Selasa, 14 Mei 2024 | 19:40
NEWS

Di Virtual Summer Course UGM

Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap Strategi Pengelolaan Akuakultur Berkelanjutan

Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap Strategi Pengelolaan Akuakultur Berkelanjutan
Prof. Rokhmin Dahuri

ASKARA - Department of Fisheries, Faculty of Agriculture, Universitas Gadjah Mada (UGM). menggelar summer course berskala internasional  dengan tema “Tropical Aquaculture and Fisheries Management under Global Environmental Changes”,  melalui daring zoom meeting, Rabu, (3/8).

Saat menjadi narasumber, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS memaparkan, bahwa kita hidup di era Revolusi Industri Keempat (Industri 4.0), Perubahan Iklim Global, Meningkatnya Ketegangan Geopolitik, dan Post Truth yang semakin ditandai dengan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).

"Dalam dunia yang tidak dapat diprediksi dan mengganggu seperti itu, hanya sedikit hal yang dapat diprediksi (terjamin)," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan RI tahun 2001-2004 itu lewat tema " Pengelolaan Akuakultur Berkelanjutan sebagai Strategi Mengatasi Perubahan Iklim".

Namun, lanjutnya, ada satu hal yang dapat kita yakini secara relatif: bahwa permintaan yang tak terpuaskan untuk produk dan layanan berkualitas lebih tinggi akan terus meningkat. "Sementara ketersediaan sumber daya alam yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan tersebut semakin berkurang atau terbatasl," paparnya.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, meningkatnya permintaan akan produk dan layanan yang lebih berkualitas didorong oleh meningkatnya jumlah populasi manusia, daya belinya, dan gaya hidup milenial di era digital (industri 4.0).

Terkait pertumbuhan populasi global, kata Ketua Majelis Ahli MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara), antara lain: 

1. Permintaan akan produk dan jasa tidak hanya mencakup kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, energi, perumahan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan) tetapi juga kebutuhan sekunder dan tersier seperti barang mewah, transportasi, kesehatan, hiburan, rekreasi, dan pariwisata.

2. Pembangunan Sektor yang menghasilkan pangan: pertanian, peternakan, perikanan tangkap, dan perikanan budidaya.

Kapasitas pasokan (produksi) sektor lain yang menghasilkan komoditas pangan (bahan baku) termasuk perikanan tangkap, peternakan, dan pertanian sebagian besar stagnan (mendatar) atau menurun. Kapasitas produksi (MSY = Maximum Sustainable Yield) perikanan tangkap laut dunia telah mendatar sejak awal 1980-an. 

Sementara itu, banyak stok ikan di banyak wilayah laut di dunia juga telah ditangkap secara berlebihan atau di ambang kepunahan. Hal serupa juga terjadi di sektor peternakan dan pertanian akibat berkurangnya lahan pertanian, degradasi lingkungan, dan faktor lainnya.

3. Sementara itu, Perubahan Iklim Global, degradasi lingkungan (kehilangan keanekaragaman hayati dan polusi), dan geo-politik global yang bergejolak (misalnya perang Rusia vs Ukraina, dan persaingan AS vs Cina) membuat produktivitas dan volume produksi hampir semua komoditas (sumber daya alam ), produk, dan layanan menurun.

Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat; semua sektor pembangunan termasuk perikanan budidaya, pertanian, pertambangan dan energi, serta industri manufaktur harus mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutannya.

4. Menurut definisi, akuakultur tidak hanya menghasilkan ikan bersirip, krustasea, moluska, dan rumput laut; tetapi juga invertebrata, dan flora dan fauna lainnya (FAO, 1998). 

Oleh karena itu, perikanan budidaya sebenarnya merupakan sektor pembangunan yang tidak hanya menghasilkan komoditas pangan sebagai sumber protein hewani (misalnya finfish, krustasea, dan moluska), tetapi juga: (1) komoditas pangan sebagai sumber mineral, vitamin, dan karbohidrat (beras). dan tanaman pangan); (2) komoditas (misalnya invertebrata, alga mikro, dan alga makro) sebagai sumber bahan baku (senyawa bioaktif) untuk makanan & minuman fungsional, industri farmasi, pengecatan, dan industri lainnya; (3) komoditas sebagai sumber biofuel (misalnya alga mikro); dan komoditas lainnya.

Sementara itu, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, definisi budidaya yakni, “Akuakultur adalah budidaya (produksi) ikan bersirip, krustasea, moluska, invertebrata, alga, tumbuhan, dan organisme lain melalui penetasan dan pemeliharaan di ekosistem perairan” (FAO, 1998)

Sedangkan peran dan fungsi konvensional akuakultur menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota air lainnya; dan (4) perhiasan tiram mutiara dan organisme air lainnya.

Peran dan fungsi budidaya non-konvensional (masa depan): (1) pakan berbasis alga; (2) produk farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme akuatik lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan biota perairan lainnya; (5) pariwisata berbasis akuakultur; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global.

