Sabtu, 20 April 2024 | 00:17
NEWS

FGD Kelautan dan Perikanan

Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap Strategi Ekonomi Biru dan Teknologi Digital untuk Kemajuan Provinsi Lampung

Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap Strategi Ekonomi Biru dan Teknologi Digital untuk Kemajuan Provinsi Lampung
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung menggelar Focus Group Discussion (FGD) “Optimalisasi Pengembangan Sektor Kelautan dan Perikanan” di Hotel Sheraton Bandar Lampung,  Selasa, 20 Desember 2022.

Sebagai narasumber utama, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS memaparkan tentang strategi pengembangan perikanan budidaya berbasis ekonomi biru dan teknologi digital untuk peningkatan daya saing, pertumbuhan ekonomi inklusif, dan kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung secara berkelanjutan. 

Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan peran sektor pembangunan bagi kemajuan dan kesejahteraan wilayah provinsi dan NKRI. Antara lain: Pertama, Mengatasi permasalahan internal sektornya, dan berkontribusi siginifikan dalam pemecahan permasalahan pembangunan wilyah Provinsi dan NKRI.

Kedua, Merevitalisasi seluruh progam pembangunan, investasi, dan bisnis yang ada hingga saat ini (existing development program, investment, and business) di dalam sektornya. Supaya produktivitas, efisiensi (keuntungan), daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya meningkat.

Ketiga, Mengembangkan program pembangunan, investasi, dan bisnis sesuai TUSI sektornya di kawasan-kawasan baru.

Keempat, Mengembangkan program pembangunan, investasi, dan bisnis dengan inovasi terkini (tekonologi, spesies, dan entitas lainnya) di kawasan-kawasan pembangunan existing dan yang baru.

“Tujuan utama dan akhir (the ultimate goal) keempat peran diatas adalah: untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kemandirian (kedaulatan) wilayah Provinsi dan NKRI,” ujar Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Pada kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, pertama kali dalam sejarah NKRI Pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10%. Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 % atau sekitar 27,6 juta orang.

Dari 194 negara anggota PBB dan 204 negara di dunia, hanya 16 negara dengan PDB US$ lebih 1 trilyun. Hingga Juli 2022, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah.

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut menerangkan, klasifikasi negara berdasarkan Indeks Pencapaian Teknologi, Indonesia baru kelas 3 atau technology Adopters (peringkat ke-83 dari 105). “Padahal disebut Negara maju itu demand lebih dari 70% kebutuhan teknologinya itu dihasilkan dari bangsanya sendiri,” terangnya.

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menuturkan, ada 10 Permasalahan & Tantangan Pembangunan Indonesia. Yakni: 1. laju pertumbuhan ekonomi rendah (< 7% per tahun); 2. Pengangguran & Kemiskinan; 3. Ketimpangan Ekonomi Terburuk Ke-3 Di Dunia; 4. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah; 5. Fragmentasi Sosial-Politik Yang Mengancam Persatuan Dan Kesatuan Bangsa;

Selanjutnya, 6. Deindustrialisasi; 7. Kedaulatan Pangan, Farmasi, Dan Energi Rendah; 8. Inovasi, Daya Saing & IPM Rendah; 9. Kerusakan Lingkungan & SDA; 10. Volatilitas & Disrupsi.

Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain, Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Kemiskinan, dan  Koefisien GINI antara sebelum dan Masa Pendemi Covid-19.

Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2022), yakni  pengeluaran Rp 504.469/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2,15 dolar AS/orang/hari atau 63 dolar AS (Rp 984.360)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2021sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk). Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia.

“Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%,” ungkapnya.

Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T), sebutnya, sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015).

“Sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016),” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Deindustrilisasi terjadi di suatu negara, jelasnya, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI  (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536. Sementara, trend naiknya proporsi angkatan kerja di sektor informal. Kontribusi sektor industri manufakturing menurun, tetapi menurut Bank Dunia dan IMF, rata-rata pendapatan perkapita belum mencapai US$ 12.161 (high-income country = negara makmur).

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

 “Berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebut Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan, resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, kata UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.

Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020).

