Minggu, 12 Mei 2024 | 17:17
NEWS

Prof Rokhmin Dahuri Bahas Budidaya Udang Ramah Lingkungan di Jala Tech

Prof Rokhmin Dahuri Bahas Budidaya Udang Ramah Lingkungan di Jala Tech
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA - Peluang pengembangan lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di Indonesia masih sangat leluasa. Kontribusi produksi udang hasil budidaya melebihi hasil tangkapan sejak tahun 2003, hingga mencapai 78 persen pada 2021.

Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjadi narasumber Shrimp Talk: Mengenal Budidaya Udang  Lebih Dekat yang diadakan oleh JALA TECH secara daring, Selasa (20/6).

“Kontribusi produksi udang hasil budidaya menunjukan peningkatan yang lebih tinggi dibanding hasil tangkapan, hingga mencapai 76 persen pada 2021,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri membawakan makalah berjudul “Industrialisasi Budidaya Udang Ramah Lingkungan untuk Menghasilkan Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi, Berkualitas, Inklusif dan Berkelanjutan”.

ISCM  (Internal Supply Chain Management) — manajemen aliran barang internal dan jasa internal dan mencakup proses keseluruhan pengubahan bahan mentah menjadi produk akhir  — untuk petambak individual: Pemerintah membantu pengembangan kemitraan saling menguntungkan antara: produsen benur, produsen pakan, petambak, supplier, dan industri pengolahan.

“Caranya: dengan dikoordinir oleh Pokja Nasional, Bupati/Walikota disetujui Gubernur mengajukan unit-unit tambak udang yang layak untuk direvitalisasi di Kabupaten/Kota nya masing-masing, atau top down yang menentukan Pokja Nasional,” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Dalam makalahnya, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan strategi peningkatan produksi udang nasional dilakukan melalui beberapa program. Yakni, program revitalisasi tambak udang, program ekstensifikasi tambak udang (model klaster dan model mandiri), program ekstensifikasi tambak udanf (klaster kolam bulat berbasis masyarakat), dan model klister budidaya udang rakyat untuk generasi milenial (dengan menggunakan teknologi kolam bundar).

Terkait program revitalisasi tambak udang, kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut, tujuannya  untuk meningkatkan: (1) produktivitas, (2) efisiensi (keuntungan), (3) daya saing, dan (4) keberlanjutan (sustainability) setiap unit usaha tambak udang yang masih layak untuk direvitalisasi. Teknologi  dan manajemen untuk mencapai tujuan: (1) skala ekonomi, (2) Best Aquaculture Practices, (3) ISCMS, dan (4) Environmentally Sustainable Development Principles.

Terus Meningkat

Prof. Rokhmin Dahuri mengemukakan peran strategis buidaya udang bagi Indonesia yang terus meningkat. Yakni: Pertama, permintaan (demand) dan harga udang sejak 1980-an sampai sekarang cenderung meningkat dan relatif stabil; Dua, dengan 99.000 km garis pantai (terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada), Indonesia memiliki potensi produksi udang budidaya terbesar di dunia (FAO, 2010); Ketiga, Indonesia merupakan produsen dan pengekspor udang terbesar ke-4 sampai ke-2 terbesar di dunia. 

Keempat, sekitar 80% total produksi udang Indonesia dari budidaya; sekitar 38% total nilai ekspor perikanan Indonesia (US$ 6 milyar) berupa udang (KKP, 2022); usaha budidaya udang (tradisional, semi-intensif, intensif, dan supra intensif) cukup – sangat menguntungkan; serta menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan multiplier effects yang sangat besar.

