Jumat, 17 Mei 2024 | 16:37
NEWS

Di Forum Marikultur Indonesia

Prof. Rokhmin Dahuri: Bangun Kembali Sistem Marikultur Indonesia, Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru

Prof. Rokhmin Dahuri: Bangun Kembali Sistem Marikultur Indonesia, Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA - Sejak kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah mengalami kemajuan dalam hampir setiap aspek kondisi kehidupan bangsa. Misalnya PDB (Produk Nasional Bruto) negara pada tahun 1945 hanya US$ 400 juta, pada tahun 2021 mencapai US$ 1,2 triliun, ekonomi terbesar enam belas di Bumi. Angka kemiskinan tahun 1960-an 70 persen, tahun 1970 turun menjadi 60 persen, tahun 2019 turun lagi menjadi 9,2 persen.

Demikian dikatakan Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS saat menjadi Keynote speech tentang Pengembangan Marikultur di Forum Marikultur Indonesia, Kota Denpasar, Pulau Bali, Selasa (14/6).

“Namun karena Pandemi Covid-19 meningkat lagi menjadi 10,4 persen (29 juta orang) pada tahun 2021 (BPS = Badan Pusat Statistik, 2021). Indonesia adalah anggota G-20, dan tahun ini kembali menjadi Presidensi G-20,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri lewat tema “The Indonesia Maritime Forum: Membangun Kembali dan Menghidupkan Kembali Sistem Marikultur Indonesia, Sangat Relevan Bagi Bangsa Indonesia Dalam Upayanya Menjadi Bangsa Yang Maju, Sejahtera, Dan Berdaulat Pada Tahun 2045”.

Prof. Rokhmin mengungkapkan, Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita Indonesia pada tahun 2021 hanya sebesar US$ 3.870 yang menempatkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah. Menurut Bank Dunia (2021), suatu negara dikategorikan sebagai negara makmur (berpenghasilan tinggi) jika GNI per kapitanya lebih besar dari US$ 12.695.

Selain itu, untuk menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat, Indonesia juga masih dihadapkan pada pertumbuhan ekonomi yang rendah (kurang dari 7 persen per tahun) sejak tahun 1998; tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi; perkembangan wilayah yang miring (antara pulau Jawa vs pulau terluar); stunting dan gizi buruk yang tinggi; dan rendahnya kapasitas inovasi, daya saing, dan Indeks Pembangunan Manusia.

Dari perspektif makroekonomi, untuk mencapai GNI per kapita sebesar US$ 15.000 pada tahun 2030 dan US$ 27.000 pada tahun 2045 seperti yang ditargetkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2019, dari tahun 2025 hingga 2045 ekonomi Indonesia harus tumbuh lebih tinggi dari 7 persen per tahun dengan kualitas pertumbuhan yang lebih tinggi (menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar, sekitar 400.000 pekerjaan per satu persen pertumbuhan, perlu dicatat bahwa dalam lima belas tahun terakhir setiap persen pertumbuhan ekonomi hanya menyediakan 200.000 pekerjaan), inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

“Selain itu, Indonesia juga harus mampu membangun sektor kesehatan dan pendidikan yang lebih kuat untuk meningkatkan sumber daya manusianya secara signifikan,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University ini.

Pengembangan Potensi Marikultur Indonesia

Sektor perikanan budidaya, khususnya budidaya laut, diyakini memiliki potensi yang sangat besar untuk mengatasi semua permasalahan dan tantangan pembangunan tersebut, sekaligus berkontribusi pada terwujudnya Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat pada tahun 2045. “Hal ini disebabkan oleh enam alasan utama,” sebut Prof. Rokhmin Dahuri.

Pertama, sebagai negara kepulauan terbesar di Bumi dengan 75% dari total wilayahnya tertutup laut dan 28% dari luas daratannya berupa ekosistem air tawar termasuk sungai, danau, dan waduk, Indonesia memiliki potensi produksi perikanan budidaya berkelanjutan terbesar di dunia. dunia, sekitar 100,06 ton per tahun.