Atas dasar perhitungan tersebut, menurut Litbang Kompas, ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut. Dari 65 juta rumah tangga, masih 61,7 persen rumah tidak layak huni.

“Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” tandasnya.

Hingga 2019, Prof Rokhmin Dahuri menambahkan, Indonesia berada diurutan ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN. Hingga 2022, tingkat kemiskinan Provinsi Lampung sebesar 11,57% (Urutan ke-12 dari 34 Provinsi di Indonesia).

Tingkat kemiskinan tertinggi berada di Lampung Utara sebesar 19,63% (tahun 2021). Hingga 2022, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Lampung sebesar 4,31% (Urutan ke-22 dari 34 Provinsi di Indonesia). TPT tertinggi berada di Bandar Lampung sebesar 8,85% (tahun 2021).

Hingga 2022, Gini Ratio Provinsi Lampung sebesar 0,31 (Urutan ke-26 dari 34 Provinsi di Indonesia). Gini rasio tertinggi berada di Bandar Lampung sebesar 0,34 (tahun 2021). Hingga 2022, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Lampung sebesar 70,45% (Urutan ke-24 dari 34 Provinsi di Indonesia). IPM tertinggi berada di Bandar Lampung sebesar 78,01% (tahun 2022).

Pada 2021, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Prov. Lampung berada diurutan ke-11, sementara PDRB per kapita ke-24 dari 34 Provinsi di Indonesia. Pada tahun 2021, PDRB tertinggi adalah Lampung Tengah dan PDRB/kapita tertinggi berada di Tulang Bawang.

Kendati sejak merdeka 17 – 8 – 1945 Indonesia banyak mengalami kemajuan, namun, sudah 77 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara-berpendapatan menengah bawah dengan GNI perkapita US$ 4.140, angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, gizi buruk, dan IPM yang belum setingkat negara maju (IPM > 80).

Atas dasar angka kemiskinan, PDRB perkapita, dan IPM pada 2022; pencapaian pembangunan Provinsi Lampung masih di bawah pencapaian Nasional.  Maka, PR (Pekerjaan Rumah) Provinsi Lampung lebih berat ketimbang Nasional. “Oleh karenanya, seluruh komponen pembangunan Prov. Lampung harus berekerja lebih cerdas, keras, kolaboratif, dan ikhlas lagi,” ujarnya.

Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, Lampung masuk dalam lima besar provinsi paling banyak produksi budidaya udang. Produksi terbesar budidaya laut berasal dari Kabupaten Lampung Selatan (63,74%). Produksi terbesar budidaya air tawar berasal dari Kabupaten Lampung Selatan (62,51%).

Jumlah pembudidaya terbanyak berada di Kabupaten Tulang Bawang (37,55%). Ekspor produk perikanan Lampung dominan komoditas Udang (82% total volume dan 36% total nilai). Baik di eksosistem laut maupun ekosistem payau dan darat, tingkat pemanfaatan perikanan budidaya pada umumnya masih jauh lebih rendah ketimbang potensi produksi lestarinya.

Maka, katanya, peningkatan produktivitas dan produksi perikanan budidaya memberikan masih terbuka lebar. Mayoritas pembudidaya perikanan, khususnya yang skala Mikro dan Kecil (tradisional), masih miskin (pendapatan < US$ 375 (Rp 5,625 juta)/bulan/orang) (Bank Dunia, 2022).

Sebagian besar unit bisnis (usaha) perikanan budidaya tradisional tidak menerapkan: (1) Economy of Scale (Skala Ekonomi); (2) Integrated Supply Chain Management System (Hulu – Hilir); (3) Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Terbaik); (4) Teknologi Mutakhir (Blue Economy, Industry 4.0 Technology) pada setiap mata rantai pasok; dan (5) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Sayangnya, kurang produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan pembudidaya miskin dan kontribusi sektor Perikanan Budidaya (Aquaculture) bagi perekonomian Prov. Lampung (PDRB, ekspor, dan PAD) rendah.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan besar (korporasi) perikanan budidaya; seperti era tambak udang Dipasena dan Central Pertiwi Bratasena (CPB), perusahaan-perusahaan tambak udang yang tergabung dalam SCI (Shrimp Club Indonesia) Lampung yang menerapkan kelima kiat bisnis perikanan budidaya.

