Kamis, 02 Mei 2024 | 19:42
NEWS

Rapat Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Ikan di ZEEI

Dukung Menteri KKP, Prof Rokhmin Dahuri: Di Perikanan Tangkap Kalau Terus Menerus “Open Access” Akan Terjadi Tragedi Ambruk Bersama

Dukung Menteri KKP, Prof Rokhmin Dahuri: Di Perikanan Tangkap Kalau Terus Menerus “Open Access” Akan Terjadi Tragedi Ambruk Bersama
Rapat Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Ikan di ZEEI

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS mengungkapkan, 95 persen usaha perikanan tangkap Indonesia bersifat tradisional. Pertama, tidak memenuhi economy of scale. Kedua, tidak menggunakan teknologi mutahkir. Ketiga, tidak menerapkan Integrated Supply Chain Management System (manajemen terpadu hulu – hilir). Keempat, tidak mengikuti prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).

“Implikasinya banyak nelayan belum sejahtera (miskin) dan kontribusi Subsektor Perikanan Tangkap bagi perekonomian Nasional (seperti PDB, nilai ekspor, dan PNBP) masih rendah,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri pada Rapat Koordinasi “Pengelolaan Sumber Daya Ikan di ZEEI” Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Kemenko Marves Hybrid Meeting, The Alana Hotel, Sentul, Bogor, 12 April  2022.

Dalam paparannya bertema “Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Terukur Yang Mensejahterakan Dan Berkelanjutan:  Dengan Fokus Implementasi Di Wilayah Zeei”, Prof Rokhmin mengatakan tingkat (laju) penangkapan jenis stok ikan di beberapa WPP sudah overfishing, di beberapa WPP lain masih underfishing atau optimum dan sustainable (tingkat penangkapan =  MSY), akibat rejim pengelolaan yang “open access” dan tidak terukur.

Dengan catatan, kata Prof Rokhmin Dahuri, unit wilayah pengelolaan mestinya per wilayah perairan propinsi, dan Jenis stok ikan jangan agregatif (pelagis besar, pelagis kecil, demersal, udang, dst), tetapi harus berdasarkan pada spesies ekonomi penting. Sayangnya, rezim pengelolaan perikanan tangkap kita selama ini “open access”, siapa saja bisa menangkap ikan.

“Saya mendukung kebijakan Pak Trenggono (Menteri KKP) bahwa kita diperikanan tangkap kalau terus menerus “open access” maka yang terjadi tragedi ambruk bersama. Mudah-mudahan tahun 2024 kita memiliki Presiden dan Menterinya yang sains fish,” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu.

Ternyata, lanjut Prof Rokhmin Dahuri, seluruh Indonesia  jumlah total Armada Perikanan Laut Nasional ada 936.249 unit. Perahu Motor Tempel sebanyak 427.309 unit (sekitar 46 persen). Sedangkan Perahu Tanpa Motor sebanyak 192.653 unit (21 persen)  dan Kapal Motor (KM) jumlahnya 316.249 unit (34 persen). “Proporsi KM >30 GT jumlahnya hanya 4.313 (1,36% total KM). Tetapi kalau dibandingkan dengan jumlah kapal ikan seluruh Indonesia (936.249 unit) presentasinya hanya 0,46%,” sebutnya.

Disamping itu, menurut Prof Rokhmin kontribusi Sektor Perikanan terhadap PDB Nasional hanya sekitar 2,8% di tahun 2020. Sementara ikan tangkapnya hanya 1,4% dibandingkan dengan perikanan budidaya.

Selanjutnya, masalah ketiga adalah masalah IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing oleh nelayan nasional, tapi terutama oleh nelayan asing, sekitar 1 juta ton/tahun (FAO, 2005). Keempat, penggunaan teknologi penangkapan yang merusak lingkungan (destructive fishing). Kelima, pencemaran perairan laut, degradasi fisik ekosistem pesisir (mangroves, seagrass beds, coral reefs, dan estuaries), dan biodiversity loss.

Kemudian, keenam, soal perubahan Iklim Global beserta segenap dampak negatipnya, tsunami, dan bencana alam lainnya. Ketujuh, Mayoritas nelayan belum menerapkan Best Handling Practices > Saat ikan didaratkan di Pelabuhan Perikanan (Tempat Pendaratan Ikan) kualitasnya rendah > Harga jual ikan rendah > Kemiskinan nelayan. Kedelapan, sebagian besar Pelabuhan Perikanan belum berkelas dunia: sanitasi dan higienis rendah, tidak dilengkapi dengan Kawasan Industri Perikanan Terpadu (hanya sebagai tambat – labuh Kapal Ikan).