Terdiri dari 60 juta ton/tahun dari budidaya laut; 34,36 juta ton/tahun dari budidaya air tawar (budidaya pesisir); dan 5,7 juta ton/tahun dari budidaya air tawar termasuk di kolam air tawar; jaring keramba dan jaring apung di danau, waduk, dan sungai; di sawah (minapadi); Akuarium; dan wadah lainnya (media).

Total potensi perairan laut Indonesia yang cocok untuk budidaya laut adalah sekitar 24 juta ha, dan hingga tahun 2020 yang dimanfaatkan untuk budidaya laut hanya 102.254 ha (9,6% dari total potensi wilayah). Sedangkan total produksi budidaya laut Indonesia pada tahun 2020 hanya 8,5 juta ton (14% dari total potensi produksi).

“Artinya, ruang untuk perluasan pengembangan budidaya laut, investasi, dan bisnis untuk meningkatkan daya saing Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan kemakmuran rakyat masih sangat terbuka. Dengan kemajuan inovasi teknologi di Era Industri 4.0 ini, pada dasarnya batas pengembangan budidaya laut di Indonesia hanyalah sebatas langit,” tandas Menteri Perikanan dan Kelautan Kabinet Gotong Royong itu.

Kedua, lanjutnya, sejak tahun 2003 produksi budidaya laut telah menjadi kontributor dominan terhadap total produksi perikanan budidaya Indonesia, lebih dari 50%. Pada tahun 2020, produksi budidaya laut adalah 9,7 ton yang menyumbang 58% total produksi budidaya.

Hingga saat ini lebih dari 95 persen total produksi budidaya laut berasal dari rumput laut karaginan (Eucheuma spp) dan rumput laut agar (Gracillaria spp). Hanya kurang dari 5 persen produksi budidaya laut yang berasal dari finfish (kebanyakan kerapu dan barramundi), dan tiram mutiara.

Sedangkan lobster (duri), remis, dan teripang masih merupakan penyumbang kecil. Sejak tahun 2009 Indonesia telah menjadi produsen komoditas budidaya laut terbesar kedua, setelah China (FAO, 2022). Spesies yang muncul dengan prospek cerah untuk pengembangan, investasi, dan bisnis budidaya laut adalah Cobia, Pompana Pomphret, Abalone, Kepiting Renang, Kuda Laut, Karang, jenis rumput laut lainnya (misalnya Sargasum spp, Gelidium sp, dan Haliminea spp), dan alga mikro seperti seperti Spirullina sp, Nannochloropsis oculate, Chlorella sp, dan Dunailela salina.

Ketiga, karena sebagian besar komoditas dan produk budidaya laut Indonesia diekspor, budidaya laut juga merupakan kontributor penting bagi pendapatan luar negeri negara. Misalnya, sejak tahun 2004, rumput laut menjadi penyumbang terbesar kelima dari total nilai ekspor perikanan Indonesia. Pada tahun 2020 nilai ekspor rumput laut kering sebesar US$ 279,6 juta atau 5,4% dari total nilai ekspor perikanan (US$ 5,2 miliar). Penyumbang devisa negara perikanan terbesar adalah udang (prawn) disusul tuna, cumi-cumi dan gurita, serta kepiting dan rajungan.

Keempat, sebagian besar masyarakat Indonesia secara teknologi mampu melakukan budidaya laut yang merupakan bisnis yang cukup menguntungkan. Selain itu, budidaya laut juga merupakan sektor padat karya (usaha) yang dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja (pekerja), dan sebagian besar berlokasi di pedesaan, pesisir, pulau-pulau kecil, dan di luar Pulau Jawa.

“Semua karakteristik budidaya laut ini secara signifikan akan membantu bangsa dalam mengatasi masalah dan tantangan pembangunan termasuk pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, pembangunan daerah yang miring, stunting dan gizi buruk,” tuturnya.