Sehingga maju dan makmur (berjaya); jiwa sosial-kemanusiannya rendah (gaji atau upah karyawan rendah, tidak ada jaminan ekonomi saat pensiun, dan kontribusi terhadap PDRB serta PAD pun rendah).  Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi korporasi perikanan budidaya tersebut tidak bersifat inklusif.

Ledakan wabah penyakit akibat penggunaan benih atau benur yang tidak unggul dan tidak bersertifikat (SPF, SPR, dan fast growing), kualitas air tambak/kolam/KJA yang buruk (tercemar berat) akibat manajemen pakan dan kualitas air yang tidak baik serta air baku berasal dari lingkungan perairan (sungai, danau, laut, dan lainnya) yang sudah tercemar (polluted).

Ketersediaan pakan berkualitas, terutama di kawasan-kawasan akuakultur (perikanan budidaya) yang terpencil (remote aquaculture areas), acap kali terbatas; dan harganya pun cenderung naik akibat semakin terbatasnya fishmeal (tepung ikan) sebagai sumber utama protein hewani berkualitas tinggi (top quality) untuk pakan udang ikan (pellet) dan penyebab lainnya.

“Harga hampir semua sarana produksi yang berkualitas (benih, benur, pakan, obat-obatan, ALSINTAN, dll) di tingkat pembudidaya lebih mahal ketimbang di tingkat produsen sarana produksi,” kata Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Harga jual komoditas hasil panen pembudidaya (ikan, udang, kekerangan, rumpu laut, dan lainnya) masih flutuatif dan relatih stagnant atau kalau pun naik, kenaikannya kecil.  Profit margin (porsi keuntungan) sebagian besar dinikmati oleh processors dan traders.

Posisi tawar (bargaining position) sektor (investasi dan bisnis) perikanan budidaya dalam RTRW Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota pada umumnya lebih rendah ketimbang sektor properti, kawasan perkotaan, industri manufaktur, ESDM, pariwisata, dan lainnya. Akibatnya, lahan perikanan budiaya seringkali tergusur (dialihfungsikan ke) oleh sektor-sektor pembangunan lainnya, terutama yang seolah-olah “high profit and quick-yielding”.

Infrastruktur dasar (jaringan jalan, listrik, telkom, internet, air bersih, pelabuhan, bandara, dll) dan infrastruktur perikanan budidaya (saluran irigasi dan drainasi, sumberdaya air, hatchery, broodstock centers, dll) masih terbatas.

Pencemaran perairan danau, bendungan, sungai, dan laut sebagai sumber air untuk budidaya perikanan atau media langsung budidaya perikanan akibat aktivitas sektor-sektor pembangunan lainnya dan aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan.

Dampak negatip dari Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya. Kualitas SDM pembudidaya perikanan, ASN, Dosen, Peneliti, LSM, dan stakeholdsers lainnya (pendidikan, pengetahuan, skills, expertise, etos kerja, dan akhlak) pada umumnya masih relatif rendah.

Dukungan inovasi teknologi maupun non-teknologi sangat rendah, akibat kinerja lembaga R & D di tingkat Nasional maupun Daerah yang rendah pula. Suku bunga bank terlalu tinggi dan persyaratan pinjam rumit, karena usaha perikanan budidaya dianggap high risk.

Iklim investasi dan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business); seperti perizinan, konsistensi kebijakan pemerintah, keamanan berusaha, dan kepastian serta keadilan hukum; masih kurang kondusif. Buktinya (indikatornya): investasi PMDN dan PMA di sektor KP Lampung masih sangat kecil.

Kebijakan politik-ekonomi atau makro pembangunan (moneter, fiskal, ekspor – impor, dll) juga belum kondusif. Permasalahan dan tantangan yang sifatnya internal Sektor KP mestinya dengan leading agencies Dinas KP Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat diselesaikan dalam waktu relatif cepat (1 - 5 tahun).

