. Bagi Jokowi tak ada lagi melihat ke belakang,“ kata Adi.

Adi berujar, putra Jokowi, Gibran Rakabuming sudah maju sebagai cawapresnya Prabowo Subianto. 

Adi meyakini, sebagai orang yang berkuasa, tentu Jokowi akan mengarahkan semua sumber daya untuk memenangkan anaknya. 

“Fokus ke depan menangkan Gibran dengan semua resource yang ada. Terutama yang konsisten di barisan Jokowi. Sementara yang beda sikap pasti ditinggalkan,” tegas Adi. 

Jokowi jalan terus, lanjut Adi, meski teman lama seperjuangan di PDI Perjuangan (PDIP) meradang. 

Adi menilai, hubungan keluarga Jokowi dengan partai yang membesarkan, PDIP kini bagai api dalam sekam. 

"Tidak ada yang mundur, tidak ada komunikasi. Tapi memang harus diakui saat ini Jokowi melawan pendukungnya sendiri yang selama ini pasang badan untuk membela Jokowi,” tegas Adi lagi. 

Menurut Adi, hubungan Jokowi dengan ‘kawan lama’, sebut saja mantan Walikota Solo FX Rudi, tokoh PDIP Solo, Seno Kusumoharjo, atau bahkan para petinggi PDIP tidak baik-baik saja. 

Menurut Adi, retaknya hubungan mereka tidak menguntungkan Jokowi.

“Secara persepsi tak menguntungkan Jokowi. Karena mereka meninggalkan Jokowi bukan hanya dengan luka hati, tapi dengan mengkritik habis Jokowi. Meski kini Jokowi mendapat kawan baru dari koalisi baru (Koalisi Indonesia Maju), namun Jokowi kehilangan orang-orang yang setia pasti  sangatlah merugikan," pungkas Adi Prayitno.

Komentar