Kamis, 16 Mei 2024 | 11:58
COMMUNITY

Pada Konferda I PA GMNI Sumbar, Prof. Rokhmin Dahuri: Nasionalisme Sejalan Dengan Islam

Pada Konferda I PA GMNI Sumbar, Prof. Rokhmin Dahuri: Nasionalisme Sejalan Dengan Islam
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengemukakan penyebab memudarnya nasionalis di Sumatera Barat pada Konferda I Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Provinsi Sumatera Barat  bertema “Gerakan Nasionalis di Sumatera Barat”, di Padang, Sumbar, Sabtu 23 Juli 2022.

“Sebelum PRRI, hubungan masyarakat Minang dengan Presiden Sukarno sangat erat, seperti bersama Mohammad Hatta memimpin Indonesia, dan bekerja sama dengan pahlawan nasional asal Minang lainnya dalam sejarah perjuangan Indonesia,” ujar Prof Rokhmin Dahuri.

Namun, jelasnya, pengerahan kekuatan militer untuk menumpas pemberontakan PRRI menjadi awal perpecahaan yang menimbulkan luka dan trauma mendalam di masyarakat Sumbar kepada Soekarno. Ditambah beberapa tokoh besar asal Minangkabau disingkirkan oleh Pemerintahan Soekarno dengan berbagai cara.

Pada saat kepemimpinan Soeharto pun cenderung kurang mendukung pergerakan Islam, padahal di tanah  minangkabau di era tersebut masih didominasi oleh gerakan Islam, dan program “DeSukarnoisasi”. “Hal itu membuat aliran politik nasionalisme cenderung kurang disukai oleh masyarakat Minangkabau,” katanya.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, sejarah tersebut menjadi catatan tersendiri dan sampai saat ini masih memberikan dampak terhadap dinamika politik di Sumatera Barat. Disamping itu, menjadi “collective memory” bagi masyarakat Sumbar (Minang) bahwa Bung Karno tidak ramah terhadap Islam, Umat Islam, dan Masyarakat Minang (Sumbar).

“Pada umumnya nasionalis di Sumbar dipandang kurang ramah terhadap Syariat Islam. Mayoritas orang Minang, baik yang tinggal di Sumbar maupun diaspora berpendapat PDI-Perjuangan kurang ramah terhadap Islam, Umat Islam, dan masyarakat Minang,” ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, nasionalis adalah orang (warga negara) Indonesia yang mencintai negara-bangsa Indonesia (NKRI) dengan cara: Mempertahankan Pancasila sebagai Dasar Negara dan mengimplementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memiliki toleransi yang tinggi terhadap keberagaman suku, agama, dan lainnya demi keharmonisan, kedamaian, persatuan, dan kesatuan bangsa, dan berkontribusi secara maksimal dan bersinergi dengan komponen bangsa lainnya dalam mewujudkan cita-cita Kemerdekaan – RI, yakni: Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas) paling lambat pada 2045.

Pergerakan nasionalis di masa penjajahan seluruh kaum Nasionalis bahu-membahu, bekerjasama secara sinergis dengan komponen bangsa lainnya untuk mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi, dan memerdekaan NKRI.

Sedangkan pada pasca merdeka setiap nasionalis mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan bersinergi dengan komponen bangsa lainnya untuk mewujudkan Indonesia Emas (Raya) paling lambat pada 2045.

Beberapa gerakan perlawanan bangsa Indonesia yang cukup besar terhadap kolonial Belanda: Perang Paderi (1821-1837) di Minangkabau, Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah, dan Perang Aceh (1872- 1912).

Ketiga perang ini berakhir dengan kekalahan masyarakat Indonesia. Perang tersebut belum dilandasi semangat nasionalisme dan kesadaran akan kesatuan bangsa, tetapi hanya perlawanan berdasarkan semangat primodial dan kesukuan.