Permasalahan dan tantangan yang sifatnya lintas sektor dan lintas wilayah pembangunan (eksternal Sektor KP), penyelesaiannya perlu waktu lebih lama (jangka panjang). Artinya: solusinya (kebijakan dan program nya) dilaksanakan sekarang, tetapi dengan implementasi yang berkesinambungan (ada continuity), hasilnya baru dirasakan setelah 5 tahun.

Segenap permasalahan dan tantangan diatas diyakini lebih mudah dan cepat diatasi dengan aplikasi Blue Economy dan Industry 4.0 Technology (Digital).

Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru

Sementara itu, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, sejak pertengahan tahun 1980-an, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) dimana pembangunan ekonomi pada sisi lain justru melahirkan fakta bahwa 1,8 miliar penduduk dunia berada dalam kemiskinan yang ekstrim. 3 miliar orang masih miskin, 800 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang melebar, krisis ekologis, dan Pemanasan Global (UNEP, 2011; Bank Dunia, 2022).

Mengutip UNEP, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, Ekonomi Hijau adalah salah satu yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, Ekonomi Biru merupakan suatu konsep yang sangat penting. Pada dasarnya Ekonomi Biru merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). “Ekonomi Biru, menurut Uni Eropa berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan,” terangnya, mengutip UNEP.

Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik hijau; (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif; (3) dan pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (UNEP, 2012; PEMSEA, 2016).

“Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” jelas Prof. Rokhmin Dahuri.

Maka, lanjutnya, untuk mendukung implementasi ekonomi biru, ada tujuh langkah yang maesti dijalankan Indonesia yakni: pertama, setiap kegiatan pembangunan (unit bisnis) harus sesuai dengan RTRW laut – pesisir – daratan secara terpadu di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional.

“Dalam setiap RTRW terpadu, minimal 30% total luas wilayah dialokasikan untuk kawasan lindung (protected area), selebihnya (< 70%) untuk kawasan pembangunan (development zone) berbagai sektor ekonomi seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, ESDM (pertambangan & energi), industri bioteknologi kelautan, industri manufaktur, dan industri serta jasa maritim,” tuturnya.

Kedua, Pembangunan Kawasan Industri Terpadu berkelas dunia yang berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan sustainable di wilayah perbatasan (terdepan) NKRI, di wilayah pesisir di sekitar ALKI, dan pulau-pulau kecil.

Ketiga, Ciri ekonomi (Kawasan Industri Terpadu) berkelas dunia seperti diatas: (1) ukuran unit usaha memenuhi economy of scale, (2) menerapkan ISCMS (Integrated Supply Chain Management System), (3) menggunakan teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai Supply Chain System, dan (4) mengikuti prinsip-prinsip Sustainable (Green) Development:

“RTRW, Optimal and Sustainable Utilization of Natural Resources, Zero Waste and Emission, Biodiversity Conservation,  Design & Construction with Nature, dan Mitigasi & Adaptasi Perubahan Iklim serta Bencana Alam lainnya,” jelas Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

Keempat, Dalam jangka pendek – menengah (2023 – 2028) (Quick Wins), kita revitalisasi dan kembangkan sektor-sektor: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan dan seafood; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) ESDM seperti Blok Natuna – Anambas, Blok Tangguh (Papua Barat), dan ZEEI Laut Andaman; (6) pariwisata bahari; (7) perhubungan laut; dan (8) industri dan jasa maritim (shipyard, dockyard, peralatan dan mesin, aplikasi digital, dan lainnya).

Kelima, Pengembangan logistik dan konektivitas maritim (Tol Laut & digital). Keenam, Mendirikan Otoritas ALKI untuk mengelola lalu lintas kapal berbasis fee untuk NKRI, seperti pola Terusan Suez dan Terusan Panama with necessary adjustments.

Ketujuh, Economic rents dari pembangunan ekonomi maritim, sebagian untuk membangun HANKAM Maritim- RI berkelas dunia.

Industri 4.0 & Industri Akuakultur

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan, revolusi Industri Keempat (Industri-4.0) menawarkan berbagai teknologi, dan beberapa dapat diterapkan untuk Sistem Akuakultur untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi (profitabilitas), daya saing, dan keberlanjutan.

