Rabu, 22 Mei 2024 | 01:48
COMMUNITY

Ulama & Warisan Snouck Hurgronje Dalam Politik Kita

Ulama & Warisan Snouck Hurgronje Dalam Politik Kita
Snouck Hurgronje di konsulat Hindia Belanda di Jeddah sekitar tahun 1884 (int)

ASKARA - Cristian Snouck Hurgronje, Orientalis paling masyur yang sampai saat ini masih terus diperbincangkan Prof. Dr. Snouck Hurgronje, seorang antropolog yang mengajar di Universitas Leiden, Belanda. 

Cristian Snouck Hurgronje (CSH) salah seorang orientalis ternama yang pernah dikirim oleh Kerajaan Belanda sebagai penasihat dan konsultan perang untuk mengalahkan Kesultanan Aceh.

Para Sejarawan menulis bahwa Belanda sangat kewalahan berperang melawan Kesultanan Aceh sejak maklumat perang diumumkan pada 26 Maret 1873.

Hampir dua dekade lamanya Belanda terus menggempur Aceh dengan kekuatan militer terbaiknya tapi tidak membuahkan hasil maksimal. Justru mengakibatkan kerugian materi, energi dan korban jiwa yang begitu besar.

Beberapa perwira dan jenderal pimpinan perangnya tersungkur tewas oleh serangan mujahidin Aceh, seperti: Jenderal Kohler, Jenderal J.L Pel, Jenderal Demmenie, Jenderal De Moulin. Inilah fase paling kelam dalam sejarah perang yang dihadapi Belanda.

Snouck Hurgronje Dikirim ke Aceh

Karena kesulitan mengalahkan Aceh melalui kekuatan militer, akhirnya Belanda mengutus seorang professor antropologi terbaik dari Universitas Leiden. Snouck Hurgronje seorang sarjana teologi Kristen yang menyelesaikan doktoralnya di bidang antropologi.

Snouck Hurgronje juga mendapat beasiswa untuk mendalami Islam di Mekkah. Dengan berpura-pura masuk Islam, dia juga berperan sebagai mata-mata untuk mencari informasi tentang Aceh dari masyarakat Aceh yang melaksanakan ibadah Haji ketika itu.

Tidak berlebihan karena kecerdasan di bidang antropologi dan studi Islam, serta kepiawaian dalam berkamuflase menjadikan Snouck Hurgronje sebagai orientalis dan konsultan perang kelas kakap dunia ketika itu.

Setelah Snouck Hurgronje menyelesaikan studi Islam di Mekkah. Dia selanjutnya dikirim ke Aceh melalui Batavia pada tahun 1889. Hurgronje diangkat sebagai penasihat Gubernur Militer di Hindia Belanda dan memberikan beberapa nasihat.

Hal paling utama yang menjadi nasihat Cristian Snouck Hurgronje adalah yang harus ditakuti oleh Pemerintah Belanda bukan Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik.

Islam sebagai doktrin politik harus diwaspadai Belanda karena mampu membangkitkan perlawanan secara nyata dari umat Islam karena dikomando oleh ulama pergerakan (haraqah).

Snouck menyarankan supaya pemerintah Belanda bertindak netral terhadap Islam sebagai agama dan tegas kepada doktrin politiknya.

Saran itu disampaikan Snouk setelah melakukan penelitiannya di Aceh, sembari menempatkan dirinya sebagai salah seorang ulama dengan nama Abdul Ghafar. Ia melakukan kajian langsung ke tengah-tengah masyarakat. Secara terperinci Snouck menulis laporan kepada Gubernur Militer tentang siasat untuk menaklukan Aceh yang diberi judul Atjeh Verslag.

Snouck menulis laporan intelijen dengan satu poin penting bahwa: Perlawanan di Aceh tidak benar-benar dipimpin oleh Sultan, seperti yang dipikirkan Belanda selama ini, namun oleh ulama-ulama Islam.

Saran lainnya yang disampaikan oleh peneliti tersebut, Belanda harus menerapkan politik adu domba antara hulubalang dan agamawan. Di satu sisi kaum bangsawan perlu dirangkul, diberikan peran dalam pemerintahan dan diberikan pendidikan ala barat.

Di sisi lain, ulama dan pengikut setianya yang telah mengambil alih kesultanan dan terus mengobarkan jihad dibenturkan dengan kaum hulubalang. Padahal sebelumnya ulama memiliki peran yang begitu penting dalam sistem kesultanan dan pemerintahan Aceh.

Snouck merekomendasikan tindakan kekerasan terhadap ulama pergerakan yang menyampaikan ajaran-ajaran soal jihad, negara Islam dan konsep politik Islam. Bahkan ulama seperti ini dikejar, diperangi dan dibunuh sampai ke hutan belantara. Ini terbukti dari banyaknya ulama yang syahid di hutan belantara.

M C Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern menuliskan, pada akhirnya Snouck menekankan bahwa tidak ada satupun yang dapat meredakan perlawanan yang fanatik dari kaum ulama.

Ulama hanya diizinkan dan diberikan peran berbicara soal hari akhirat dan ritual ibadah semata. Hanya dalam wilayah sekat lembaga pendidikan agama. Tidak dalam persoalan politik dan pemerintahan.

Snouck juga berhasil memecah belah sampai ke tingkat gampong antara peutuwa, ,(Teungku Imum dan Geuchik). Padahal sebelumnya peran teungku gampong tidak terpisah dengan geuchik dalam menyukseskan roda pemerintahan.

Ajaran Snouck Masih Lestari

Warisan pemikiran orientalis Snouck Hurgronje untuk menyingkirkan ulama terlibat dalam politik dan pemerintahan masih lestari dalam sebagian hati dan pikiran umat Islam sampai saat ini.

Hal ini dapat dilihat dari upaya pemisahan agama dan politik. Serta klaim-klaim bila ulama tidak cocok terjun ke dalam dunia politik praktis. Pernyataan-pernyataan ini tidak saja disampaikan oleh orang awam, tapi juga dari kalangan agamawan itu sendiri. Dengan dalih menjaga kesucian ulama dari kotornya dunia politik, maka ulama diserukan tidak ambil bagian. Bilapun diperlukan, cukup sebatas penasihat saja.

Padahal umat Islam melalui Rasulullah dalam sabdanya menyebutkan. “Ulama adalah penerima warisan dari Nabi” (HR. Ahmad)

Sebagaimana kita tahu Rasulullah pemimpin agama, beliau juga pemimpin negara. Dan hal ini terus diwarisi oleh para sahabat dan kepemimpinan setelahnya dalam lintas sejarah kejayaan Islam.

Untuk menggantikan politik Islam, dimunculkanlah politik nasionalisme. Ideologi ini tumbuh subur dan menenggelamkan gerakan Pan Islamisme yang bertujuan menyatukan gerakan keislaman dari sekat-sekat bangsa, demi lahirnya kekuatan utama mengusir penjajahan.

Doktrin nasionalisme kebangsaan ini, di sisi lain tanpa disadari telah menghambat lahirnya solidaritas umat Islam dunia dalam menghadapi pola penjajahan simetris (militer) dan asimetris (non militer) untuk menguasai hasil alam. (Mukhtar Syafari) 

Komentar