Kamis, 25 April 2024 | 15:28
NEWS

Wisuda Diploma III Angkatan III

Orasi Ilmiah, Prof Rokhmin Dahuri ajak Politeknik KP Jembrana Bangun SDM KP Berwawasan Global

Orasi Ilmiah, Prof Rokhmin Dahuri ajak Politeknik KP Jembrana Bangun SDM KP Berwawasan Global
Prof Rokhmin Dahuri

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS memberikan orasi ilmiah pada acara Wisuda Lulusan Program Diploma-III Politeknik Kelautan dan Perikanan, Jembrana, Provinsi Bali di Kampus Politeknik KP Jembrana, Bali, Sabtu (20/8).

Prof. Rokhmin Dahuri berharap, para Wisudawan turut membantu transformasi dunia yang dalam tiga dekade terakhir diwarnai dengan ketimpangan sosial-ekonomi (kaya vs miskin) yang semakin melebar, Global Climate Change (Perubahan Iklim Global), biodiversity loss (terkikisnya keanekaragaman hayati), pencemaran lingkungan.

“Serta ketegangan geopolitik yang kian meruncing, seperti perang Rusia vs Ukraina yang hingga kini tak kunjung usai. Menuju dunia yang lebih sejahtera, berkeadilan, damai, dan berkelanjutan (sustainable),” ujar Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Membangun SDM Kelautan Perikanan Unggul dan Berwawasan Global di Era Disrupsi Industri 4.0 dan Perubahan Iklim, Pandemi Covid-19, Dan Ketegangan Geopolitk Global”.

Keberhasailan para Wisudawan, katanya, diharapkan semakin memperkokoh IMAN dan TAQWA (IMTAQ) kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.  “Sebab, IMTAQ kepada Tuhan YME akan menjamin saudara-saudara bukan hanya hidup sukses dan bahagia di dunia fana ini, tetapi juga di akhirat kelak,” tuturnya.

Disamping itu, jelasnya, untuk menjadi insan atau SDM (Sumber Daya Manusia) yang unggul di bidang Kelautan dan Perikanan, dan berkontribusi signifikan bagi Indonesia dan Dunia yang lebih sejahtera, adil, damai, dan berkelanjutan tentu para Wisudawan harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan Kelautan dan Perikanan. 

“Selain itu, saudara-saudara pun harus memahami Peta Jalan (Road Map) Pembangunan Kelautan dan Perikanan, baik versi Pemerintah (KKP, Bappenas) maupun versi individual atau institusi lain.  Dinamika global terkait perkembangan IPTEK (terutama di era Industri 4.0), Perubahan Iklim, Lingkungan Hidup, dan geopolitk juga mesti saudara-saudara ikuti dengan seksama,” tandasnya.

Prof. Rokhmin Dahuri berharap Orasi Ilmiah ini dapat memberikan semacam perspektif, arah (direction), dan bekal bagi para Wisudawan untuk hidup sukses serta bahagia, dan bagi POLTEK KP Jembrana yang sudah berkinerja baik supaya lebih cemerlang lagi, hingga menjadi POLTEK KP yang berkelas dunia (a World-Class University) dalam waktu tidak terlalu lama.

Peran Politeknik KP Jembrana Dalam Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045

Pada dasarnya, kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu, peran Perguruan Tinggi (PT) dalam mewujudkan Indonesia Emas pada 2045, dan dunia yang lebih baik dan sustainable adalah berupa: (1) mencetak lulusan yang unggul, (2) hasil penelitian (invensi dan inovasi) yang bermanfaat bagi pembangunan ekonomi dan kehidupan bangsa serta umat manusia, dan (3) perbaikan dan pengembangan kapasitas, etos kerja dan akhlak masyarakat dan aparat pemerintahan (ASN).

Profil alumni PT yang unggul dan insya Allah memiliki kehidupan yang sukses dan bahagia dunia – akhirat adalah mereka yang memiliki karakter: (1) kompeten di bidang IPTEK dan keilmuan yang mereka tempuh selama masa perkuliahan, (2) memiliki kemampuan analisis, sintesis, kritis, kreatif, inovatif, dan problem solving; (3) menguasai dan terampil teknologi digital (menggunakan komputer, HP, dan gadget lainnya); (4) memiliki soft skills (seperti dapat memelihara dan memompa motivasi diri, bisa bekerjasama, teamwork, disiplin, dan leadership);(5) menguasai sedikitnya satu Bahasa asing (seperti Inggris, Arab, atau Mandarin); (6) memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurship); (7) berakhlak mulia (jujur, amanah, fathonah/visioner, tabligh, berempati, kanaah, sabar, dan bersyukur); dan (8) beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.

Penelitian dari PT seharusnya menghasilkan: (1) informasi ilmiah sebagai dasar bagi pihak pemerintah, swasta (industri) maupun masyarakat dalam menyusun perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan atau bisnis; (2) invensi (prototipe) yang siap untuk dihilirisasi (scalled up) menjadi inovasi teknologi maupun non-teknologi; (3) publikasi ilimiah di jurnal ternama (terbaik) pada bidang ilmunya, baik di tingkat nasional maupun internasional; dan (4) semakin meningkatkan Iman dan Taqwa (IMTAQ) para peneliti dan manusia menurut agama masing-masing.

“Selain itu, pengabdian pada masyarakat yang dilakukan oleh PT harus diarahkan untuk membantu masyarakat, pemerintah dan swasta supaya lebih memiliki kompetensi pembangunan serta berusaha (berbisnis), beretos kerja unggul, berakhlak mulia dan beriman kepada Tuhan YME sesuai koridor Pancasila,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Ke depan, lanjutnya, POLTEK-KP JEMBRANA mesti membuka Program Studi baru yang relevan dengan IPTEK dan expertise (keahlian) yang dibutuhkan untuk pembangunan bangsa dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas 2045, dan dunia yang lebih baik dan sustainable. Program Studi itu antara lain adalah: (1) Nano-Bioteknologi; dan (2) Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Lingkungan, terutama yang terkait dengan Perubahan Iklim dan Bencana Alam serta Dampaknya terhadap Sektor KP.

Profil Dan Karakter Alumni Poltek KP Jembarana

Lebih lanjut Prof. Rokhmin Dahuri menekankan, profil alumni PT yang unggul dan insya Allah hidupnya sukses serta bahagia adalah mereka yang memiliki karakter (ciri): (1) kompeten pada bidang IPTEK (PRODI) yang ditempuh selama kuliahnya; (2) memiliki kemampuan analisis, sintesis, kritis, kreatif, inovatif, dan memecahkan masalah (problem solving); (3) menguasai dan terampil teknologi digital (menggunakan komputer, HP, dan platform lainnya); (4) memiliki soft skills (seperti dapat memelihara dan memompa motivasi diri, bisa bekerjasama, teamwork, disiplin, dan leadership);(5) menguasai sedikitnya satu bahasa asing (seperti Inggris, Arab, atau Mandarin); (6) memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurship); (7) berakhlak mulia (jujur, amanah, fathonah/visioner, tabligh, berempati, kanaah, sabar, dan bersyukur); dan (8) beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing (Lampiran-3).