Kelima, sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia dan konsumsi ikan dan hasil laut per kapita, serta meratanya produksi ikan dari perikanan tangkap (sekitar 80 juta ton per tahun), permintaan komoditas dan produk budidaya laut baik di dalam negeri maupun global akan meningkat. jadi meningkat.

Terakhir, menurut definisi budidaya laut adalah produksi (penetasan dan/atau pemeliharaan) tanaman, hewan, alga, dan invertebrata dalam ekosistem laut. Oleh karena itu, budidaya laut tidak hanya merupakan sumber protein hewani, vitamin, dan mineral dari ikan bersirip, moluska, krustasea, dan ivertebrata. Tetapi juga sebagai sumber bahan baku industri perhiasan (mutiara dari tiram), makanan dan minuman fungsional (sehat), industri farmasi, kosmetik, pulp dan kertas, film, biofuel, dan banyak industri lainnya.

Selanjutnya, sejak tahun 2010 Cina telah mampu membudidayakan padi di ekosistem tipe laut dengan produktivitas berkisar 4,5 – 9,3 ton beras per hektar per tahun (Kentish, 2010). Artinya dalam waktu dekat budidaya laut juga dapat menjadi sumber karbohidrat dari padi dan tanaman pangan lainnya. “Total potensi ekonomi industri budidaya laut Indonesia diperkirakan mencapai US$70 miliar/tahun (PKSPL IPB University, 2015),” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara)ini.

Kendala Dan Tantangan Pembangunan Marikultur Di Indonesia

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menerangakan, meskipun Indonesia memiliki banyak keunggulan dalam pengembangan budidaya laut, namun juga terdapat beberapa kendala dan tantangan untuk mengembangkan sektor ini secara berkelanjutan.

Kendala dan tantangan utama untuk pengembangan budidaya laut berkelanjutan di Indonesia meliputi: pasokan benih; sistem produksi; umpan; penyakit; polusi; konflik pemanfaatan ruang laut dengan sektor pembangunan lainnya; pasar; cat infrastruktur; kurangnya sistem logistik yang terintegrasi; kurangnya tenaga kerja terampil dan berdedikasi; suku bunga tinggi dan persyaratan pinjaman kredit bank yang sulit; dan iklim investasi yang kurang kondusif.

1. Pasokan Benih

Pasokan benih untuk budidaya laut berasal dari dua sumber: populasi liar, di mana larva atau juvenil dipanen untuk menyediakan benih untuk pembesaran (budidaya berbasis tangkapan), dan produksi benih di tempat penetasan. Budidaya laut berbasis tangkap banyak dilakukan di Indonesia.

Namun, secara umum ketersediaan benih dari sumber liar semakin berkurang karena penangkapan ikan yang berlebihan, pencemaran, dan perusakan habitat pesisir. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pembenihan untuk produksi benih. Memang pembenihan telah memproduksi benih (larva atau juvenil) dari beberapa spesies laut.

Namun, industri budidaya laut masih sangat bergantung pada penangkapan benih untuk pembesaran (rearing), terutama untuk spesies yang sulit atau sangat mahal untuk dipelihara di tempat pembenihan seperti napoleon wrasse, lobster, tuna, dan teripang.

Dampak genetik dari produksi pembenihan kurang dipahami. Ada indikasi bahwa perkawinan sedarah pada beberapa spesies menyebabkan penurunan kualitas benih. Misalnya, 55% keturunan barramundi dari satu tempat penetasan adalah keturunan dari satu jantan.

2. Sistem Produksi

Budidaya laut di Indonesia sebagian besar dioperasikan oleh peternakan skala kecil dan menengah. Oleh karena itu, mereka sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi, tidak menerapkan Best Aquaculture Practices, tidak menggunakan Sistem Manajemen Rantai Pasokan Terpadu, dan tidak mematuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Akibatnya, mereka kurang produktif, efisien, kompetitif, dan berkelanjutan.