5. Budidaya alga mikro, alga makro (rumput laut), tanaman air, dan organisme lain yang dapat menyerap CO2 dan Gas Rumah Kaca (GRK) lainnya dapat menjadi penyerap (sequestrian) GRK yang signifikan untuk mengurangi (menghentikan) Perubahan Iklim Global (Global Pemanasan).

Isu Strategis Perikanan Budidaya Indonesia

Sektor kelautan dan perikanan telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan Indonesia dimana sejak 2009 hingga saat ini Indonesia telah menjadi penghasil ikan dan hasil perikanan terbesar kedua dunia (FAO, 2010; FAO, 2020).

Jelasnya, seiring dengan permintaan ikan, produk ikan, dan jasa lingkungan ekosistem laut yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, maka peran sektor kelautan dan perikanan juga semakin penting dan strategis.

“Indonesia memiliki potensi produksi perikanan tangkap dan budidaya terbesar, sekitar 115 juta metrik ton per tahun dan total produksi (pemanfaatan) hanya 22 juta metrik ton (20%) pada tahun 2019," ujar Ketua Umum Perhimpunan Akuakultur Indonesia itu.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, Indonesia termasuk negara yang rentan terhadap perubahan iklim global. Oleh sebab itu perlu langkah serius menyelamatkan perikanan dan kelautan Indonesia, karena sekitar 16 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan dan kelautan.

Menurutnya, perubahan iklim adalah hal yang nyata, seperti halnya dampak negatifnya bagi perikaan. Masalah ini harus dihadapi bersama secara global.

Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri juga membahas posisi nelayan dalam Sistem Tata Niaga sangat tidak diuntungkan, antara lain: 

Ekonomi: Sebagian besar bisnis kecil dan tradisional, Menurunnya ketersediaan pakan berbahan dasar tepung ikan (dianggap sebagai pakan kualitas terbaik) dan harganya yang terus meningkat, Perlu diperhatikan bahwa sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan.

"Keterbatasan akses permodalan (Kredit Bank, fiskal, dll), Sistem dan infrastruktur logistik yang tidak memadai," kata Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Sosial: Akses terbatas ke teknologi, Masalah jaminan kualitas dan keamanan produk budidaya, Rendahnya kualitas sumber daya manusia.

Lingkungan: Degradasi ekosistem, Penurunan kualitas air, Wabah penyakit ikan, Kelebihan daya dukung
Perubahan Iklim Global.
 
Institusi: Posisi tawar akuakultur yang rendah di sebagian besar rencana tata ruang wilayah, Iklim investasi yang kurang kondusif dan timur dalam berbisnis, Ketersediaan data yang valid terbatas.

Pendekatan Sistem untuk Akuakultur Indonesia yang Presisi, Produktif, Kompetitif, Inklusif, dan Berkelanjutan, Tindakan Mitigasi Dan Adaptasi Bidang Perikanan Untuk Mengatasi Perubahan Iklim Global, Mitigasi Perubahan Iklim adalah setiap tindakan yang diambil untuk secara permanen menghilangkan atau mengurangi risiko jangka panjang dan bahaya perubahan iklim terhadap kehidupan manusia, properti
Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) mendefinisikan mitigasi sebagai: “Intervensi antropogenik untuk mengurangi sumber atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca” 

Pemerintah Indonesia telah secara sukarela berjanji untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 26% dengan upaya sendiri, dan hingga 41% dengan dukungan internasional, dibandingkan skenario bisnis seperti biasa pada tahun 2020.

Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan RI 2020 – 2024 itu menjelaskan, Indonesia telah mengumumkan instrumen hukum dan kebijakan yang relevan, termasuk rencana aksi nasional pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (PERPRES) No. 61/2011 dan inventarisasi GRK melalui Peraturan Presiden (PERPRES) No. 71/2011.

Jika pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan dan perikanan ingin terwujud, kata Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, sangatlah penting bagi Indonesia untuk melakukan mitigasi dan adaptasi yang tepat terhadap perubahan iklim global, jika pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan dan perikanan ingin terwujud.

Adaptasi dimaksud disini yaitu suatu proses untuk memperkuat dan membangun strategi antisipasi pengaruh dari perubahan iklim itu sendiri serta melaksanakannya, sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya yang juga tertuang dalam Perpres No. 46 Tahun 2008.

Contohnya, dalam upaya untuk mencegah pemanasan global, negara-negara industri maju memberikan dana hibah “ala kadarnya” kepada negara-negara berkembang (miskin). Dengan syarat, negara-negara berkembang mengurangi emisi CO2 secara signifikan. Tetapi, negara-negara industri maju sendiri tidak mau mengurangi emisi CO2. 

Saat ini, negara-negara industri maju (OECD) dengan total penduduk hanya 18% penduduk dunia mengkonsumsi sekitar 70% total konsumsi energi dunia, dan 87% total energi yang mereka gunakan berupa energi fosil.

Rata-rata laju emisi CO2 negara-negara industri maju sekitar 10 ton perkapita, dan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 20 ton perkapita. Sedangkan, negara-negara berkembang rata-rata hanya 1 ton perkapita, dan Indonesia baru 0,5 ton perkapita (IPCC, 2019).