Kompetensi Alumni PRODI Penangkapan Ikan: (1) mumpuni mengoperasikan teknologi penangkapan ikan atau fishing technology (fishing vessels, fishing gears, dan alat bantu seperti ecosounder dan fishfinder); (2) mumpuni menjalankan bisnis perikanan tangkap secara terpadu (hulu – hilir); (3) mampu secara cepat (adaptive and agile) mengoperasikan fishing technology baru di masa depan; (4) pengoperasian fishing technology harus mengikuti segenap regulasi Pemerintah-RI c.q. KKP, Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995), dan regulasi lainnya yang menjamin usaha perikanan tangkap yang mensejahterakan nelayan secara berkelanjutan; (5) mumpuni menjalankan pedoman safety at sea; dan (6) dapat memberikan saran/masukan kepada yang berwewenang tentang perbaikan untuk pembangunan subsektor Perikanan Tangkap dan usaha (bisnis) Perikanan Tangkap.

Kompetensi Alumni PRODI Perikanan Budidaya: (1) mumpuni melaksanakan Best Aquaculture Practices yang ada saat ini; (2) mumpuni mengelola lingkungan Kawasan agar tetap berkualitas dan sehat untuk pembangunan dan bisnis perikanan budidaya secara menguntungkan (mensejahterakan) dan berkelanjutan; (3) mumpuni menjalankan bisnis perikanan budidaya secara terpadu yang menguntungkan dan berkelanjutan; (4) mampu secara cepat (adaptive dan agile) mengoperasikan teknologi baru (inovasi) terkait Best Aquaculture Practices; (5) mampu mentaati semua regulasi Pemerintah RI dan lembaga internasional terkait Sustainable Aquaculture Development; dan (6) mampu memberikan saran untuk perbaikan kinerja subsektor Perikanan Budidaya.

Kompetensi Alumni PRODI Pengolahan Hasil Perikanan: (1) mumpuni mengoperasikan semua jenis teknologi pengolahan hasil perikanan (pabrik es, cold storage, dan pabrik pengolahan yang menghasilkan beragam produk olahan ikan), sistem rantai dingin (cold-chain system), dan sistem logistik ikan nasional yang ada saat ini; (2) mampu dengan cepat (adaptive dan agile) mengoperasikan yang baru inovasi yang terkait dengan butir- (1) itu; (3) mampu menjalankan bisnis industry pengolahan dan pemasaran hasil perikanan; (4) dapat mentaati semua regulasi Pemerintah RI dan Lembaga internasional; dan (5) dapat memberikan saran untuk perbaikan industry dan pemasaran hasil perikanan.

Untuk memiliki profil dan karakter diri alumni seperti, maka mulai sekarang juga sebagai mahasiswa semuanya harus: (1)  rajin membaca, minimal 6 jam dalam sehari untuk meningkatkan kemampuan kognitif; (2) rajin dan cerdas melaksanakan pekerjaan laboratorium, praktek lapang, magang, dan kegiatan lain yang dapat meningkatkan kapasitas motorik (keterampilan dan keahlian); (3) rajin menghadiri diskusi, lokakarya, seminar, konferensi, dan kegiatan akademis (keilmuan) lainnya yang dapat meningkatkan wawasan, ilmu dan pengetahuan serta membangun network kerjasama; dan (4) berdoa, beriman dan taqwa, dan dekat kepada Allah SWT, Tuhan YME ,menurut agama kita masing-masing.

Peta Jalan Pembangunan Menuju Indonesia Emas 2045

Dalam paparannya, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, seluruh rakyat Indonesia mendambakan segera terwujudnya kehidupan bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat sesuai dengan cita-cita Kemerdekaan NKRI.  Sejak merdeka 77 tahun lalu, bangsa Indonesia terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. 

Kalau pada 1945 PDB Indonesia hanya sekitar US$ 80 milyar, pada 2021 sudah mencapai US$ 1,2 trilyun yang menempatkannya sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia (Bank Dunia, 2021).  Angka kemiskinan pada 1970 masih 60% total penduduk, pada 2019 turun menjadi 9,2 persen. Kemudian, menurut BPS akibat pandemi covid-19, tahun lalu angkanya sedikit meningkat ke 10,4 persen atau 28,4 juta orang.

Namun, mengutip Bank Dunia, hingga kini Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income country), dengan GNI (Gross National Income, Pendapatan Nasional Kotor) US$ 3.870 per kapita.  Suatu negara dinobatkan sebagai negara makmur (high-income country), bila GNI per kapita nya diatas 12.695 dolar AS.

Selain itu, jika mengacu pada garis kemiskinan internasional, 2 dolar AS/orang/hari atau sekitar Rp 900.000/orang/bulan, maka penduduk miskin Indonesia masih sekitar 100 juta orang (36% total penduduk) (Bank Dunia, 2022).  Indonesia pun mengahadapi masalah ketimpangan ekonomi terburuk ketiga di dunia, dimana 1% penduduk terkayanya memiliki total kekayaan setara dengan 45% total kekayaan negara (Credit Suisse, 2019).

Disparitas pembangunan wilayah juga sangat ’njomplang’. Sekitar 56% penduduk tinggal di Pulau Jawa, dan 59% PDB disumbangkan oleh beragam aktivitas ekonomi di P. Jawa, yang luasnya hanya 5,5% total luas wilayah daratan NKRI. “Lantaran disparitas ini, biaya logistik di Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, 26% PDB.  Lebih dari itu, ia juga menyebabkan ekonomi Indonesia kurang berdaya saing,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan-RI Periode 2001 – 2004 itu.

Kemudian, sambungnya, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi menyebabkan tingginya stunting (30%), gizi buruk (17,7%) yang melanda anak-anak kita dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang baru mencapai angka 71.  “Padahal, UNDP menjelasakan, salah satu syarat utama, suatu negara bisa menjadi maju dan makmur adalah IPM nya diatas angka 80,” sebut Pro. Rokhmin Dahuri.

Selain itu, lanjutnya, dengan potensi pembangunan yang sangat besar dan lengkap berupa jumlah penduduk terbesar keempat di dunia (276 juta orang), kekayaan SDA, dan posisi geokonomi yang sangat strategis (45% seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dikapalkan melalui laut Indonesia, dengan nilai US$ 15 trilyun per tahun); maka status kita yang hingga kini masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah adalah sebuah ironi. Terlebih bila berkaca kepada sejumlah negara tetangga dengan potensi pembangunan yang terbatas, tetapi pencapaian pembangunannya jauh melampaui kita. 

Sejak 1998 Singapura sudah berstatus sebagai negara maju nan makmur, dan  pada 2021 GNI per kapitanya mencapai US$ 56.000.  Brunei Darussalam sebesar US$ 36.000 (high-income country), Malaysia US$ 11.000 (upper-middle income country), dan Thailand US$ 8.000 (upper-middle income country). Oleh sebab itu,  pasti ada yang salah dengan konsep pembangunan, etos kerja, atau cara-cara kita membangun bangsa tercinta ini

“Maka, Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 23.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia) (Bappenas, 2019), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa,” terangnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, ada 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045. Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS. Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045  rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019). Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technology-innovator country).

Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021).  Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya matapencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarga nya (zero poverty).

Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3.  Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat.  Ketujuh, IPM mesti diatas 80.  Kedelapan, kualitas lingkungan hidup tergolong baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan sosial-ekonomi harus berkelanjutan (sustainable).

Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan tujuh kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan; (4) peningkatan kedaulatan/ketahanan pangan, energi, dan farmasi;

Lalu ke (5) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (6) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif, dan atraktif; dan (7) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Karena transformasi struktural ekonomi merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara-bangsa untuk dapat lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan kemudian menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat.

“Maka, saya ingin sedikit mengelaborasi tentang proses transformasi struktural ekonomi. Menurut United Nations (2008), transformasi ekonomi struktural melibatkan realokasi faktor-faktor produktif dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; dan realokasi faktor-faktor produktif tersebut di antara kegiatan sektor manufaktur dan jasa. Ini juga berarti menggeser sumber daya (faktor produktif) dari sektor dengan produktivitas rendah ke tinggi. Hal ini juga terkait dengan kemampuan bangsa untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional yaitu: untuk menghasilkan kegiatan ekonomi baru, untuk memperkuat keterkaitan ekonomi dalam negeri, dan untuk membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri,” ujar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, mengacu pada definisi dan pengertian tentang transformasi struktural ekonomi itu, maka untuk konteks Indonesia, transformasi struktural ekonomi mencakup enam elemen (proses) berikut.  Pertama, dari dominasi kegiatan eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable). 

Kedua, dari dominasi sektor impor dan konsumsi ke dominasi sektor investasi, produksi, dan ekspor.  Ketiga, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.  Keempat, revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Makanan Minuman, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya. 

Kelima, pengembangan industri manufakturing baru, seperti mobil listrik, EBT (Energi Baru Terbarukan), Semikonduktor, Baterai, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan Industri 4.0.  Keenam, kelima proses pembangunan ekonomi tersebut mesti berbasis pada Ekonomi Digital (Industry 4.0), Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Biru (Blue Economy), dan Pancasila.

Pembangunan ekonomi dan pengembangan bisnis (usaha), termasuk di sektor Kelautan dan Perikanan (KP), yang digerakkan dengan menerapkan berbagai inovasi teknologi di era Industri 4.0 sekarang ini diyakini mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan (sustainability) pembangunan ekonomi dan pengembangan usaha di semua sektor kehidupan.

Sejak awal abad-21 (tahun 2000) dunia mengalami perubahan yang super cepat dengan lahirnya berbagai jenis teknologi yang berbasis pada teknologi digital, IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligent), Big Data, Blockchain, Cloud Computing, 3-D Printing, Augmented Realiyty dan Virtual Reality (METAVERSE), automasi, robotics, new materials, biotekonolgi, dan nanoteknologi.  Tahun 2000 juga disebut sebagai awal dari Revolusi Industri Keempat (Industry 4.0) yang melahirkan berbagai jenis teknologi baru tersebut (Schwab, 2016).

Lahirnya paradigma Green Economy, sejak akhir 1980-an sejatinya merupakan response dan koreksi atas kegagalan paradigma ekonomi konvensional (Kapitalisme). Menurut UNEP (2011) “Green Economy is one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities” (Ekonomi Hijau adalah sistem ekonomi yang menghasilkan perbaikan kesejahteraan manusia serta pemerataan sosial, dan secara simultan mengurangi risiko (kerusakan) lingkungan dan kelangkaan ekologis).

Secara lebih operasional, Green Economy dapat kita maknai sebagai sistem ekonomi yang dibangun dan digerakkan oleh aktivitas manusia (produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi) yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon) atau tanpa karbon (zero-carbon emission), tanpa membuang limbah atau sedikit limbah (zero or low-waste), menggunakan SDA secara efisien dan tidak melampui kemampuan pulihnya, dan secara sosial hasilnya (pertumbuhan ekonomi atau kesejehteraan nya) dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia secara adil (socially inclusive) dan berkelanjutan (sustainable) (Dahuri, 2021). 

Sementara itu, Ekonomi Biru menurut UNEP (2012) adalah penerapan Ekonomi Hijau di sektor-sektor ekonomi kelautan (the application of green economy in coastal and marine economy sectors or in ‘the blue world’).

Untuk mencegah dunia dari kehancuran, maka masyarakat dunia harus memperbaiki Sistem Kapitalisme secara fundamental atau mencari alternatif paradigma pembangunan (ekonomi) yang mampu mengatasi sejumlah permasalahan kemanusiaan diatas. Karena, paradigma pembangunan utama lainnya, Komunisme telah mati sejak 1989 bersamaan dengan runtuhnya Emporium Uni Soviet, maka Pancasila dapat menjadi paradigm alternatif menuju dunia yang lebih baik, sejahtera, berkeadilan, damai, dan berkelanjutan. 

Dalam perspektif Pancasila, manusia dan alam semesta adalah makhluk ciptaan Tuhan YME.  Selain homo sapiens dan homo economicus (makhluk ekonomi), manusia juga homo religiosa (makhluk beragama).  Manusia tidak hanya tersusun oleh jasad-fisik (jasmani), tetapi juga oleh ruh (rohani). 

“Maka, kepuasan dan kebahagiaan insan Pancasilais tidak hanya berupa terpenuhinya kebutuhan jasmani, harta, jabatan, popularitas, dan atribut-atribut duniawi lainnya, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan spiritual.  Seorang Pancasilais juga mengimani bahwa kehidupan di dunia ini sifatnya hanya sementara,” terang Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) itu.

Setelah kematian, jelasnya, manusia akan meninggalkan dunia yang fana menuju kehidupan akhirat yang sebenarnya dan abadi.  Semua harta-benda, jabatan, istri dan anak keturunan yang dicintainya tidak menyertainya ke alam kubur dan akhirat.  Hanya selembar kain kafan dan amal perbuatannya yang setia menemaninya ke alam akhirat untuk menghadap Tuhan yang menciptakannya.  Bergantung pada iman dan amal-salehnya, manusia akan menggapai kebahagiaan (surga) atau siksaan (neraka) di akhirat kelak.

Dengan world view diatas, maka seorang Pancasilais dalam menjalankan kehidupan, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat (bangsa) pasti akan dilandasi dengan keimanan dan niat ikhlas karena Tuhan YME.  Berperilaku adil dan beradab baik untuk bangsanya sendiri maupun masyarakat dunia.  Mengutamakan persaudaraan, toleransi , dan persatuan, ketimbang perpecahan, apalagi perang.

Mengedepankan azas musyawarah – mufakat yang dilandasi oleh hikmah dan kebijaksanaan di dalam  proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan  voting dan pemilihan langsung.  Dan, dia pasti akan berbagi kelebihan (harta, IPTEK, dan kekuasaan) kepada sesama yang membutuhkan secara berkeadilan. 

“Bila Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat  serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila, maka ia akan menjadi a role model, dan Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan,” katanya.

Peta Jalan Pembangunan Kelautan Dan Perikanan Menuju Indonesia Emas 2045

Dalam penjelasannya, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, peta Jalan Pembangunan KP yang komprehensif, benar, dan operasional harus disusun dengan mempertimbangkan: (1) ruang lingkup (domain), potensi, dan tingkat pemanfaatan sumber daya KP; (2) permasalahan dan tantangan pembangunan KP; (3) pencapaian pembangunan (development achievement) KP sejak berdirinya KKP pada September 1999 di masa Kabinet Persatuan Indonesia (Presiden KH. Abdurrahman Wahid); (4) dinamika global yang terkait dengan sektor KP; dan (5) Peta Jalan Pembangunan Bangsa (Nasional) menuju Indonesia Emas 2045.