3. Umpan

Ikan rucah (spesies ikan kecil, bernilai rendah atau tangkapan sampingan) masih merupakan sumber input pakan utama untuk budidaya laut di Indonesia. Meskipun pakan pelet tersedia untuk berbagai jenis ikan laut serta beberapa krustasea, tetap ada kendala penting untuk meluasnya penggunaan pelet karena beberapa alasan.

Penerimaan petani terhadap pakan pelet seringkali rendah karena persepsi bahwa pakan ini jauh lebih mahal daripada ikan rucah. Kualitas pelet yang berubah-ubah, dan penurunan kualitas akibat pengangkutan dan penyimpanan pada suhu tinggi, juga dapat mengurangi pertumbuhan dan kelangsungan hidup spesies budidaya secara substansial.

Kurangnya pengalaman petani dalam memberi makan pelet dapat mengakibatkan pemborosan yang cukup besar. Ikan yang diberi makan ikan rucah mungkin tidak segera beralih ke diet pelet kering, yang mengakibatkan penerimaan yang buruk dan persepsi kurangnya nafsu makan.

“Saluran distribusi pakan pellet belum banyak tersedia di daerah pedesaan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Selain membatasi aksesibilitas ke pakan, faktor ini meningkatkan biaya pakan,” ujar Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2021 – 2024 ini.

4. Penyakit

VNN (Viral Nervous Necrosis) adalah patogen terkenal dari berbagai spesies ikan laut di pembenihan, dan parasit merupakan masalah yang signifikan dalam budidaya ikan kerapu. Sumber utama introduksi parasit pada kerapu budidaya adalah penggunaan ikan rucah sebagai pakan.

Meskipun penyebab pasti penyakit pada spesies budidaya laut belum ditetapkan. Hal ini diyakini terkait dengan pengembangan budidaya laut yang tidak terbatas, padat tebar yang tinggi, dan penggunaan ikan rucah sebagai pakan.

5. Polusi

Pencemaran lingkungan laut di sekitar lokasi budidaya laut berasal dari aktivitas manusia (aktivitas pembangunan) di darat (pencemaran berbasis tanah) dan di laut (polusi berbasis laut), serta dari budidaya laut itu sendiri.

Lingkungan laut yang dekat dengan daerah pesisir padat penduduk dan/atau industri seperti di sepanjang Pantai Utara Jawa (Jakarta – Semarang – Surabaya), Batam, Medan, Belawan, Balikpapan, Bontang, dan Makassar telah mengalami status pencemaran sedang hingga berat. Pencemaran dari budidaya laut berasal dari pakan yang tidak dimakan, limbah feses dan urin dari ikan budidaya dan krustasea.

6. Pasar

Banyak komoditas dan produk budidaya laut yang menyasar pasar internasional (ekspor). Saat ini, masalah keamanan pangan dan keberlanjutan produksi mendorong perkembangan di pasar ini, dan regulator serta industri mengembangkan persyaratan yang semakin ketat dalam hal keamanan pangan dan masalah kelestarian lingkungan.

Banyak skema seperti itu kontroversial dengan produsen akuakultur. Beberapa masalah yang diidentifikasi dalam skema ini meliputi: kurangnya transparansi mengenai klaim kinerja dan kriteria penilaian, kriteria penilaian yang sederhana dan bias, penerapan kriteria teknis yang tidak konsisten antara spesies dan sistem produksi, dan akses yang diskriminatif ke proses penilaian.

Berdasarkan indikasi saat ini, skema tersebut kemungkinan akan bertindak sebagai hambatan perdagangan non-tarif, dan khususnya membatasi akses pasar oleh petani akuakultur skala kecil.

Dengan produksi budidaya laut di Indonesia yang sangat bergantung pada produsen skala kecil, penyebaran skema ini dan potensi dampaknya terhadap akses pasar di masa depan dapat menjadi faktor pembatas yang signifikan untuk ekspansi budidaya laut di Indonesia serta di negara-negara Asia-Pasifik lainnya.

