Sabtu, 27 April 2024 | 20:27
OPINI

Ingat Anak, Lupa Rakyat. Yang Bener Ajeh? Rugi Dong!

Ingat Anak, Lupa Rakyat. Yang Bener Ajeh? Rugi Dong!
Politik Dinasti Jokowi (Dok Era.id)

Oleh: Akbar Gilang Permana 
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media
 
ASKARA - Pemerintah sering kali diperdebatkan karena di satu sisi, terlihat mengalokasikan sumber daya dan perhatian yang besar untuk pendidikan dan kesejahteraan anak-anak, namun di sisi lain, terdapat kritik bahwa kebijakan-kebijakan tersebut seringkali tidak seimbang dan bahkan mengorbankan kepentingan rakyat pada umumnya. 

Ketika fokus pemerintah terlalu condong pada investasi jangka panjang seperti pendidikan, seringkali kebutuhan mendesak masyarakat seperti kesehatan, pekerjaan, dan infrastruktur kota terabaikan. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan dan ketidakseimbangan dalam pembangunan. Namun demikian, mengesampingkan investasi pada pendidikan dan kesejahteraan anak-anak juga bukanlah solusi yang bijaksana. Generasi mendatang adalah aset berharga bagi kemajuan bangsa, dan mengabaikan mereka akan membawa konsekuensi negatif yang jauh lebih besar di masa depan. 

Dalam menyikapi dilema ini, diperlukan pendekatan yang seimbang dan bijaksana dari pemerintah. Pendidikan dan kesejahteraan anak-anak perlu diperhatikan dengan serius, namun tidak boleh mengorbankan kebutuhan mendesak rakyat saat ini. Pemerintah harus mampu menemukan keseimbangan antara investasi jangka panjang dan kebutuhan mendesak, serta memastikan bahwa setiap kebijakan dan alokasi anggaran benar-benar menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. 

Pemerintah dapat menghindari kritik bahwa mereka "lupa rakyat" dalam mengejar visi jangka panjang, sementara juga memastikan bahwa masa depan generasi mendatang tetap terjaga. Sifat yang tidak pantas untuk dipertontonkan bagaimana cara pemimpin negara kita untuk mengatur segala elemen tata negara untuk mencapai kesuksesan individual. Politik licik sudah tidak lagi menjadi aib, nepotisme digaungkan begitu jelas bagaimana cara pemimpin negara kita mendirikan panggung untuk dipermalukan rakyatnya. 

Nilai Merah 10 Tahun Masa Kepemimpinan Jokowi 

Sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi sebagai presiden Indonesia membawa sejumlah prestasi, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran yang perlu diperhatikan secara kritis. Evaluasi terhadap periode kepemimpinan ini memunculkan sejumlah aspek yang memicu kekhawatiran dan meraih "nilai merah." 

10 Tahun sudah Presiden dua periode kita sudah hampir selesai, terlepas dari segala hiruk pikuk Pemilu yang mempunyai banyak masalah komprehensif. Tidak menutup mata bahwa selama Jokowi mengatur tata negara begitu banyak yang tidak dipedulikan seperti, Penegakan HAM, Demokrasi dan Masalah Ketenagakerjaan. Menurutnya, dinasti tidak boleh hancur. Waktu yang tepat untuk Jokowi mempersiapkan karir yang cemerlang untuk penerusnya. 

Meskipun ada progres signifikan dalam pembangunan infrastruktur, banyak dari proyek- proyek tersebut menuai kritik keras tanpa pandang dampak lingkungan dan aspek sosial yang menuai perdebatan. Penanganan proyek-proyek ini sering kali melibatkan relokasi masyarakat, yang dapat menyebabkan ketidaksetaraan dan konflik sosial yang tidak teratasi dengan baik.

Hak asasi hampir tak terlihat disaat pembangunan republik kita di gaung-gaungkan. Pembangunan ibu kota baru menjadi sanggahan yang favorit untuk Presiden tercinta kita ini, bagaimana cara Ia mendeksripsikan sebuah tanah Kalimantan bila ditanya nilai merah yang sangat jelas pada masa kepemimpinannya. 

Dalam hal ketahanan ekonomi, meskipun pertumbuhan ekonomi tercapai, ketidaksetaraan ekonomi dan ketidakjelasan dalam distribusi kekayaan masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Masih terdapat ketidakpastian stabilitas ekonomi jangka panjang, serta dampak dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang belum sepenuhnya merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Korupsi harus kita libas dengan cepat," tutur Jokowi.

Nyatanya, memakai jabatan untuk mendistribusikan segala akar-akar bisnis yang dikepalai oleh elit politik. Rakyat kaget bahwa struktural tertinggi negara ternyata mempunyai kode etik terendah. Jika Presidennya seperti itu, lantas anak muda mengimajinasikan seperti apa pemimpin yang bagus. 