Dari perspektif ekonomi, sektor KP meliputi: (1) Perikanan Tangkap (Capture Fisheries) di wilayah perairan laut maupun PUD (Perairan Umum Darat) seperti danau, bendungan, sungai, dan perairan rawa; (2) Perikanan Budidaya (Aquaculture); (3) Industri Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan; (4) Industri Bioteknologi Perairan; (5) Penjaminan dan Pengendalian Mutu serta Keamanan Komoditas dan Produk Perikanan dan Industri Bioteknologi Perairan; (6) Pengembangan Ekonomi Kelautan non-Perikanan, seperti garam dan energi kelautan (pasang surut, arus laut, gelombang laut, bioenergi dari algae laut, dan OTEC = Ocean Thermal Energy Conversion); (7) Pengelolaan Ekosistem Perairan Laut, Pesisir, dan PUD supaya tetap sehat dan lestari untuk mendukung pembangunan ekonomi KP dan peradaban manusia secara berkelanjutan; dan (8) MCS (Monitoring, Controlling, and Surveilance) seluruh kegiatan ekonomi dan ekologi KP.

Meskipun secara makroekonomi kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian nasional (PDB = Produk Domestik Bruto) sampai sekarang masih rendah, sekitar 2,85% PDB dan 5,2 milyar dolar AS nilai ekspor  yang menempatkan Indonesia hanya sebagai pengekspor perikanan terbesar ke-8 di dunia.  Namun, peran dan kontribusinya terhadap ekonomi riil dan kehidupan sosial-budaya masyakarat Indonesia sangatlah besar dan strategis.

Saat ini jumlah nelayan (fisherman) sekitar 2,75 juta orang, dan pembudidaya ikan (fish farmer) sebanyak 3,85 juta orang.  Sementara itu, tenaga kerja yang terserap di berbagai industri hulu dan industri hilir perikanan mencapai 6,6 juta orang.  Karena ukuran rata-rata keluarga Indonesia adalah 4 orang (ayah, ibu, dan 2 anak), maka ada sekitar 42,8 juta rakyat Indonesia (15% total penduduk) yang kehidupannya bergantung pada sektor perikanan. 

Lebih dari itu, sekitar 60% total asupan protein hewani rakyat Indonesia berasal dari ikan dan berbagai produk perikanan (Puslitbang Gizi, 2018).  Pada 2021 konsumsi ikan nasional sebesar 52 kg per kapita, lebih rendah ketimbang Singapura dan Jepang yang secara berurutan mencapai 60 dan 100 kg per kapita.  Sebelum berdirinya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) pada 26 Oktober 1999, Indonesia merupakan produsen perikanan terbesar keenam di dunia. Kemudian, pada 2004 menjadi produsen perikanan terbesar keempat di dunia, dan sejak 2009 menjadi produsen perikanan terbesar kedua di dunia di bawah China (FAO, 2014; FAO, 2022). 

Sementara itu, kata Prof. Rokhmin Dahuri, Indonesia memiliki potensi produksi perikanan terbesar di dunia, sekitar 115,63 juta ton/tahun. Pada 2020 baru diproduksi (dimanfaatkan) sekitar 22,55 juta ton atau 19,5% total potensi produksinya. Artinya, peluang untuk meningkatkan pembangunan, investasi, dan bisnis di sub-sektor Perikanan Tangkap dan sub-sektor Perikanan Budidaya beserta segenap industri hulu (infrastruktur dan sarana produksi) dan industri hilirnya (industri pengolahan/manufaktur, pengemasan, dan pemasaran) masih sangat besar.

“Sayangnya, sampai sekarang Indonesia belum atau kecil sekali mengembangkan ekonomi kelautan non-perikanan dan industri bioteknologi perairan. Padahal, potensi nilai ekonomi bioteknologi perairan dan ekonomi kelautan non-perikanan sangatlah besar,” ucap Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan Seluruh Indonesia (ASPEKSINDO) itu.

Prof. Rokhmin Dahuri mengutip the Minstry of Maritime Affairs and Fisheries, Korea Selatan (2002), total potensi nilai ekonomi industri bioteknologi itu empat kali total nilai ekonomi digital (teknologi informasi).  Karena basis (fondasi) dari industri bioteknologi perairan itu adalah keanekaragaman hayati perairan (aquatic biodiversity), dan Indonesia adalah negara dengan aquatic (marine) biodiversity terbesar di dunia (IUCN dan WWF, 1992); maka mestinya Indonesia menjadi negara produsen industri bioteknologi perairan terbesar di dunia.

“Faktanya, justru sebaliknya, hingga kini menghamburkan devisa yang cukup besar untuk mengimpor berbagai macam produk industri bioteknologi perairan, seperti gamat (kapsul teripang), minyak ikan, squalence, collagen, alginat, dan produk kecantikan (kosmetik),” tukasnya.

Sambungnya, kendati kinerja sektor KP (khususnya volume produksi, konsumsi ikan per kapita nasional, sumbangan terhadap PDB, dan nilai ekspor) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Namun, masih banyak pekerjaan rumah (permasalahan dan tantangan) yang harus diatasi oleh pemerintah c.q. KKP dan masyarakat (stakeholders) KP di seluruh wilayah NKRI. 

Pertama adalah kemiskinan nelayan, pembudidaya, pengolah, dan pemasar (trader) KP; terutama nelayan ABK, pembudidaya karyawan, dan UMKM. Penyebab utama dari kemiskinan ini adalah karena usaha mereka tidak memenuhi skala ekonomi (economy of sacle) atau ukuran unit usahanya terlampau kecil, tidak menggunakan teknologi mutakhir (modern), tidak menerapkan Integrated Supply Chain Management System (hulu – hilir secara terpadu), dan tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development principles) atau ekonomi biru (blue economy). 

Kedua, sebagian besar nelayan belum menerapkan Best Handling Practices ikan hasil tangkapannya selama di kapal ikan (dari laut) sampai ke pelabuhan perikanan (tempat pendaratan ikan).  Akibatnya, pada saat ikan hasil tangkap nelayan sampai di pelabuhan perikanan, kualitasnya sudah menurun, sehingga harga jualnya murah.

Ketiga, belum ada jaminan pasokan sarana produksi (seperti alat tangkap, mesin kapal serta suku cadangnya, BBM, beras, dan bahan perbekalan melaut lainnya) dengan kualitas unggul (top quality), harga relatif murah (bersaing), dan jumlah pasokan yang mencukupi kebutuhan nelayan kapan saja dan dimana sajadi wilayah Nusantara. 

Pada umumnya nelayan mendapatkan semua jenis sarana produksi itu dengan harga yang lebih mahal ketimbang harga jual di tingkat pabrik (produsen) nya.  Karena, nelayan tidak dapat membeli sarana produksi langsung pabrik, tetapi mesti melalui sejumlah pedagang perantara.  Di sisi lain, belum ada jaminan pasar bagi hasil tangkapan ikan nelayan, dengan harga yang menguntungkan nelayan dan tidak memberatkan konsumen. 