“Ketidak-adilan iklim inilah yang merupakan  “biang kerok” dari pemanasan global. Selain itu, teknologi untuk mitigasi dan adaptasi terhadap Global Warming, tsunami, kebakaran hutan, gempa bumi, dan bencana alam lainnya pun masih terbatas, khususnya bagi negara-negara berkembang (miskin),” tukas Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Lanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan 8 Program Kementerian Kelautan & Perikanan didedikasikan untuk mendukung Mitigasi Perubahan Iklim
Keputusan Presiden No. 61/2011. 

Adaptasi Perubahan Iklim mengacu pada kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim (termasuk variabilitas iklim dan ekstrem) hingga potensi kerusakan moderat, untuk memanfaatkan peluang, atau untuk mengatasi konsekuensinya.

IPCC mendefinisikan adaptasi sebagai, penyesuaian dalam sistem alam atau manusia terhadap lingkungan baru atau yang berubah. Adaptasi terhadap perubahan iklim mengacu pada penyesuaian dalam sistem alam atau manusia sebagai respons terhadap rangsangan iklim aktual atau yang diharapkan atau efeknya, yang mengurangi bahaya atau memanfaatkan peluang yang menguntungkan. 

"Berbagai jenis adaptasi dapat dibedakan, antara lain adaptasi antisipatif dan reaktif, adaptasi privat dan publik, serta adaptasi otonom dan terencana.
Langkah-Langkah Adaptasi yang Dapat Diterapkan di Perikanan dan Budidaya dalam Mengatasi Perubahan Iklim," kata Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.
  
Akuakultur, jelasnya, sebagai sistem produksi flora dan fauna di lingkungan yang terkendali, mungkin lebih baik ditempatkan untuk beradaptasi dengan Perubahan Iklim. Namun, ketika kolam terbuka atau lingkungan laut digunakan, efek GCC pada karakteristik air (pengasaman, ketersediaan oksigen, suhu, salinitas, dan permukaan laut) harus ditangani.

Dijelaskan Prof. Rokhmin tentang tata kelola pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan di era perubahan iklim, diantaranya seperti kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan bakar fosil hingga bertenaga surya.

Dengan berfokus pada spesies herbivora, akuakultur dapat menyediakan makanan bergizi dengan jejak karbon rendah. Budidaya kerang, seperti tiram dan remis tidak hanya bisnis yang baik, tetapi juga membantu membersihkan perairan pesisir, sementara membudidayakan tanaman air membantu menghilangkan limbah dari perairan yang tercemar.

Lalu, pemanfaatan sumber daya pembangkit listrik untuk menumbuhkan mikroalga terpilih dengan biaya energi rendah untuk produk berharga dan bahan bakar nabati sambil iding Penyerapan CO2; 13 jenis mikroalga dari perairan laut Indonesia yang mengandung Senyawa Hidrokarbon untuk bahan bakar nabati.
Empat spesies utama: Nannocholoropsis oculata (24%), Scenedesmus (22%), Chlorella (20%), dan Dunaliela salina (15%).

Maka, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan, ecara manajemen bisnis, ekonomi, dan sosial-budaya; akuakultur berkelanjutan hanya dapat terwujud dengan menerapkan empat prinsip berikut. 

Pertama adalah memastikan bahwa setiap unit usaha (bisnis) akuakultur harus memenuhi skala ekonominya. Yakni besarnya unit usaha yang keuntungan bersihnya cukup untuk memberikan pendapatan yang mensejahterakan pengusaha dan seluruh karyawan usaha akuakultur termaksud secara berkeadilan.  

Kedua adalah mengaplikasikan sistem manajemen rantai pasok terpadu, dari mulai sub-sistem pasca produksi, produksi, industri pasca panen (processing and packaging) sampai pemasaran. Dalam sub-sistem pasca produksi, pemerintah melalaui BUMN/BUMD atau mendorong sektor swasta untuk memproduksi sarana produksi akuakultur yang kompetitif dalam jumlah mencukupi di setiap kawasan akukultur di seluruh wilayah NKRI.  Demikian juga halnya untuk sub-sistem industri pasca panen dan pemasaran.  

Ketiga, mulai dari pemilihan lokasi usaha, desain dan konstruki akuakultur sampai operasional usaha akuakutur harus dilaksanakan secara ramah lingkungan.  Contohnya, lokasi usaha akuakultur mesti di luar kawasan lindung dan sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) sesuai peraturan-perundangan yang berlaku.
 
Keempat, pemerintah harus meningkatkan kapasitas seluruh pengusaha akuakultur berskala UMKM dan memberikan akses seluas-luasnya kepada mereka untuk memperoleh modal, teknologi, pasar, informasi, dan aset ekonomi lainnya. 

"Dengan demikian, semua pengusaha akuakultur UMKM akan mampu menerapkan Good Aquaculture Practices dan prinsip-prinsip manajemen tersebut di atas," ujarnya.

Komentar