Selain itu, lanjutnya, Kelima, lokasi usaha budidaya tambak udang di wilayah pesisir, perdesaan, dan luar Jawa à membantu mengurangi masalah disparitas pembangunan antar wilayah; budidaya udang is not ‘rocket science’ à Mayoritas rakyat Indonesia mampu menjalankan usaha budidaya tambak udang; dan budidaya udang merupakan SDA  (sumber daya alam) terbarukan à membantu terwujudnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

“Permasalahannya adalah industri pengolahan udang di Indonesia masih kekurangan bahan baku udang. Di satu sisi, harga udang lokal juga masih cukup tinggi dan kalah bersaing dengan udang impor. Selain itu, kurangnya bahan baku menjadi permasalahan utama yang dialami oleh unit pengolahan ikan (UPI) udang (dari total kapasitas sekitar 550 ribu ton/tahun, produksi udang lokal yang bisa masuk ke pengolahan hanya sekitar 350 ribu ton),” papar Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Merujuk data KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), kata Prof. Rokhmin,  ada 2,8 juta ha potensi budidaya air payau, baru termanfaatkan 600 ribu hektar. Ada wilayah yang belum terkelola. “Bukan membuka lahan baru tapi mengoptimalkan lahan eksisting agar tak mengancam ekosistem mangrove. Karena nilai udang tinggi, perlu desain jangka panjang perlu belajar Vietnam. Perlu regulasi khusus sesuai daya dukung dan perlindungan HAM yang terlibat dalam tata niaga,”   ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Lanjutnya, Udang Vaname merupakan jenis yang paling banyak dibudidaya. Pada 2021 mencapai 61 persen, disusul udang Windu 8 persen. Periode 2017-2021, pertumbuhan produksi udang budidaya Indonesia rata-rata mencapai 2,96 % per tahun, dimana sejak 2020 menjadi produsen terbesar ke-3 di dunia. “Hingga 2021, produksi budidaya  udang dominan dari jenis Vaname (64%), disusul Windu (12%),” sebutnya.

Pada 2021, terang Prof. Rokhmin Dahuri, total produksi perusahaan budidaya pembenihan udang yaitu 13.131 Juta ekor benur. Sedangkan pada 2022, produksi perusahaan budidaya pembesaran udang, mencapai 48.061 Ton.

Pada 2022, Udang menjadi kontributor terbesar ekspor perikanan nasional, baik dari volume (19,7%) maupun nilai (34,6%). Hingga 2021, ekspor udang Indonesia dominan produk beku (67% volume ekspor dan 63% nilai ekspor). “Periode 2017 – 2021, ekspor udang Indonesia sebagian besar ke Amerika Serikat (>67%), disusul Jepang dan China,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Terkait program ekstensifikasi tambak udang model klister, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan sebagai berikut: Lokasi: daerah (kawasan) relatif terpencil (remote areas); luas klaster dalam satu hamparan: 500 – 2.000 ha yang layak untuk dibangun hatchery, pabrik pakan, mini ice plant dan cold storage secara terpadu;  perusahan Inti bertanggung jawab memasarkan komoditas atau produk udang olahan ke pasar ekspor dan domestic; pola usaha: Inti – Plasma yang saling menguntungkan dan menghormati secara berkelanjutan, dimana Perusahaan Inti mengusahakan minimal 50% total luas tambak klister; pemerintah bertanggung jawab mencetak kawasan klaster tambak dan infrastruktur dasar (jalan, listrik, telkom, dan air bersih).

Terkait program ekstensifikasi tambak udang model mandiri, ia menjelaskan sebagai berikut: Lokasi: daerah (kawasan) dengan aksesibiltas tinggi ke sumber sarana produksi dan pasar, dan infrastruktur memadai; luas tambak individu mandiri: 5 – 50 ha per pengusaha.

“Pemerintah bertanggung jawab: (1) peyediaan kredit perbankan dengan bunga ralatif murah dan persyaratan relatif mudah, (2) pendampingan teknis dan manajemen, dan (3) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis yang kondusif,” ujar Prof. Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia  (MAI).

