Jumat, 17 Mei 2024 | 16:34
COMMUNITY

Desak Presiden Periksa Menteri Desa PDTT

Perkumpulan Amerta: Cacat Logika Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa

Perkumpulan Amerta: Cacat Logika Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa
Kepala Desa usai demo pamer tato (int)

ASKARA -- Pada tanggal 17 Januari 2023 sejumlah kepala desa melakukan aksi demonstrasi di Jakarta menuntut perpanjangan masa jabatan dari enam menjadi sembilan tahun sehingga dengan peluang tiga kali perpanjangan keseluruhan masa jabatan menjadi 27 tahun.

Tuntutan ini dikabarkan disetujui oleh fraksi-fraksi yang ada dan oleh Presiden Jokowi, meski kemudian dikoreksi.

Argumentasi perpanjangan masa jabatan adalah: Biaya kampanye pemilihan kepala desa (pilkades) besar, namun tidak sesuai dengan pendapatan yang diterima kepala desa.

Periode waktu yang lebih panjang akan mengurangi ketegangan paska pilkades juga memberikan waktu untuk pembangunan lebih panjang. Jika ada kepala desa bermasalah dapat diberhentikan oleh Kemendagri

Perkumpulan Amerta argumentasi yang disampaikan memiliki cacat logika yang serius. Cacat logika tersebut adalah:  Perpanjangan masa jabatan adalah akomodasi pada politik uang di desa.

“Untuk menghentikan politik uang di desa justru harus dilaksanakan pembatasan masa jabatan sehingga mereka yang mempergunakan politik uang dalam pilkades dirugikan dengan demikian tidak lagi dilakukan,” demikian Perkumpulan Amerta dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/1).

Ketegangan paska pilkades bukan diakibatkan oleh masa jabatan namun karena:  a) politik uang, pihak yang merasa sudah mengeluarkan uang cukup besar namun kalah tidak menerima hasil pilkades dan melakukan perlawanan, b) calon yang tidak kompeten dan tidak layak namun terpilih karena mempergunakan politik uang sehingga warga desa tidak menerima calon bersangkutan.

Perpanjangan masa jabatan tidak memiliki keterkaitan positif dengan kinerja kepala desa. Sebaliknya keterkaitan yang ada adalah negatif karena kepala desa tidak memiliki urgensi untuk segera bekerja. Pembatasan masa jabatan memaksa kepala desa terpilih untuk segera bekerja dan berkinerja sebaik mungkin agar dapat terpilih pada pilkades berikutnya.

Pelaporan kepala desa yang bermasalah pada Kemendagri adalah usulan yang tidak rasional. Dengan jumlah desa yang lebih dari 80,000, akan menambah beban Kemendagri yang harus melakukan supervisi pada lebih dari 500 kabupaten/kota, selain diperlukan penataan peraturan dan kelembagaan yang membutuhkan waktu dan anggaran.

Perpanjangan masa jabatan akan membuat rotasi kepemimpinan desa menjadi lebih lama dan proses akuntabilitas melalui pilkades menjadi lebih lemah. “Perpanjangan masa jabatan dengan demikian menguntungkan elit desa dan merugikan warga desa,” terangnya.

Tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa telah memicu tuntutan dari aparat desa untuk diangkat sebagai ASN atau PPPK, perpanjangan usia untuk menjabat sampai 60 tahun, penghasilan dari APBN yang tidak dikaitkan dengan dana desa, mendapatkan tunjangan keluarga dan pensiun.

Tuntutan ini menyebabkan implikasi negatif yaitu: Akuntabilitas perangkat desa tidak lagi kepada warga desa namun pada birokrasi pemerintah.

Kinerja perangkat desa tidak lagi terkait dengan kinerja implementasi dana desa atau program lainnya dan KKN akan semakin berkembang di desa.  Beban biaya tetap pada APBN akan semakin tinggi.

Memperhatikan cacat logika dan implikasi negatif dari perpanjangan masa jabatan kepala desa, maka selayaknya Presiden Joko Widodo melalui Menteri Dalam Negeri dan seluruh fraksi di DPR menolak tuntutan perpanjangan masa jabatan.

“Kami berharap Presiden Joko Widodo juga menegur dan memeriksa Menteri Desa PDTT yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam isu ini,” tutup Perkumpulan Amerta.

 

Komentar