 “Ketiadaan semangat nasionalisme bisa jadi menjadi penyebab utama kekalahan masyarakat Indonesia dalam peperangan tersebut,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Lebih lanjut, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kelautan dan Perikanan itu menyampaikan, strategi peningkatan peran nasionalis dan elektoral PDI-P Di Sumbar, yakni: Memberikan literasi dan edukasi masyarakat Sumbar tentang kebajikan dan maslahat Nasionalisme untuk keharmonisan, kedamaian, persatuan, dan kesatuan bangsa;

Kemudian, sosialisasi dan advokasi untuk pelurusan sejarah tentang stigma negatip Presiden Soekarno terhadap masyarakat Sumbar; Perilaku keseharian Kaum Nasionalis-Muslim Sumbar seyogyanya bersendikan Syarak dan Kitabullah (Islam) yang tidak bertentangan dengan Pancasila.

Seluruh nasionalis Sumbar, baik di jajaran pemerintahan, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, BUMN, swasta, LSM, dan lembaga lainnya hendaknya berupaya untuk mengembangkan lapangan usaha ekonomi yang dapat mensejahterakan seluruh rakyat Sumbar secara adil dan berkelanjutan (sustainable).

“Nasionalis – Muslim Minang (GMNI dan alumninya) mesti lebih aktif dan inovatif mensosialisasikan bahwa Nasionalisme sejalan dengan Islam,” tandasnya.

Gerakan Padri di Sumatera Barat

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri yang juga anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman memaparkan Pergerakan Nasionalis Di Sumatera Barat, yakni:

Gerakan Pembaharuan Islam (Gerakan Padri) di Sumatera Barat banyak melakukan reformasi desa, meskipun struktur dasar pedesaan dan kesukuan di Minangkabau yang sudah sangat lama mengakar belum sanggup dirobohkannya. Peran penghulu adat di pedesaan juga belum tergantikan, tetapi setiap desa yang ditaklukan oleh gerakan Padri kemudian mengangkat seorang kadi (orang yang memiliki otoritas untuk persoalan keislaman, termasuk perdagangan). “Seturut perluasan pengaruh Padri inilah proses Islamisasi-Nasionalis di Minangkabau cenderung pesat,” tuturnya.

Gerakan Padri bertujuan menata komunitas masyarakat Islam Minangkabau yang bebas dari patologi sosial (judi, sabung ayam, minum-minum tuak, madat dan lain-lain). Namun, Gerakan Padri mendapat perlawanan dari kaum adat sehingga menimbulkan konflik yang  kemudian menjelma menjadi Perang Padri.

Perang Padri terjadi pada tahun 1821-1837, saat itu Belanda terlibat dalam konflik tersebut atas permintaan dari kaum adat yang kewalahan menghadapi Kaum Padri. Perang Padri dimenangkan oleh Belanda.

Pada awal abad ke duapuluh, Gerakan Pembaharuan Islam tahap ke dua dipelopori oleh Ahmad Khatib dan sekelompok ulama yang dikenal sebagai Kaum Muda.

Gerakan Nasionalisme di Minangkabau

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, gerakan nasionalisme di Minangkabau yang dipelopori Kaum Muda membawa dampak khususnya di bidang pendidikan. Salah satunya adalah Madrasah Sumatera Thawalib yang sangat berpengaruh karena keberadaannya membangkitkan kesadaran nasional untuk usir penjajah, dan wujudkan Indonesia merdeka.

Pada tahun 1922 terbentuk Dewan Pusat Sumatera Thawalib. Dewan ini mempersatukan seluruh pelajar Sumatera Thawalib. Sumatera Thawalib berkembang menjadi organisasi yang besar dan tumbuh menjadi lembaga pendidikan sekaligus organisasi pendidikan.

“Pada tahun 1930 Sumatera Thawalib berganti nama menjadi Persatoean Moeslim Indonesia (PMI) yang bertujuan mengusahakan kemajuan dan membawa kesentosaan dan kemuliaan dengan jalan yang syah,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan RI tahun 2001-2004 itu.