Ia juga membahas program ekstensifikasi tambak udang klister kolam buat berbasis masyarakat sebagai berikut:  Tujuan: mesejahterakan rakyat kecil dan pemerataan kesejahteraan; penerima manfaat: rakyat kecil dan kelompok milenial; luas: 4 ha per klaster; 2 ha untuk 60 unit kolam bulat, dan sisa lahan untuk kolam tandon, kolam sedimentasi, IPAL  (Instalasi Pengolahan Air Limbah)  dan prasarana.

“Peserta: 60 KK, setiap KK didampingi 2 sarjana atau lulusan Poltek (D3 – D4) akuakultur, dan setiap sarjana (D3, D4) punya hak usaha 2 unit serta bertanggung jawab sebagai pendamping 58 KK petambak,” tuturnya.

Dijelaskan, model klaster budidaya udang rakyat untuk generasi milenial dengan menggunakan teknologi kolam bundar. Inovasi Teknologi Budidaya Udang itu sebagai berikut: teknologi kolam bundar dengan pemanfaatan teknologi berbasis industri 4.0  (automatic feeder, water quality monitoring,  nanobubble) yang dilengkapi aplikasi budidaya berbasis data (smart farming); skala ekonomi satu unit kolam bundar untuk mendapatkan pendapatan Rp 5 juta per bulan per pembudidaya adalah diameter 20 m ketinggian 1,5 m dengan kepadatan tebar 250 ekor/m2; dan pengelolaan usaha budidaya dilakukan dalam bentuk klaster, dimana skala ekonomi klaster minimal 60 unit kolam (60 pembudidaya).

Prof. Rokhmin Dahuri juga menjelaskan subsistem pra produksi. Yaitu, 1) Belum ada informasi spasial kuantitatif yang akurat tentang distribusi tambak udang yang ada (existing) dan lokasi (kawasan) lahan pesisir yang potensial (suitable) untuk tambak udang berdasarkan RTRW per Kabupaten/Kota dan per Provinsi di NKRI.

2) Pada umumnya Pemerintah (PEMDA) belum menganggap usaha tambak udang sebagai sektor unggulan (leading sector, prime mover), sehingga dalam RTRW sering tergeser oleh sektor lain (seperti industri manufaktur, pariwisata, pemukiman, business center, dan ESDM).

3) Keterbatasan benur, pakan, obat-obatan, pedal wheel (kincir air tambak), dan sarana produksi lain yang berkualitas dan harga relatif murah di sekitar lokasi tambak udang.  4) Keterbatasan infrastruktur (irigasi tambak, jalan, listrik, telkom, pelabuhan, dan air bersih).

Bahan baku pakan (tepung ikan) di Indonesia masih bergantung produk impor harga pakan relatif mahal  biaya produksi udang membesar. “ Total biaya produksi udang per kg (HPP) mencapai Rp 47.000,” sebutnya.

Disamping itu, terangnya, industri pengolahan udang di Indonesia masih kekurangan bahan baku udang. Di satu sisi, harga udang lokal juga masih cukup tinggi dan kalah bersaing dengan udang impor. Kurangnya bahan baku menjadi permasalahan utama yang dialami oleh unit pengolahan ikan (UPI) udang (dari total kapasitas sekitar 550 ribu ton/tahun, produksi udang lokal yang bisa masuk ke pengolahan hanya sekitar 350 ribu ton).

Sedangkan subsistem Produksi (On-Farm), antara lain: 1) Sebagian besar (80%) usaha tambak udang bersifat tradisional dan skala kecil: (1) tidak memenuhi skala ekonomi, (2) tidak menerapkan Best Aquaculture Practices, (3) tidak menerapkan ISCMS (Integrated Supply Chain Management System), dan (4) kurang ramah lingkungan.

“Akibatnya: produktivitas dan keuntungan rendah, sering gagal panen akibat penyakit dan lainnya, dan tidak sustainable,” kata Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

2) Intensitas (laju) pembangunan tambak udang (padat penebaran x luas areal pertambakan) melebihi daya dukung lingkungan mikro (kolam tambak) maupun lingkungan makro (wilayah hamparan). Akibatnya: pencemaran perairan dan ledakan wabah penyakit  gagal panen.