Pada saat musim paceklik ikan, harga ikan melambung tinggi.  Begitu musim ikan berlimpah (peak season), harga ikan hasil tangkapan nelayan turun drastic. Karena, pasar local tidak mampu menyerap (membeli) melimpahnya ikan hasil tangkapan nelayan. Suatu situasi yang dikenal dengan ‘market glut’ (Charles, 2001). Harga ikan yang diperoleh nelayan juga umumnya jauh lebih rendah ketimbang harga ikan yang sama di tingkat konsumen (pasar) akhir.  Ini akibat nelayan tidak bisa menjual ikannya secara langsung kepada konsumen (pasar) akhir, melainkan harus melalui beberapa pedagang perantara (middle man) atau tengkulak.

Keempat, sebagian besar pelabuhan perikanan hanya berfungsi sebagai tempat tambat-labuh kapal ikan, dan mebongkar (unloading) ikan dari kapal ikan. Belum berfungsi sebagai Kawasan Industri Perikanan Terpadu, yang dilengkapi dengan industri hulu (penyedia sarana produksi), industri hilir (pabrik es, cold storage, dan pabrik pengolahan hasil perikanan), dan berbagai industry penunjang.

Kelima, perusahaan-perusahaan besar dan modern penangkapan ikan nasional kebanyakan belum berkelas dunia. Masih kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar negara tetangga, seperti Thailand, Vietnam, Korea Selatan, Taiwan, dan China.  Indikator dari keadaan semacam ini antara lain pada lebih kecilnya nilai investasi dan operasional (capex dan opex) kebanyakan perusahaan nasional, upah (gaji) yang diberikan kepada nelayan ABK, dan banyaknya nelayan-nelayan muda, tangguh, dan professional dari Indonesia bekerja di kapal-kapal (perusahaan-perusahaan) penangkapan ikan asing di berbagai belahan dunia. Sedikit sekali, perusahaan penangkapan ikan besar nasional yang memiliki industri pengolahan hasil perikanan (usaha penangkapan ikan terpadu).

Keenam, kegiatan penangkapan ikan secara illegal, tidak mentaati peraturan, dan tidak melaporkan (Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing), terutama oleh Kapal dan Nelayan asing, sampai sekarang masih marak.  Kerugian negara akibat IUU fishing oleh nelayan asing ini mencapai US$ 1 milyar/tahun (FAO, 2010), mengurangi peluang (jatah) penangkapan ikan bagi nelayan nasional, dan mengancam kelestarian stok ikan serta ekosistem perairan laut NKRI.  Penyebab utama dari IUU fishing oleh nelayan asing ini adalah karena lebih dari 95% total armada kapal ikan nasional (sekitar 500.000 kapal ikan) berukuran dibawah 30 GT (Gross Ton). Hanya sekitar 3.600 kapal ikan nasional yang ukurannya diatas 30 GT.

Akibatnya, wilayah-wilayah perairan laut NKRI yang selama ini jadi ajang praktik IUU fishing oleh nelayan asing, sedikit sekali atau tidak ada kapal-kapal ikan nasional yang beroperasi menangkap ikan di sana. Maka, kapal-kapal ikan asing dengan leluasa mencuri ikan di sana. Contohnya adalah di Laut Natuna Utara, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura, ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Selain itu, infrastruktur dan fasilitas, SDM (aparat) penegak hukum, kesejahteraan aparat penegak hukum, anggaran, dan penegakkan hukum di laut juga kurang memadai.

Ketujuh, beberap jenis stok ikan di beberapa wilayah perairan laut NKRI sudah mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing), bahkan beberapa jenis ikan dan biota laut lainnya sudah menuju ke kepunahan (seperti ikan terubuk di Selat Malaka, dan ikan terbang perairan pesisir Sulawesi Selatan).  Contoh wilayah perairan laut yang telah overfishing adalah sebagian Selat Malaka, Pantura (Pantai Utara Jawa), Selat Bali, dan perairan pesisir selatan P. Sulawesi.  Sementara itu, berbagai jenis ikan di banyak wilayah perairan laut NKRI masih underfishing atau tingkat penangkapannya (produksinya) lebih rendah dari pada potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) nya. 

Kedelapan, penggunaan teknologi penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) seperti bahan peledak, racun, listrik, dan lainnya masih juga marak. Kesembilan, kepatuhan para nelayan terhadap kebijakan dan regulasi pemerintah di subsektor perikanan tangkap, seperti zonasi penangkapan ikan sesuai alat tangkap dan ukuran kapal ikan, kuota penangkapan ikan, dan ukuran mata jaring, pada umumnya masih rendah.

Kesepuluh, sebagian besar tingkat (intensitas) usaha perikanan budidaya, terutama budidaya laut (mariculture) dan budidaya di wilayah pesisir (tambak), masih rendah (underutilized), dan kurang optimal. Kesebelas, meskipun mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, usaha perikanan budidaya masih menghadapi sejumlah kendala teknis-internal, seperti semakin terbatasnya dan mahalnya pakan berkualitas, teratasnya induk dan benih berkualitas, dan ledakan wabah penyakit.

Keduabelas, mayoritas pembudidaya ikan belum secara konsisten dan penuh disiplin melaksanakan Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Terbaik).  Ketigabelas, acap kali intensitas usaha budidaya (padat penebaran dan pemberian pakan) melampaui daya dukung lingkungan, baik pada tingkat mikro (kolam, KJA, dan wadah lainnya) maupun pada tingkat makro (Kawasan DAS, dan lainnya). Akibatnya, sering terjadi ledakan wabah penyakit atau gagal panen secara masal di suatu Kawasan, seperti kolapsnya usaha budidaya udang windu di Pantura dan Sulsel pada pertengahan 1990-an.

Keempatbelas, meskipun kinerja industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan Indonesia terus membaik, tapi dibandingkan dengan negara-negara perikanan utama dunia lainnya, seperti Thailand, Vietnam, dan China, kita masih tertinggal.  Pelayanan pemerintah dalam hal surat izin ekspor, manajemen mutu dan keamanan (food safety) komoditas dan produk hasil olahan perikanan, dan regulasi pemerintah lainnya masih dirasakan sebagai kendala kemajuan di bidang ini.

Kolaborasi sinergis antara Direktora Jenderal Perikanan Tangkap, Direktorak Jenderal Budidaya, Diektorat Jenderal Peningkatan Daya Saing Kelautan dan Perikanan, dan BKIPM (Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu) masih kurang optimal.  Sementara itu, produk olahan hasil perikanan yang dihasilkan oleh perusahaan industri pengolahan berskala besar, apalagi UMKM pun daya saingnya masih perlu banyak yang ditingkatkan.  Kelimabelas, Sistem Logistik Ikan Nasional (penyimpanan, transportasi, dan distribusi) yang sudah diprogramkan sejak 2003 pun belum terimplementasikan dengan baik.

Keenambelas, pencemaran perairan, biodiversity loss, konflik penggunaan ruang dengan sektor-sektor pembangunan lain, dan jenis kerusakan lingkungan lainnya.  Ketujuhbelas, dampak negatip Perubahan Iklim Global terhadap sektor KP, seperti pemanasan suhu perairan laut, peningkatan paras laut, pemasaman perairan laut, cuaca eksterm, dan pola iklim yang tidak menentu sangat berpengaruh terhadap kinerja sektor KP. Demikian juga, tsunami, banjir, dan bencana alam lainnya.