Kemudian, kata Prof. Rokhmin Dahuri, perkembangan PMI mengganti inisial namanya menjadi PERMI. Haluan organisasi berganti dari sosial kemasyarakatan merupakan organisasi politik yang non-kooperatif. PERMI berkembang dengan pesat sampai ke Aceh, Tapanuli, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.

PERMI mengambil alih penerbitan Majalah Medan Ra'jat, menyampaikan ide pergerakan melalui lembaga pendidikan dan rapat umum terbuka mengumandangkan cita-cita nasional: kemerdekaan Indonesia.

Hal ini menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda aktifitas PERMI dibatasi, tokoh-tokoh PERMI ditangkap dan dibuang keluar Minangkabau. Pada tanggal 18 Oktober 1937, PERMI dibubarkan pemerintah setelah mendapat tekanan yang berat.

Selanjutnya, jelas Duta Besar Kehormatan Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, Korea Selatan itu, nasionalisme Sumatera Barat setelah Indonesia Merdeka dilakukan oleh kaum muda dan kaum tua.

Sebagian besar kaum muda yang menjadi pemuka Islam di Sumatera Barat bergabung ke dalam Partai MIT (Majelis Islam Tinggi), yang dibentuk di Bukittinggi pada pertengahan November 1945.

Kepemimpinan MIT didominasi oleh ulama “Kaum Muda” (ulama modernis atau reformis) seperti Ilyas Yakub, Mansyur Daud Datuk Palimo Kayo, dan A.R. Sutan Mansyur.

Sehingga tidaklah mengherankan kalau MIT pada bulan November 1946 berubah menjadi cabang Partai Masyumi (beraliran Islam reformis) di Sumatera Barat.

Sedangkan, kamu tua bergabung ke dalam PERTI dibentuk oleh Syekh Sulaiman ar Rasuli (Inyik Candung) dan Syekh Abbas pada tanggal 20 Mei 1930, guna menyatukan ulama “Kaum Tua” (tradisionalis) menghadapi ulama “Kaum Muda” (modernis).

PERTI dengan demikian menganut politik beraliran Islam tradisional (konservatif), atau juga merupakan partainya “Kaum Tua”.

“Kaum Muda” juga melakukan gerakan pemurnian Islam, yaitu mengembalikan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks itulah “Kaum Muda” dikenal sangat anti terhadap amalan tarekat. “Istilah “Kaum Muda” dan “Kaum Tua” merupakan indikasi adanya polarisasi dalam masyarakat Islam di Sumatera Barat,” tuturnya.

Kaum Muda, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, mendi rikan beberapa sekolah agama yang gaya dan metodenya berbeda dengan lembaga pendidikan agama tradisional. Langkah-langkah Kaum Muda dalam menyebarkan ide-ide pembaharuannya mendapat reaksi dan tantangan yang cukup keras dari kalangan ulama-ulama tradisional (Kaum Tua). “Pangkal pertentangan itu adalah soal tarekat,” katanya.

Polemik antara Kaum Muda dan Kaum Tua pada gilirannya melahirkan kepustakaan yang menjadi mutiara yang tinggi nilainya bagi generasi berikutnya.

Tak hanya itu, lanjutnya, elit agama Islam berpotensi dalam menggerakkan aksi massa. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijaksanaan Goeroe Ordonantie.

Goeroe Ordonantie: guru agama (ulama) harus mendapat ijin tertulis dan menyerahkan daftar nama murid. Peraturan ini memberatkan, karena tidak semua guru agama pandai membaca dan menulis huruf latin.Ada perbedaan sikap antara Kaum Tua yang ragu-ragu memberikan jawaban dan Kaum Muda khususnya Haji Rasul yang dengan tegas menyatakan penolakannya.