Best Aquaculture Practices: (1) benih unggul (SPF, SPR, and fast growing), (2) pakan berkualitas dan teknik pemberiannya, (3) pengendalian hama & penyakit, (4) manajemen kualitas air & tanah, (5) lay out and pond engineering, dan (6) biosecurity.

Kemudian, Subsistem Processing And Marketing (Hilir) antara lain: 1) Kemungkinan penurunan kualitas udang: dari panen keluar dari lokasi tambak dibawa oleh Supplier (Pedagang Perantara/Pengepul). Pabrik (Industri) Pengolahan Udang.

2) Peran ganda (positip atau negatip) Supplier: (1) Supplier mampu membeli udang di lokasi tambak yang jauh (remote areas) dengan infrastruktur jalan yang buruk (positip), atau (2) harga udang di tingkat pabrik jadi lebih mahal (negatip).

3) Kontinuitas suplai bahan baku udang dari tambak bagi pabrik pengolahan acap kali terganggu, karena faktor musim atau mismatch Sistem Logistik (industri pengolahan kekurangan bahan baku, sementara petambak susah mencari pasar).

4) Daya saing produk udang Indonesia di pasar ekspor (global) karena faktor teknis internal (produk kurang berdaya saing: QCD) atau hambatan perdangan (tariff and non-tariff barriers). 5) Persyaratan pasar ekspor yang semakin ketat: mutu, food safety, traceability, isu lingkungan, standardisasi dan sertifikasi.

Beberapa penyebab Harga udang turun: 1. Gudang eksportir penuh, 2. Perpanjangan pembatasan ekspor ke china, 3. Harga udang Indonesia masih  mengikuti harga internasional, 4. Amerika lebih memilih mengekspor udang dari Ekuador karena harga lebih murah, 5. Panen dini akibat kabar terkini sehingga stok bertambah, pembeli tetap dan harga menjadi anjlok.

Penurunan harga udang internasional dipicu oleh resesi ekonomi global. Komoditas udang tetap diminati, tetapi terjadi pergeseran pasar. Harga ekspor udang terus merosot mulai September 2022. Harga komoditas udang anjlok 30-45 persen dibandingkan harga normal, terutama udang berukuran besar, yakni ukuran 40 ekor per kg (ukuran 40) hingga ukuran 20.

“Merosotnya harga udang membebani petambak yang masih menghadapi ancaman serangan penyakit udang, seperti acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND) dan sindrom kematian dini (EMS),” ujarnya.

Disamping itu, kata Prof. Rokhmin Dahuri, Kebijakan Politik Ekonomi (Faktor Eksternal) terdiri: 1) Moneter: nilai tukar rupiah, suku bunga Bank yang tinggi dan persyaratan pinjam yang berat (5 C), dll; 2) Fiskal: rendahnya alokasi APBN dan APBD untuk sektor KP, termasuk industri tambak udang;

3) Pencemaran perairan, dan kerusakan lingkungan (abrasi, sedimentasi, dll); 4) Iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kurang kondusif: perizinan, konsistensi kebijakan pemerintah, keamanan berusaha, kepastian hukum, dll;

5) Keterbatasan SDM kompeten dan beretos kerja unggul; 6) Lemahnya R & D, sehingga membuat kita tergantung pada teknologi impor.

Program Revitalisasi Tambak Udang

Tujuan program revitalisasi tambak udang, papar Prof. Rokhmin Dahuri, untuk meningkatkan: (1) produktivitas, (2) efisiensi (keuntungan), (3) daya saing, dan (4) keberlanjutan (sustainability) setiap unit usaha tambak udang yang masih layak untuk direvitalisasi.