Kedelapanbelas, infrastruktur dan fasilitas pembangunan KP di kebanyakan daerah masih kurang memadai.  Kesembilanbelas, fungsi intermediasi perbankan bagi sektor KP pada umumnya masih sangat rendah.  Suku bunga (interest rate) yang sangat tinggi, dan persyaratan pinjam yang terlalu berat menjadi penyebab utama dari minimnya fungsi intermediasi perbankan di sektor KP.  Keduapuluh, kuantitas dan kualitas SDM KP pada umumnya kurang mumpuni (unggul).

Keduapuluh satu, iklim investasi (perizinan, pajak, retribusi, konsistensi kebijakan pemerintah, kepastian hukum, keamanan berusaha, dan lainnya) masih menjadi ‘momok’ bagi kebanyakan investor dan pengusaha.  Keduapuluh dua, kebijakan politik-ekonomi masih kurang kondusif bagi kinerja dan tumbuh-kembangnya sektor KP.

Berdasarkan pada potensi dan permasalahan pembangunan KP, sejarah dan kinerja pembangunan sektor KP, dan dinamika global maka secara ringkas Kebijakan dan Program Pembangunan KP Jangka Panjang (2023 – 2045) untuk berkontribusi signifikan bagi terwujudnya Indonesia Emas 2045, bahwa tujuan (outputs) pembangunan KP yang diharapkan adalah: (1) meningkatnya produktivitas dan volume produksi ikan sesuai dengan MSY di setiap WPP-NKRI dan di perairan laut internasiona (high seas) menurut yang telah ditetapkan oleh RFMO (Regional Fisheries Management Organization) sampai Indonesia menjadi produsen perikanan tangkap terbesar di dunia;

(2) komoditas ikan hasil tangkap nelayan memiliki daya saing yang tinggi; (3) nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, pedagang ikan, dan stakeholders lain hidupnya sejahtera (pendapatan > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan); (4) kontribusi sektor KP bagi perekonomian bangsa (PDB, pendapatan pajak, PNBP, nilai ekspor, dan penyerapan tenaga kerja) meningkat signifikan sesuai dengan batas-batas kelestarian sumber daya ikan (MSY) dan daya dukung ekosistem perairan laut dan PUD;

(5) meningkatnya konsumsi ikan per kapita rakyat Indonesia agar lebih sehat, cerdas, dan kuat; (6) pertumbuhan ekonomi (‘kue pembangunan’) yang dihasilkan oleh geliat pembangunan sektor KP harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara berkeadilan (inklusif); dan (7) semua kegiatan pembangunan di sektor KP berlangsung secara ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable).

Adapun kebijakan dan program pembangunan untuk mencapai ketujuh pembangunan KP tersebut adalah: (1) Optimalisasi dan Industrialisasi Perikanan Tangkap; (2) Revitalisasi/Intensifikasi, Ekstensifikasi, dan Diversifikasi Usaha Perikanan Budidaya; (3) Revitalisasi dan Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan; (4) Pengembangan Industri Bioteknologi Perairan dan Jasa-Jasa Kelautan;

(5) Peningkatan Kualitas, Keamanan Pangan (Food Safety), dan Daya Saing Komoditas serta Produk Olahan KP; (6) Penguatan/Pendalaman dan Pengembangan Pasar di Dalam maupun Luar Negeri (Ekspor); (7) Pengelolaan Keberlanjutan Sumber Daya KP beserta Ekosistemnya; (8) Pemantauan, Pengawasan, Pengendalian, dan Penegakkan Hukum semua kegiatan KP dan yang terkait dengan sektor KP;

(9) Penguatan dan Pengembangan Riset untuk menghasilkan informasi dan metoda ilmiah sebagai dasar dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi Kebijakan dan Program Pembangunan KP, serta untuk menghasilkan berbagai Inovasi Teknologi dan non-Teknologi KP; (10) Peningkatan Kualitas (kapasitas, etos kerja, dan akhlak) SDM KP; dan (11) Penciptaan Iklim Investasi dan Kebijakan Politik-Ekonom yang kondusif bagi kinerja dan tumbuh-berkembangnya sektor KP.

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan tentang rincian Kebijakan dan Program Pembangunan untuk 5 subsektor: (1) Perikanan Tangkap; (2) Perikanan Budidaya; (3) Industri Pengolahan (Manufakturing) Hasil Perikanan; dan (4) Industri Bioteknologi Perairan.

Kebijakan dan Program Pembangunan Perikanan Tangkap

Pertama, jelas Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu, untuk menjamin volume ikan hasil tangkapan dengan keuntungan yang mensejahterakan nelayan dan secara simultan menjaga kelestarian (sustainability) stok ikan di laut, maka mulai sekarang kita harus mengatur jumlah kapal ikan beserta teknologi (alat) tangkapnya yang boleh beroperasi di setiap WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) NKRI. Berdasarkan pada kemiripan karakteristik dan dinamika oseanografi, geologi, dan klimatologi nya; wilayah perairan laut NKRI, termasuk ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dibagi menjadi 11 (sebelas) WPP. 

Di setiap WPP terdapat 9 jenis stok (kelompok) ikan, yang teridiri dari: (1) ikan pelagis besar, (2) pelagis kecil, (3) demersal, (4) ikan karang, (5) udang Penaeid, (6) lobster, (7) kepiting, (8) rajungan, dan (9) cumi-cumi.  Untuk menangkap setiap kelompok jenis ikan diperlukan teknologi penangkapan ikan (kapal ikan dan alat tangkap) tertentu.  Contohnya, alat tangkap yang cocok untuk menangkap jenis ikan pelagis besar (seperti tuna, cakalang, marlin, dan setuhuk) antara lain adalah longline (rawai tuna), pole and line, dan handline dengan kapal ikan ukuran besar diatas 30 GT. 

Untuk ikan pelagis kecil (seperti tembang, kembung, sardin, layang, malalogis, dan tenggiri) adalah jaring insang (gill nets), payang, dan pukat cincin (purse seine).  Untuk ikan demersal (dasar) adalah bubu, gill net dasar, cantrang, dan pukat ikan. Untuk udang Penaeid adalah jaring kantong (trammel net) dan pukat harimau (trawlers).  Jumlah kapal ikan dengan alat tangkap tertentu tersebut yang boleh beroperasi di setiap WPP adalah 80% MSY dari jenis stok ikan tertentu dibagi dengan fishing power/catchability (kemampuan menangkap ikan per satuan waktu). Untuk kelompok jenis stok ikan di WPP tertentu yang mengalami overfishing, jumlah kapal ikannya harus dikurangi sampai 80% MSY.  Sebaliknya, bagi kelompok jenis stok ikan yang masih underfishing, seyogyanya ditambah kapal ikannya hingga mencapai 80% MSY. 

Untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha perikanan tangkap, kita harus mulai menggunakan ”Smart Fisheries (e-Fisheries)”, khususnya untuk armada perikanan menengah sampai super modern. Untuk mencegah konflik antar pelaku usaha, berlakukan zonasi kegiatan usaha penangkapan ikan berdasarkan pada jenis usaha, ukuran kapal ikan, dan alat tangkap seperti disajikan pada Tabel berikut.