“Haji Rasul dengan tegas mengajak seluruh masyarakat menolak Goeroe Ordonantie dan meminta pemerintah kolonial Hindia Belanda agar tidak menerapkan ordonansi tersebut di Minangkabau disetujui Gubernur Jendral Hindia Belanda,” terang Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – 2024 itu.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri juga memberikan lima contoh terpenting bukti sejarah tokoh Sumbar, antara lain: 1. Pertama Mencetuskan Republik Indonesia Merdeka. Pertama kali disampaikan Ibrahim Datuk Tan Malaka dalam Bukunya “Naar de Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia) pada 1925; 2. Ikut Merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Setidaknya ada Bung Hatta di situ, Agus Salim, dan Muhammad Yamin. Bahkan Yamin ikut mengoreksi sejumlah kalimat dalam Pembukaan UUD 1945;

Lalu, 3. Menyelamatkan Kedaulatan Negara dengan PDRI. PDRI dicetuskan di Bukittinggi pada 19 Desember 1948 dan kemudian bergerilya ke berbagai nagari di pelosok Ranah Minang, dibantu, dilindungi dan dihidupi oleh rakyat Sumatra Barat; 4. Mosi Integral ke Negara Kesatuan. Bertahannya masyarakat Sumbar di bawah Negara Republik Indonesia semasa Republik Indonesia Serikat dan peran tokohnya Mohammad Natsir untuk kembali ke negara kesatuan; 5. Iuran Membeli Pesawat untuk Negara. perhiasan ibu-ibu dan para tokoh Sumatra Barat untuk membeli pesawat Avro Anson RI 03 yang malang kemudian jatuh bersama Halim Perdana Kusuma dan Iswahyudi.

Minangkabau Dan Sumbar Di Masa Pemerintahan Soekarno Dan Soeharto

Pada waktu Orde Lama (Soekarno) di Sumatera Barat, terang Prof. Rokhmin Dahuri, Sukarno dan Mohammad Hatta adalah dwitunggal. Meski kerap berdebat, namun keduanya saling melengkapi. Perdebatan itu, juga mewarnai persahabatan keduanya dalam kehidupan bernegara, pribadi, hingga akhir hayat memisahkan keduanya. Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau.

“Agar Sukarno tidak dimanfaatkan oleh Jepang sebagai bagian dari propaganda anti-Belanda, pihak Belanda pun membawa Sukarno ke Padang. Bung Karno bertahan di Padang selama lima bulan, sejak Februari hingga Juli 1942,” jelas Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat itu.

Selama ia berada di Sumbar, Bung Karno sempat berkunjung ke Perguruan Darul Funun, Puncakbakuang, Padang Japang. Dalam kunjungan itu, Bung Karno bertemu dengan Syekh Abbas Abddulah dan meminta saran. “Bagaimana sebaiknya negara Indonesia ini didirikan?,” demikian pertanyaan Soekarno. Konon, Syeikh Abbas lalu menyarankan, negara yang akan didirikan kelak, harus berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Kemudian, mengutip tulisan Agus Sudibyo dalam “De-Soekarnoisasi dalam Wacana Resmi Orde Baru” (1998), Prof Rokhmin Dahuri menjelaskan, rezim Soeharto telah melakukan pelbagai usaha untuk menetralisir, menegasikan, dan menghapus peran sejarah, pengaruh, mitos, dan simbol-simbol tentang Bung Karno. “Usaha inilah yang kemudian diistilahkan sebagai De-Sukarnoisasi,” ujarnya.

Pemerintah pusat menganggap aksi PRRI/Permesta sebagai bentuk pemberontakan. Presiden Sukarno memerintahkan operasi militer di Sumatera Barat, operasi penumpasan pun segera diluncurkan. Gerakan PRRI di Sumatera mampu dipadamkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam waktu cepat.