Pandemi COVID-19 telah menjadi ujian besar untuk pemerintahan kabinet Indonesia Maju. Meskipun ada upaya dalam penanganan krisis, transparansi data dan respons terhadap kebutuhan masyarakat masih menuai kritik. Ketidaksetaraan dalam distribusi vaksin dan penanganan kasus di beberapa daerah menciptakan kekhawatiran akan ketidakmerataan perlindungan kesehatan bagi seluruh rakyat. 

Mengenai konteks politik, kritik ditujukan pada upaya pemberantasan korupsi yang dianggap belum optimal. Beberapa kasus korupsi besar masih menjadi sorotan, dan lemahnya sistem penegakan hukum dalam menangani para pelaku korupsi menciptakan keraguan akan keadilan. Kabinet Indonesia Maju menuai banyak kasus korupsi, struktural dengan tujuan untuk mensukseskan masalah di Indonesia yang komprehensif malah berbalik menjadi keuntungan pada setiap pemangku jabatan untuk mengalihfungsikan demi keberlangsungan dinasti mendatang. 

Dengan demikian, evaluasi kritis terhadap 10 tahun kepemimpinan Jokowi menggambarkan bahwa sementara ada pencapaian positif, terdapat juga sejumlah kekhawatiran dan tantangan yang harus diatasi. Menilai kepemimpinan tidak hanya berdasarkan prestasi tetapi juga dengan mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan politik yang mungkin terabaikan adalah langkah penting untuk merumuskan arah kebijakan yang lebih baik nantinya. 

Gibran Rakabuming Menemani Prabowo di Pilrpres dan Kaesang Menjadi Ketum PSI

Dilihat dari belakangan ini, keputusan politik yang diambil seringkali melibatkan keluarga dekat Presiden, seperti Gibran Rakabuming yang menemani Prabowo di Pilpres 2024, dan Kaesang Pangarep yang menjadi Ketua Umum PSI, hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya dinasti politik dan keengganan untuk melibatkan pemimpin berdasarkan birokrasi. Seolah, dalam proses politik, kepentingan keluarga menjadi lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 

Dalam konteks Gibran, penempatannya di lingkaran politik bersama Prabowo Subianto memicu pertanyaan serius terkait demokrasi dan pemerintahan yang bersih. Partisipasi Gibran dalam dunia politik memunculkan kekhawatiran bahwa kekuasaan politik dapat menjadi milik keluarga tertentu, bukan hasil dari kualifikasi dan dedikasi yang tepat.

Hal ini menunjukkan pergeseran dari prinsip demokrasi yang seharusnya menjadi pedoman bangsa Indonesia didasarkan pada kemampuan dan keinginan masyarakat, bukan hubungan keluarga. Maka dari itu, keputusan politik semacam ini dapat menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses politik dan memicu rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat yang mengharapkan keputusan yang adil dan setara dalam perebutan kekuasaan politik. 

Sementara itu, Kaesang Pangarep yang menempati posisi Ketua Umum PSI menimbulkan pertanyaan tentang transparansi partai politik. Meskipun memiliki hak untuk terlibat dalam dunia politik, penunjukan Kaesang di puncak PSI seolah-olah meremehkan kualifikasi dan pengalaman yang seharusnya menjadi dasar kepemimpinan. Tentu, hal ini memberikan kesan bahwa partai politik tidak memahami pentingnya pengembangan pemimpin yang mumpuni dan dapat menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai dan politik sebagai institusi. 

Keputusan-keputusan ini dapat menunjukkan kelalaian pemerintah dalam memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara menyeluruh. Demokrasi seharusnya memberikan peluang yang setara bagi setiap warga negara tanpa memandang garis keturunan, dan pemerintah harus memberikan contoh yang tepat dengan nilai-nilai demokratis tersebut.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi apakah langkah-langkah politik yang diambil sudah sesuai dengan semangat demokrasi yang seharusnya menghargai keberagaman dan merangkul seluruh suara masyarakat atau bahkan masih menjadi cacat politik yang tak kunjung selesai. 

Dalam merajut masa depan politik yang lebih bermartabat, para pemimpin terutama Presiden sebagai contoh, harus senantiasa mengedepankan integritas dan kejujuran kepada seluruh lapisan warga negara, tidak hanya kepada kelompok atau individu tertentu. Kepemimpinan yang etis bukan hanya berkaitan dengan pencapaian dan kekuasaan semata, melainkan bagaimana menciptakan lingkungan politik yang inklusif dan berkeadilan.

Dengan prinsip-prinsip etika yang kuat, politik dapat menjadi alat untuk mensejahterakan seluruh masyarakat. Seiring berjalannya waktu, harapannya dapat melihat pemimpin-pemimpin yang terus menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam perjalanan politiknya, memberikan contoh yang positif, dan merangkul semua lapisan masyarakat demi membangun bangsa yang lebih kuat dan stabil. Kita sebagai rakyat Indonesia untuk tetap mengkritisi langkah apa nanti yang akan dilanjutkan oleh pemimpin negara kita. 
 
 

Komentar