Istilah ‘Aquaculture 4.0’ pantas diterapkan pada pertanian akuatik yang didorong oleh teknologi yang mengganggu ini. Beberapa “Proyek Akuakultur 4.0” yang menarik telah terbukti sukses di sektor akuakultur. Meningkatkan akurasi, presisi, dan keterulangan dalam proses akuakultur. Memfasilitasi tingkat otomatisasi yang lebih besar atau kontrol bawaan dalam pemantauan rutin sistem akuakultur.

Menyediakan sistem pendukung keputusan yang dapat diandalkan yang ditandai dengan program terkomputerisasi untuk mengumpulkan dan menganalisis data dan menyintesis informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dengan algoritme komputer atau intervensi manusia atau keduanya. Mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manual, dan penilaian subyektif. Akuakultur Lebih Produktif, Efisien, Kompetitif, dan Berkelanjutan.

Pendekatan sistem untuk mewujudkan Prov. Lampung yang maju, sejahtera, mandiri, berkelanjutan, dan diberkahi Tuhan YME pada 2030.

Pendekatan Sistem Untuk Pembangunan Perikanan Budidaya Yang Produktif, Efisien, Berdaya Saing, Inkousif, dan Berkelanjutan.

Revitalisasi usaha (bisnis) perikanan budidaya (aquaculture) bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi (keuntungan), daya saing, inklisivitas, dan keberlanjutan (sustainability) bisnis tersebut.

Revitalisasi bisnis akuakultur tradisional (bergantung pada alam, tanpa penggunaan teknologi) mesti ditempuh dengan meningkatkannya ke tingkat semi-intensif (dengan intervensi teknologi secara moderat):

Unit bisnis harus memenuhi skala ekonomi nya, yakni: besaran (ukuran) unit bisnis yang menghasilkan keuntungan bersih (net profit) yang memberikan penghasilan (income) minimal US$ 375 (Rp 5,6 juta)/bulan/orang. Dengan catatan: US$ 375 = US$ 2,5/orang/hari x 30 hari/bulan x 5 orang.

Menerapkan Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Terbaik): (1) pengunaan benih atau benur unggul yang SPF (Specific Pathogen Free, bebas penyakit), SPR (Specific Pathogen Resistance, tahan terhadap serangan penyakit), dan cepat tumbuh (fast growing) yang bersertifikat; (2) penggunaan pakan berkualitas dan cara pemberian pakan secara tepat dan benar, sehingga PCR = 1; (3) pengendalian hama dan penyakit; (4) manajemen kualitas air; (5) pond engineering; dan (6) biosecurity.

Menerapkan Integrated Supply Chain Management System yang berarti rencana produksi usaha budidaya on-farm harus dipastikan dapat dipasarkan (dijual) dengan harga sesuai nilai keekonomian (menguntungkan pembudidaya, dan tidak memberatkan buyers atau konsumen), dan dijamin pemenuhan sarana produksinya (benih, benur, pakan, obat-obatan, listrik, dll). Menggunakan teknologi mutakhir yang terbaik (Blue Economy dan Industry 4.0 Technology) pada setiap mata rantai pasok.

Menerapkan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development): (1) lokasi usaha budidaya sesuai RTRW; (2) intensitas budidaya (padat penebaran) < daya dukung lingkungan mikro (kolam, tambak, KJA, dll); (3) intensitas budidaya di dalam suatu kawasan < daya dukung lingkungan makro (kawasan); (4) zero-waste dan zero-emission dengan menggunakan energi terbarukan seperti energi matahari, angin, bioenergi, panas bumi, dan energi kelautan.

“Aplikasi teknologi Industri 4.0 baik pada subsistem (mata rantai pasok) produksi (on-farm), subsistem industri pengolahan dan pemasaran (subsistem hilir), subsistem sarana produksi (subsistem hulu) maupun rantai pasok (supply chain) nya. Contoh: Sound (Acoustic) - based Feeding System, IoT and AI water quality monitoring, dan digital site selection for aquaculture production,” terang Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

Komentar