Minggu, 28 April 2024 | 12:32
NEWS

Penduduk Lanjut Usia: Pemilih yang Terlupakan dalam Pesta Demokrasi

Penduduk Lanjut Usia: Pemilih yang Terlupakan dalam Pesta Demokrasi

Pada tanggal 1 Agustus 2023, Lembaga Demografi FEB UI merayakan Hari Ulang Tahun ke-59 dengan menggelar dua webinar pada 11 dan 16 Agustus 2023. Webinar pertama pada tanggal 11 Agustus membahas tema "Penduduk Lanjut Usia: Pemilih dalam Pesta Demokrasi". Menurut proyeksi BPS, penduduk lanjut usia di Indonesia mencapai 32 juta orang, yang akan menyumbang 16% pemilih dalam Pemilu 2024. Jika digabung dengan pra-lansia (40-59 tahun), kelompok ini bahkan mencapai 40,7% dari total pemilih di Indonesia pada 2024. Webinar ini diadakan melalui Zoom dan disiarkan langsung di YouTube Lembaga Demografi FEB UI untuk membahas tantangan dan kebijakan dalam mendorong partisipasi penduduk lanjut usia dalam demokrasi.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, Ph.D., membuka agenda ini dengan menyoroti penuaan penduduk Indonesia pada 2025 (berdasarkan Sensus Penduduk 2020). Dalam menghadapi Pesta Demokrasi, Indonesia perlu memastikan fasilitas yang memadai bagi partisipasi pemilih dalam Pemilu. Kontestan Pemilu harus melihat pemilih lansia lebih dari sekadar "suara" dan mencari solusi kebijakan pro-lansia. Dipandu oleh Dinda S. Radjiman, S.K.M., M.Si. dari Lembaga Demografi FEB UI, webinar ini menelaah kondisi demografis dan karakteristik psikologis pemilih lansia. Persiapan infrastruktur dan fasilitas untuk pemilu yang ramah lansia juga dibahas, sambil mempersiapkan lansia untuk partisipasi politis dalam pemilu berintegritas.

Prof. Aris Ananta, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia serta Peneliti Senior Lembaga Demografi FEB UI, membahas profil dan partisipasi lansia dalam pemilu, serta tantangan pada Indonesia Emas 2045, yang menginginkan lansia yang bermartabat. Pertanyaan awalnya adalah apakah populasi lansia, saat ini mencapai 9,9% dan akan mencapai lebih dari 20% pada 2045, merupakan beban atau keberhasilan. Menurut data Prof. Aris, lansia di Indonesia Emas 2045 adalah mereka yang berusia 38 tahun ke atas. Dalam pesta demokrasi, kelompok ini akan menjadi mayoritas pemilih. Peningkatan kesehatan calon lansia dan kebebasan perempuan dalam keputusan perkawinan, kelahiran, dan pekerjaan dapat meningkatkan persentase lansia merupakan aspek keberhasilan pembangunan. Isu utama dalam mewujudkan lansia yang bermartabat adalah kesehatan, keuangan, dan prasarana. Prof. Aris menyarankan kebijakan gaya hidup sehat, pengobatan berkualitas, dan perawatan jangka panjang dalam aspek kesehatan, serta penghapusan usia pensiun dalam aspek pendapatan. Dalam aspek prasarana, rekomendasi mencakup struktur rumah, lingkungan/perumahan, tata ruang rumah tangga, dan transportasi. Rekomendasi ini berasal dari analisis isu-isu yang dihadapi oleh lansia dan ditujukan bagi para peserta Pesta Demokrasi.

Dr. Ahmad Irsan A. Moeis, S.E., M.E., Kepala Subdirektorat Anggaran Bidang Kesehatan, Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan Republik Indonesia, membahas desain jaminan pensiun Indonesia untuk penduduk usia 38 tahun ke atas menghadapi masa lansia. Menggunakan konsep 5 Pilar Bank Dunia, Dr. Irsan menjelaskan tantangan penerapan kebijakan jaminan pensiun, termasuk pertumbuhan penduduk lansia (UN-DESA, 2015), pembayaran manfaat pensiun APBN, perbedaan lansia masa kini & masa depan, dan keseimbangan keadilan serta keuangan negara. Rekomendasi yang diberikan mencakup tax deductable, multiple rate iuran dengan skema Defined Contribution (DC), pendorong active ageing, serta integrasi sistem pensiun dan perlindungan sosial.

Pengurus Ikatan Arsitektur Indonesia dan Pengajar di Departemen Arsitektur Fakultas Teknik UI, Joko Adianto, Ph.D., mengemukakan pentingnya infrastruktur untuk lansia dalam konteks penuaan populasi perkotaan dan pembangunan kota ramah lansia di Indonesia. Dengan menggunakan kerangka kerja age-friendly built environment, Joko menjelaskan empat subtopik: autonomy and independence (fasilitas kota untuk aktivitas fisik mandiri), health and wellbeing (kesehatan dan kesejahteraan terkait alam), social connectedness (dukungan fisik dan sosial), serta security and resilience (keamanan dan kesiapan menghadapi ketidakpastian dan bencana).

Selanjutnya, Lathifah Hanum, M.Psi., Psikolog, Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, menjelaskan persiapan mental penduduk lansia menghadapi Pemilu. Data BPS 2022 mengindikasikan rasio ketergantungan lansia 16,09%. Fenomena sandwich generation merugikan kelompok usia produktif; 93% lansia tinggal di rumah sendiri dan 56,73% masih kepala rumah tangga. Tantangan kesehatan mental lansia meliputi kemandirian finansial, karakteristik demografis, relasi antargenerasi, dan karakteristik anak. Tantangan lainnya adalah kecemasan, stres, gangguan neurokognitif, dan gangguan tidur. Hal ini menciptakan stigma "semakin tua, semakin seperti anak kecil", padahal tantangan berasal dari kondisi internal lingkungan lansia, seperti anak yang menyepelekan perhatian terhadap lansia. Kelompok lansia memiliki pengalaman hidup kaya dan potensi psikologis untuk mengatur emosi, berpikir matang, merencanakan, serta mengelola diri. Oleh karena itu, dalam mempersiapkan kondisi mental penduduk, terutama lansia, perhatian penting harus diberikan pada isu-isu seperti ekonomi dan tempat tinggal, kualitas pendidikan, relasi antara orang tua dan anak dewasa, dan layanan lansia yang kompeten.

Di akhir diskusi, Lathifah Hanum, M.Psi., Psikolog, mengingatkan tentang pentingnya pola komunikasi yang sehat dalam keluarga saat pemilu, untuk mencegah konflik dan menjaga kesehatan mental. Joko Adianto, Ph.D., menyoroti pentingnya inklusi lansia dalam perencanaan kota melalui kebijakan publik dan kolaborasi perancangan. Prof. Aris Ananta menekankan perlunya perhatian terhadap populasi 38 tahun ke atas yang akan menjadi lansia pada 2045, dan menyarankan program yang menjaga martabat mereka dapat memenangkan dukungan.

Komentar