Strategi Pembangunan Kedudukan

Dalam kesempatan tersebut, Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu menjelaskan, untuk mengembangkan budidaya laut yang produktif, efisien (menguntungkan), inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan, Indonesia harus mengatasi semua masalah dan tantangan tersebut di atas secara holistik, terpadu, dan berkelanjutan.

Ada dua kategori masalah dan tantangan yang dihadapi pengembangan budidaya laut Indonesia: teknis – internal, dan makro – eksternal. Dalam konteks ini, masalah dan tantangan teknis – internal menjadi tanggung jawab pembudidaya ikan; sedangkan yang makro-eksternal merupakan tanggung jawab Pemerintah Indonesia.

A. Teknis – Solusi Internal

Pertama, semua unit produksi budidaya laut harus berada di wilayah laut yang sesuai dengan (disarankan) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, atau Kota yaitu RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil = Rencana Zonasi Pesisir). Daerah dan Pulau-Pulau Kecil).

Patut dicatat bahwa RZWP3K diproses dan dibuat dengan mempertimbangkan dan memasukkan kesesuaian ekologi (lingkungan) untuk setiap sektor pembangunan termasuk budidaya laut, dan potensi bahaya alam.

Kedua, setiap unit usaha produksi budidaya laut harus: (1) memenuhi skala ekonominya, (2) menerapkan Best Mariculture Practices, (3) menerapkan Sistem Manajemen Rantai Pasokan Terpadu, dan (4) Prinsip Pembangunan Berkelanjutan.

Skala ekonomi adalah ukuran suatu unit usaha budidaya laut dengan tingkat teknologi tertentu (tradisional, semi intensif, atau intensif) yang menghasilkan laba bersih yang membuat pemilik dan seluruh pekerja unit usaha produksi budidaya laut tersebut sejahtera dengan pendapatan lebih besar dari US$ 300/orang/bulan (Bank Dunia, 2020).

Praktik Budidaya Laut Terbaik meliputi: (1) penggunaan larva atau juvenil kualitas terbaik (SPF, SPR, dan cepat tumbuh); (2) kualitas pakan terbaik (FCR rendah < 1,5, dan memenuhi kebutuhan nutrisi spesies budidaya) dan metode pemberian pakan terbaik (presisi) (tanpa pemborosan pakan) seperti menggunakan pakan otomatis berbasis suara; (3) pengendalian hama dan penyakit; (4) mengelola dan memastikan kualitas air setiap lokasi budidaya laut dan lingkungan laut sekitarnya dalam kondisi baik hingga sangat baik; (5) rekayasa tambak yang baik (lay out, desain, dan bahan jaring keramba/jaring apung); dan (6) biosekuriti.

Sistem Manajemen Rantai Pasokan Terpadu berarti bahwa setiap unit usaha budidaya laut harus didukung oleh pasokan faktor input yang berkelanjutan untuk sub-sistem produksi termasuk larva dan juvenil kualitas terbaik, kualitas pakan terbaik dengan harga yang relatif lebih murah, peralatan dan mesin, dan listrik.

Selain itu, subsistem penanganan, pengolahan, dan pemasaran harus dapat memastikan bahwa semua komoditas yang dihasilkan oleh semua subsistem produksi budidaya laut dapat dipasarkan (dijual) yang membuat unit produksi budidaya laut menguntungkan.

Prinsip Pembangunan Berkelanjutan meliputi: (1) memastikan tingkat (intensitas) pengembangan budidaya laut tidak melebihi daya dukung lingkungan mikro (satuan produksi budidaya laut) maupun lingkungan makro (lingkungan laut sekitar); (2) pengendalian polusi; (3) konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem; (4) desain dan konstruksi dengan alam, dan (5) mitigasi dan adaptasi Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lainnya.