Lalu, kesembilan, posisi Nelayan dalam Sistem Rantai Pasok dan Nilai sangat tidak diuntungkan Keuntungan usaha rendah > Kemiskinan Nelayan. Kesepuluh, pada saat nelayan tidak bisa melaut (sekitar 3 bulan dalam setahun), karena musim paceklik ikan atau cuaca buruk >  Nelayan tidak punya matapencaharian alternatif (nganggur) > pinjam uang dari rentenir dengan bunga yang sangat tinggi  (5 – 10 % per bulan) > Saat musim panen (banyak ikan), kelebihan pendapatan untuk bayar rentenir (bukan untuk menabung) > kemiskinan nelayan.

“Di Negara maju yang serius harusnya disetiap Pelabuhan Perikanan ada unit bisnis yang punya core bisnis menyediakan sarana produksi misalnya SPBU nelayan. Sayangnya Pemerintah tidak serius memecahkan masalah kesembilan, kemudian pada saat nelayan tidak melaut karena cuaca buruk disitulah rentenir dengan empuknya menelan nelayan,” tuturnya.

Masalah berikutnya, kesebelas, sistem bagi hasil antara pemilik Kapal Ikan dan nelayan ABK belum adil (win-win)  Pemilik Kapal Ikan umumnya dapat bagian yang jauh lebih besar (makmur), sedangkan nelayan ABK mendapatkan bagian terlalu kecil (miskin). Keduabelas, perlindungan kepada nelayan dari kecelakaan, kematian, dan kegagalan usaha (asuransi) masih jauh dari memadai.

“Yang paling penting ketigabelas, akses nelayan, khususnya nelayan kecil (tradisional) kepada sumber modal, teknologi, infratsruktur, infromasi, dan aset ekonomi produktif lainnya sangat rendah. Contohnya rezim di Indonesia menganut sistem riba dengan suku bunga yang paling tinggi di dunia dibandingkan dengan Malaysia atau Thailand,” ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

“Ini tugas Menko Marves bagaimana meyakinkan presiden, menkeu dan komisi anggaran di DPR supaya sektor kita minimal 10-15 persen untuk alokasi kredit. Karena kalau tidak ada modal walaupun potensi perikanan besar kapasitas untuk menangkap ikannya rendah,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Bagaiamana mengatasi masalah itu? Menurutnya, harus ada kebijakan agar kelompok perikanan menghasilkan output atau hasil yang kita dambakan bersama. Yaitu, (1) peningkatan produktivitas (CPUE, Hasil Tangkap per Satuan Upaya) dan efisiensi secara berkelanjutan (sustainable) > Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan.

“Maka, perlu modernisasi armada kapal ikan tradisional yang ada saat ini, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan/bulan. Pengembangan kapal ikan modern (> 30 GT) dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan SDI di wilayah laut ZEEI, dan laut lepas > 200 mil. Dan Intensitas (laju) penangkapan < MSY,” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Yang berikutnya, (2) Nelayan harus menangani ikan dari kapal di tengah laut hingga didaratakan di pelabuhan perikanan (pendaratan ikan) dengan cara terbaik (Best Handling Practices), sehingga sampai di darat kualitas ikan terpelihara dengan baik, dan harga jual tinggi > Es, Cool Box, RSW, dll; (3) Revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai Kawasan Indsutri Perikanan Terpadu (industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjang), dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualitas dan keamanan pangan (food safety); (4) Untuk jenis-jenis ikan ekonomi penting, harus ditransportasikan dari Pelabuhan Perikanan ke pasar domestik maupun ekspor dengan menerapkan Cold Chain System: es dan mobil berpendingin; (5) Pemerintah wajib menyediakan sarana produksi dan perbekalan melaut (kapal ikan, alat tangkap, mesin kapal, BBM, energi terbarukan, beras, dan lainnya) yang berkualitas tinggi, dengan harga relatif murah dan kuantitas mencukupi untuk nelayan di seluruh wilayah NKRI;

Kemudian, (6) Pemerintah menjamin seluruh ikan hasil tangkapan nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat dijual kapan saja dengan harga sesuai ‘’nilai keekonomian” (menguntungkan nelayan); (7) Pada saat nelayan tidak bisa melaut, karena paceklik ikan maupun cuaca buruk (rata-rata 3 – 4 bulan dalam setahun), pemerintah wajib menyediakan mata pencaharian alternatif (perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, agroindustri, dan potensi ekonomi lokal lainnya) > supaya nelayan tidak terjerat renternir, seperti selama ini;