Untuk menunjang pelestarian stok ikan, perlu diberlakukan kawasan konservasi laut (Marine Protected Area) sebagai tempat pemijahan dan asuhan (spawning and nursery grounds) berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Di dalam kawasan konservasi laut (KKL), tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan ekstraktif lainnya. 

Luas KKL sedikitnya 30% dari total luas WPP. Pencemaran baik yang berasal dari aktivitas manusia di darat maupun di laut harus dikendalikan.  Limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) dilarang dibuang ke laut dan ekosistem alam lainnya.  Beban pencemaran (pollution load) limbah non-B3 (seperti limbah organik dan nutrien) yang dibuang ke laut dan ekosistem perairan lainnya tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi ekosistem perairan termaksud. 

“Stop perusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan ekosistem pesisir lainnya. Lakukan restorasi terhadap ekosistem-ekosistem pesisir yang terlanjur rusak.  Perlu juga dilakukan restocking dan stock enhancement secara terukur di wilayah perairan yang stok ikannya mengalami overfishing atau kepunahan jenis (species extinction),” tegas Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Kedua, lanjutnya, memerangi IUU fishing baik oleh nelayan asing maupun nelayan nasional secara tuntas.  Dengan cara membenahi perizinan usaha penangkapan ikan; melaksanakan MCS (Monitoring, Controlling, and Surveillance) system; penegakkan hukum di laut (termasuk penenggelaman kapal ikan ilegal); mencukupi prasarana dan sarana penegakkan hukum di laut; meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum; dan memperbanyak armada kapal ikan modern nasional untuk menangkap ikan sesuai potensi lestari (80% MSY) di wilayah-wilayah perairan laut yang selama ini dijarah oleh nelayan asing.

Ketiga, meningkatkan kesadaran dan kapabilitas nelayan untuk melakukan Best Handling Practices terhadap ikan hasil tangkapannya.  Dengan cara memberikan penyuluhan, pelatihan, dan insentif atau disinsentif secara terencana dan berkesinambungan. Keempat, merevitalisasi pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan yang ada supaya memenuhi segenap persyaratan standard nasional maupun nasional.

Kembangkan Pelabuhan Perikanan Samudera dan Pelabuhan Perikanan Nusantara yang ada sebagai kawasan industri perikanan terpadu (berisi berbagai jenis industri hulu dan hilir perikanan) berkelas dunia.  Bangun pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan yang baru sesuai dengan kebutuhan.  Untuk mendistribusikan jenis-jenis ikan dan biota laut yang bernilai ekonomi tinggi serta harus dipasarkan dalam keadaan hidup, segar atau beku (seperti kerapu, udang, tuna, cakalang, kakap, lobster, dan abalone), setiap pelabuhan perikanan harus dilengkapi dengan armada mobil berpendingin. 

Kelima, bagi armada kapal ikan yang operasi di lautnya lebih dari dua minggu (modern dan super modern), harus ada kapal pengangkut untuk bolak-balik mengangkut ikan hasil tangkapan, BBM dan perbekalan melaut lainnya, dan pergantian ABK (crew change). Kapal angkut ikan juga mesti disediakan sesuai kebutuhan untuk mengangkut ikan dari sentra produksi penangkapan ikan (seperti Laut Arafura, Laut Sulawesi, ZEEI Samudera Pasifik, dan ZEEI Samudera Hindia ke) P. Jawa dan daerah-daerah pasar ikan domestik lainnya serta pelabuhan dan bandara pengekspor. Kapal angkut, mobil pengangkut ikan berpendingin merupakan bagian Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) untuk menjamin stabilitas sistem rantai pasok dan harga ikan.

Keenam, pemerintah melalui BUMN, perusahaan swasta, atau Koperasi harus menyediakan semua sarana produksi perikanan tangkap dengan jumlah yang mencukupi dan harga relatif murah bagi nelayan di seluruh wilayah NKRI.  Ketujuh, pemerintah melalui BUMN, perusahaan swasta, atau Koperasi mesti menjamin pasar bagi semua jenis ikan hasil tangkapan nelayan berapapun volume (berat) nya dan kapan saja, dengan harga sesuai nilai keekonomian. 

Kedelapan, pemerintah harus menyediakan matapencaharian alternatif (seperti budidaya perikanan, peternakan, pertanian, dan home industry) bagi nelayan pada saat mereka tidak melaut akibat cuaca buruk atau paceklik ikan.  Pemerintah juga harus memberikan pelatihan dan capacity building bagi nelayan, supaya mereka mampu mengerjakan matapencaharian alternatif tersebut. Kesembilan, jika di suatu daerah dijumpai sistem bagi hasil antara pemilik kapal dan ABK tidak atau kurang adil, maka pemerintah harus memfasilitasi perundingan untuk menyepakati sistem bagi hasil yang saling menguntungkan (adil). 

Kesepuluh, infrastruktur dan konektivitas antara pelabuhan perikanan, pemukiman nelayan dengan lokasi pasar dalam negeri, pelabuhan dan bandara ekspor, dan daerah lain harus bagus.  Kesebelas, pemerintah harus membantu nelayan memiliki rumah sendiri dalam kawasan pemukiman yang bersih, sehat, asri, nyaman, dan aman.  Keduabelas, pemerintah melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan program lainnya harus membantu keluarga nelayan menjadi sehat, cerdas, dan berakhlak mulia.

Ketigabelas, dalam rangka mitigasi dan adaptasi Perubahan Iklim Global, mulai sekarang para nelayan harus mulai mengurangi penggunaan BBM, digantikan dengan energi surya, angin, dan energi terbarukan lainnya.  Keempatbelas, harus ada skim kredit khusus untuk usaha perikanan tangkap dan nelayan dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan relatif lunak, seperti di Thailand, Vietnam, China, dan negara perikanan lainnya.  Akhirnya, seluruh kebijakan politik-ekonomi harus kondusif bagi kemajuan sektor perikanan tangkap dan kesejahteraan nelayan.

Kebijakan dan Program Pembangunan Perikanan Budidaya

Pertama adalah, Revitalisasi semua unit usaha perikanan budidaya yang ada saat ini (existing aquaculture business units), baik yang terdapat di wilayah perairan laut (mariculture), lahan pesisir (coastal aquaculture, brackishwater aquaculture, atau tambak) maupun di perairan tawar seperti Danau, Bendungan, Sungai, Kolam Ikan, Sawah, saluran irigasi, drum, akuarium, dan wadah media lainnya. 

Tujuan Revitalisasi adalah untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi (profitability), daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) usaha (bisnis) perikanan budidaya. Sebaiknya, program Revitalisasi membudidayakan spesies-spesies (komoditas-komoditas) budidaya unggulan. 

“Contohnya, untuk budidaya laut adalah lobster, ikan kerapu, ikan kakap putih (barammundi), baronang, bawal bintang, kerang mutiara, dan rumput laut.  Untuk di lahan pesisir: udang Vaname, udang Windu, ikan Bandeng, ikan Nila Salin, Kepiting (hardshell, dan softshell), Ikan Kerapu Lumpur, dan Rumput Laut.  Untuk di perairan tawar: Ikan Nila, Lele, Patin, Baung, Mas, Gurame, dan Udang Galah,” jelas Prof. Rokhmin Dahuri.