B. Makro – Solusi Eksternal

Makro – solusi eksternal adalah masalah dan tantangan yang tidak dapat diselesaikan oleh individu pembudidaya ikan (pemilik usaha produksi budidaya laut). Mereka secara alami menjadi tanggung jawab pemerintah.

Pertama, pemerintah (kabupaten/kota, provinsi, dan nasional) harus menjaga dan menjaga semua lokasi (lokasi) budidaya laut sesuai RZWP3K.

Kedua, produksi input produksi budidaya laut yang berkelanjutan (misalnya larva, juvenil, pakan, peralatan dan mesin, dan listrik) dengan kualitas terbaik dan harga yang relatif lebih murah yang dapat diakses oleh semua petani budidaya laut di seluruh negeri setiap saat.

Ketiga, kepastian pasar yang dapat menyerap semua komoditas budidaya laut yang dihasilkan oleh seluruh pembudidaya ikan (pelaku usaha budidaya perikanan) di seluruh tanah air setiap saat dengan harga yang menguntungkan bagi pembudidaya ikan.

Keempat, pemerintah mendorong swasta dan BUMN untuk merevitalisasi dan mengembangkan industri pengolahan, pengemasan, dan penanganan ikan di seluruh tanah air sesuai dengan kebutuhan lokal atau daerah.

Selain menjamin pasar untuk komoditas yang dihasilkan oleh unit produksi budidaya laut, industri hilir tersebut juga menghasilkan daya saing, nilai tambah dan multiplier effect yang lebih besar bagi Indonesia.

Kelima, pemerintah harus mencegah perairan laut dari sumber pencemaran baik yang bersumber dari daratan maupun yang bersumber dari laut sebagai akibat dari aktivitas manusia dan sektor pembangunan lainnya.

Keenam, konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem harus dilaksanakan dan ditegakkan. Nomor tujuh, bahwa semua modifikasi lanskap dan konstruksi di wilayah pesisir harus dirancang dan dibangun sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika alam setempat.

Kedelapan adalah bahwa kita harus menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global dan bahaya alam lainnya. Misalnya dengan berhenti menggunakan bahan bakar fosil, dan menggunakan energi terbarukan dan bersih seperti matahari, angin, biofuel, dan energi laut.

Kesembilan, Sistem Logistik Ikan Nasional harus diperkuat dan diperluas untuk mencakup seluruh wilayah Indonesia.

Kesepuluh adalah memberikan akses yang lebih besar dan lebih mudah bagi usaha budidaya laut ke tingkat bunga yang relatif lebih rendah dan persyaratan pinjaman kredit bank, teknologi, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya yang lebih lunak.

Terakhir, kata Prof. Rokhmin Dahuri, tidak kalah penting adalah bahwa pemerintah harus membuat kebijakan politik dan ekonomi (fiskal dan moneter, pajak, ekspor dan impor, tenaga kerja, dll) dan iklim investasi yang kondusif dan menarik bagi pengembangan budidaya laut, investasi, dan bisnis yang berkelanjutan.

Dia berharap, Forum Marikultur Indonesia ini dapat memberikan: (1) ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir di bidang budidaya laut termasuk pemuliaan dan rekayasa genetika, pakan dan nutrisi, manajemen kualitas air, pengendalian hama dan penyakit, rekayasa budidaya, budidaya mesin dan peralatan, dan biosekuriti; (2) pertukaran informasi dan teknologi antar peserta; dan (3) wadah untuk menjalin kerjasama dan persahabatan antar peserta R&D, pendidikan & pelatihan, investasi dan bisnis di bidang budidaya laut.

Selain itu, Forum ini juga diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi-rekomendasi terbaik kepada pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk membangun Pembangunan Marikultur Berkelanjutan Indonesia.

“Semua yang terbaik untuk semua pembicara dan peserta yang terhormat. Saya berharap Forum Marikultur Indonesia ini dapat memberikan banyak manfaat dan dampak positif yang luas tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi peradaban manusia secara keseluruhan,” tutup Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany itu.

Komentar