Teknologi & Manajemen untuk mencapai tujuan: (1) skala ekonomi, (2) Best Aquaculture Practices, (3) ISCMS, dan (4) Environmentally Sustainable Development Principles. ISCM untuk petambak individual, Pemerintah membantu pengembangan kemitraan saling menguntungkan antara: produsen benur, produsen pakan, petambak, supplier, dan industri pengolahan.

“Caranya: dengan dikoordinir oleh Pokja Nasional, Bupati/Walikota disetujui Gubernur mengajukan unit-unit tambak udang yang layak untuk direvitalisasi di Kabupaten/Kota nya masing-masing, atau top down yang menentukan Pokja Nasional,” ujarnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menilai model klaster budidaya udang rakyat untuk generasi milenial adalah dengan menggunakan teknologi kolam bundar berbasis inovasi teknologi diantaranya; pertama, Teknologi kolam bundar dengan pemanfaatan teknologi berbasis industri 4.0  (automatic feeder, water quality monitoring,  nanobubble) yang dilengkapi aplikasi budidaya berbasis data (smart farming).

Kedua, Skala ekonomi satu unit kolam bundar untuk mendapatkan pendapatan Rp 5 juta per bulan per pembudidaya adalah diameter 20 m ketinggian 1,5 m dengan kepadatan tebar 250 ekor/m2. Ketiga, Pengelolaan usaha budidaya dilakukan dalam bentuk KLASTER, dimana skala ekonomi klaster minimal 60 unit kolam (60 pembudidaya)’

Adapun kebijakan politik ekonomi yang kondusif dalam mendorong industri udang nasional menurut Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2019-2024 itu diantaranya adalah tambak udang harus masuk sebagai sektor unggulan (strategis) nasional dalam RTRW dan RZWP3K, Permudah, percepat, dan permurah perizinan usaha, Program kredit khusus dengan bunga 7% dan persyaratan relatif lunak.

“Penciptaan iklim investasi dan kemudahan Berbisnis yang kondusif melalui keamanan berusaha (tidak ada lagi kriminilisasi petambak udang), konsistensi kebijakan, dan kepastian hukum,” kata dosen kehormatan Mokpo National University Korea Selatan tersebut.

Kebijakan Politik Ekonomi Yang Kondusif

Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, budidaya udang is not ‘rocket science’ dimana ayoritas rakyat Indonesia mampu menjalankan usaha budidaya tambak udang. ‘’Budidaya udang merupakan SDA terbarukan, membantu terwujudnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development),” tuturnya.

Namun begitu menurutnya, industri udang nasional dihadapkan pada berbagai tantangan diantaranya; belum ada informasi spasial kuantitatif yang akurat tentang distribusi tambak udang yang ada (existing) dan lokasi (kawasan) lahan pesisir yang potensial (suitable) untuk tambak udang berdasarkan RTRW per Kabupaten/Kota dan per Provinsi di NKRI.

“Pada umumnya Pemerintah (PEMDA) belum menganggap usaha tambak udang sebagai sektor unggulan (leading sector, prime mover), sehingga dalam RTRW sering tergeser oleh sektor lain (seperti industri manufaktur, pariwisata, pemukiman, business center, dan ESDM),” terangnya.

Selain itu, keterbatasan benur, pakan, obat-obatan, pedal wheel (kincir air tambak), dan sarana produksi lain yang berkualitas dan harga relatif murah di sekitar lokasi tambak udang, dan keterbatasan infrastruktur (irigasi tambak, jalan, listrik, telkom, pelabuhan, dan air bersih).

Untuk mendorong peningkatan produksi udang nasional, menurut dosen kehormatan Mokpo National University Korea Selatan tersebut ada berbagai strategi yang harus dijalankan diantaranya revitalisasi tambak udang, ektensifikasi, pengembangan inovasi teknologi budidaya, dan kebijakan ekonomi politik yang kondusif.

“Revitalisasi tambak udang tujuannya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi (keuntungan), daya saing, dan keberlanjutan (sustainability) setiap unit usaha tambak udang yang masih layak untuk direvitalisasi,” jelas Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.

Komentar