Kedua, katanya, ekstensifikasi atau pengembangan (pembukaan) usaha perikanan budidaya di kawasan-kawasan perairan baru (belum ada usaha perikanan budidaya), baik wilayah laut, pesisir maupun darat (prairan tawar).  Dengan komoditas-komoditas seperti dicontohkan pada butir-1 diatas.

Ketiga, Diversifikasi mengandung arti mengembangkan usaha perikanan budidaya dengan spesies baru, seperti udang jerbung, udang rostris, ikan Cobia, rajungan, gonggong, teripang, lobster air tawar (Cerax spp), dan invertebrata.  Program ini sangat penting untuk memenuhi permintaan terhadap komoditas dan produk akuakultur yang terus meningkat.  Selain itu, negara China dengan biodiversity yang jauh lebih rendah ketimbang yang Indonesia miliki, telah sukses membudidayakan sedikitnya 125 spesies ikan, krustasea, moluska, rumput laut, dan invertebrata.  Sedangkan, Indonesia hingga kini baru berhasil membudidayakan kurang dari 30 spesies (Sumantadinata, 2010). 

Keempat, supaya produktif, efisien, berdaya saing, dan mensejahterakan secara berkelanjutan, semua usaha perikanan budidaya, baik melalui program Revitalisasi, Ekstensifikasi maupun Diversifikasiharus memenuhi skala ekonomi (economy of scale) nya.  Selain itu, harus menerapkan Best Aquaculture Practices (Cara-Cara Budidaya Terbaik) yang meliputi: (1) penggunaan bibit dan benih unggul (SPF, SPR, fast growing, dan good taste); (2) penggunaan pakan berkualitas dan cara pemberian pakan yang tepat dan benar; (3) pengendalian hama dan penyakit; (4) manajemen kualitas air; (5) teknik perkolaman (pond engineering); (6) teknologi budidaya yang mutakhir dan tepat seperti teknik bioflock dan RAS; dan (7) biosecurity.  

Kelima, padat penebaran spesies budidaya tidak boleh melebihi daya dukung lingkungan mikro (kolam, tambak, KJA, akuarium, dan  wadah lainnya).  Dan, intensitas (laju) pembangunan perikanan budidaya dalam suatu satuan wilayah (desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, atau satuan ekosistem (seperti DAS) tidak melampaui daya dukung lingkungan wilayah (makro) tersebut.  Dalam hal ini, intensitas pembangunan perikanan budidaya ditentukan oleh luas areal usaha budidaya dan padat penebaran. 

Keenam, menerapkan manajemen rantai pasok dan nilai secara terpadu, dari hulu (subsistem produksi), processing and packaging, distribusi, sampai ke pemasaran.   Dengan demikian, pasokan sarana produksi dan pemasaran hasil panen dengan harga yang menguntungkan akan terjamin stabil, dan industri pengolahan hasil panen budidaya pun terjamin secara berkelanjutan.

Melalui program revitalisasi, diversifikasi, dan ekstensifikasi, kita tingkatkan produktivitas dan volume produksi berbagai spesies budidaya, khususnya spesies-spesies (komoditas) unggulan seperti diuraikan diatas.  Atas dasar kelayakan (feasibility) nya, kita kembangkan kawasan industri akuakultur terpadu berbasis komoditas dan kluster, seperti kluster industri udang Vannamei, barramundi, kerapu, bandeng, rumput laut, kerang mutiara, nila, patin, dan lele. 

Ketujuh, pengembangan industri pakan yang berkualitas dengan harga relatif murah dan FCR rendah: trash fish, by catch, maggot, micro alage, dan lainnya.  Kedelapan, peningkatan produksi bibit (broodstock) dan benih unggul, yang SPF (Species Patoghen Free atau bebas penyakit), SPR (Species Patoghem Resistance atau tahan terhadap penyakit), dan cepat tumbuh (fast growing).  Kesembilan, peningkatan produksi mesin dan peralatan akuakultur seperti kincir air tambak/kolam (pedal wheel) automatic feeder, dan digital water quality monitoring kits.  Kesepuluh, manajemen lingkungan kawasan: penataan ruang wilayah (RTRW), pengendalian pencemaran, dan konservasi biodiversity.

Kesebelas, renovasi dan pembangunan baru infrastruktur pembangunan sesuai kebutuhan di setiap wilayah perikanan budidaya. Keduabelas, penguatan dan pengembangan riset untuk penguasaan dan aplikasi inovasi teknologi, business models, dan marketing.  Ketigabelas, peningkatan kualitas SDM.  Keempatbelas, penciptaan iklim investasi dan kebijakan politik ekonomi yang kondusif.

Kebijakan dan Program Pembangunan Industri Pengolahan Hasil Perikanan

Di bidang industri pengolahan hasil perikanan, dengan mengimplementasikan segenap kebijakan dan program perikanan tangkap dan perikanan budidaya seperti diatas, maka pasokan bahan baku akan terjamin keberlanjutannya. Setiap pabrik (unit pengolahan) ikan sudah saatnya menjalin kemitraan jangka panjang yang saling menghormati dengan nelayan dan pembudidaya ikan. 

Para nelayan dan pembudidaya ikan harus berkomitmen untuk menghasilkan dan memasok ikan mentah (raw materials) dengan kualitas unggul dan memenuhi food safety kepada industri pengolahan hasil perikanan.  Kita harus terus meningkatkan kualitas, keamanan pangan, kemasan, dan daya saing produk olahan perikanan kita sesuai dengan dinamika selera konsumen domestik maupun global. 

“Kita pun harus terus menerus menghasilkan inovasi (new product development) produk-produk olahan hasil perikanan sesuai perkembangan selera konsumen dan pasar dalam negeri maupun global,” imbuh Prof. Rokhmin Dahuri.

Kebijakan dan Program Pembangunan Industri Bioteknologi Perairan

Industri bioteknologi perairan, terutama ekstraksi senyawa bioaktif untuk pengembangan industri farmasi, kosmetik, functional foods, film, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya mesti terus diperkuat dan dikembangkan. Kita juga harus mengembangkan genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul. Industri bioteknologi kelautan bisa kita kembangkan sebagai sumber pertumbuhan baru.

Potensi ekonomi industri ini diperkirakan empat kali nilai ekonomi dari industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Industri biotekonologi kelautan meliputi 3 cabang industri: (1) ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut sebagai bahan dasar untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya; (2) genetic engineering untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; dan (3) bioremediasi untuk mengatasi pencemaran lingkungan.

“Apabila peran PT yang saya uraikan diatas dapat diimplementasikan secara benar, baik, dan berkesinambungan; maka POLTEK-KP JEMBRANA bisa menjadi a World-Class University dan para alumninya menjadi insan-insan yang sukses serta bahagia hidup di dunia dan akhirat adalah sebuah keniscayaan,” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Prof. Rokhmin Dahuri berharap, semoga Orasi Ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, terutama para alumni Politeknik KP Jembrana dan Civitas Academica nya.  “Dan, semoga kiprah kehidupan kita semua diridhai dan diberkahi oleh Allah SWT, sehingga dapat berkontribusi signifikan bagi terwujdunya Indonesia Emas paling lambat pada 2045, dan for “a better and sustainable world”,” pungkasnya.

Komentar