Gerakan PRRI/Permesta mulai diredam pada Agustus 1958. Tahun 1961, Presiden Sukarno membuka kesempatan kepada mantan anggota PRRI/Semesta untuk kembali ke pangkuan NKRI dan diberikan amnesti.

Sutan Syahrir adalah Perdana Menteri Pemerintah Republik Indonesia (1945-1947). Lahir: Padang Panjang, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Indonesia, 5 Maret 1909.

Pada 1932: Memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) Baru; Dibuang ke Boven Digoel, lalu ke Banda Neira. Selanjutnya antara 1942-1945: Memimpin gerakan bawah tanah anti-fasis Jepang.

Setelah 1945: Menulis brosur politik Perdjoeangan; Menjadi Menteri pertama RI. Kemudian 1948: Mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI); Beroposisi dengan Soekarno. Lalu 1962: Dituduh makar oleh Soekarno dan jadi tahanan politik. Pada 1966: Meninggal di Swiss dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, tanggal 17 Juli 1908. Nasir berasal dari keluarga terpandang di Minangkabau. Ia mendapatkan gelar pada namanya, yakni menjadi Mohammad Natsir Datuk Sinaro. (Yusuf Abdullah Puar, 70 Tahun M. Natsir, 1978:1).

1928-1932: Memimpin Jong Ismamieten Bond (JIB) Bandung; 1943-1945: Bergabung dengan Masyumi, menjadi salah satu ketua saat Masyumi menjadi partai politik; 1945-1949: Menjabat sebagai Menteri Penerangan RI; 5 September 1950: Diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-5, mengundurkan diri 26 April 1951; 1960-1966: Dipenjara karna dituding Makar dan terlibat PRRI/Permesta; 6 Februari 1993: Meninggal dunia di Jakarta pada usia 84 tahun.

Buya Hamka mempunyai nama lain saat kecil, yaitu Abdul Malik, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1326] di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Pemerintahan Soekarno di awal 1960-an mulai bersikap keras terhadap lawan-lawan politiknya. Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dipaksa membubarkan diri akibat keterlibatan tokoh-tokoh mereka dalam PRRI. Sementara itu PKI semakin akrab dengan kekuasaan. Pada Senin, 12 Ramadan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964, Hamka ditangkap di rumahnya dan kemudian dibawa ke Sukabumi untuk ditahan.

“Tuduhannya tak main-main: melanggar undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11. Ia dituding merencanakan pembunuhan terhadap Sukarno—suatu prasangka yang lebih mudah dinalar sebagai aksi politik penguasa ketimbang murni keputusan hukum,” jelas Prof. Rokhmin Dahuri.

Tan Malaka (Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka) [1897-1949] adalah telatah revolusioner Indonesia dan teoretikus Marxis. Tan Malaka lahir dan dididik di Sumatera Barat sebelum sekolah di negeri Belanda (1913-1919).

Dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949 (2014: 214-24), Harry A. Poeze mengungkapkan perintah eksekusi datang dari Letda Soekotjo. Menurut Poeze, ia adalah orang kanan yang paling lantang beropini bahwa Tan Malaka harus dibunuh. Tan Malaka tewas dieksekusi tanpa pengadilan oleh pasukan militer Indonesia di Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

“Eksekustor yang berasal dari Brigade Sikatan bertindak atas perintah petinggi militer Jawa Timur. Tan Malaka dihabisi karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah Republik Indonesia yang dia anggap bersikap lunak dan kompromis terhadap Belanda,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

1 Desember 1956, Bung Hatta mengajukan surat pengunduran dirinya. Pengunduran diri Bung Hatta merupakan puncak dari berbagai perbedaan yang tak terdamaikan di antara keduanya. Hatta memilih mundur karena Soekarno semakin otoriter.

“Pemikiran-pemikiran Hatta tidak sejalan dengan pemikiran Soekarno, khususnya Nasionalis Agama Komunis (Nasakom),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

 

Komentar