Selanjutnya, (8) Evaluasi dan perbaikan sistem bagi hasil antara pemilik kapal dengan nelayan ABK supaya lebih adil dan saling menguntungkan; (9) Penyediaan asuransi (jiwa maupun usaha) untuk nelayan; (10) Pemberantasan IUU fishing dan destructive fishing; (11) Restorasi dan pemeliharaan lingkungan: pengendalian pencemaran, rehabilitasi hutan mangrove, terumbu karang dan ekosistem pesisir yang rusak, restocking, dan stock enhancement; (12) Pemerintah harus melaksanakan DIKLATLUH tentang teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan, Best Handling Practices, dan konservasi secara reguler dan berkesinambungan; (13) Kebijakan politik-ekonomi (kredit perbankan, iklim investasi, RTRW, dll) harus kondusif.

Terkait kebijakan dan program pengendalian pengeluaran dan resiko nelayan, Prof Rokhmin menuturkan, pemerintah membantu membangun kawasan pemukiman nelayan yang bersih, sehat, cerdas, produktif, aman, dan indah. “Sehingga, nelayan beserta anggota keluarga bisa hidup dan tumbuh kembang dengan sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong itu.

Kemudian, tambahnya, [enyuluhan dan pendampingan manajemen keuangan keluarga agar nelayan dan anggota keluarganya bisa hidup “tidak lebih besar pasak dari pada tihang”,  seperti pembatasan jumlah anak, gemar menabung, dan lainnya. “Selain kerja cerdas dan keras sebagai nelayan, mereka harus meningkatkan iman, taqwa, dan doa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing,” imbuhnya.

Dalam kesempatan itu, Prof Rokhmin Dahuri menyampaikan, program terobosan KKP 2021 – 2024 terdiri: 1. Peningkatan PNBP dari SDA perikanan tangkap untuk peningkatan kesejahteraan nelayan melalui Kebijakan Penangkapan Terukur di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan; 2. Pengembangan perikanan budidaya untuk peningkatan ekspor yang didukung riset kelautan dan perikanan; dan 3. Pembangunan kampung-kampung perikanan budidaya tawar, payau dan laut berbasis kearifan lokal.

Kemudian, lewat penyempurnaan pengelolaan perikanan tangkap terukur  di Wilayah Laut Zeei yang mensejahterakan dan berkelanjutan, maka diperlukan antara lain; (1) Evaluasi perhitungan dan alokasi kuota penangkapan ikan dan besaran nilai PNBP untuk setiap badan usaha, dengan skala prioritas: Koperasi Nelayan Tradisional Lokal yang telah ditingkatkan kapasitasnya, Perusda (BUMD), BUMN, Perusahaan Swasta Nasional, dan terakhir Perusahaan Asing.  “Di sini, kuota penangkapan ikan dihitung berdasarkan JTB di wilayah laut ZEEI (12 – 200 mil dari garis pantai) di setiap WPP-NRI. Sedangkan, wilayah perairan laut antara (0 – 12 mil) atau laut teritorial di setiap WPP-NRI itu hanya untuk nelayan tradisional dengan ukuran Kapal Ikan < 30 GT,” kata Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu.

Kemudian ke (2) Kuota untuk setiap Badan Usaha jangan dipatok 100.000 ton/tahun. Harus ada fleksibilitas untuk Koperasi Nelayan Tradisional dan Perusda seyognyanya bisa kurang dari 100.000 ton/tahun; (3) KKP (LPUMKP) atau KUR memberikan pinjaman kepada Koperasi Nelayan Tradisional untuk membeli Kapal Ikan > 50 GT dengan alat tangkap (fishing gear) yang sesuai dengan jenis ikan target dan kondisi oseanografi – klimatologi di WPP-NRI dimana dia mendapatkan izin kuota penangkapan ikan.  KKP dan Pemda melakukan capacity building kepada nelayan lokal agar mampu mengoperasikan kapal modern dan melaut lebih dari 2 minggu.

“Atau mendatangkan Kapal Ikan Modern dari Pantura, dan wilayah lainnya di NKRI.  Dengan, ABK 50% nelayan lokal dan 50% nelayan dari wilayah lain NKRI. Fishing master, nahkoda, dan ahli mesin dari daerah lain,” ucap Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany ini.

Selanjutnya, (3)Pemantauan dan pencatatan produksi ikan (fish landing) setiap Kapal Ikan yang mendapatakan izin penangkapan ikan (> 30 GT) dari DJPT-KKP,  per satuan waktu (hari, minggu, bulan, atau tahun) di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan oleh KKP; (4) Pemantauan dan pencatatan harga jual ikan dari setiap Kapal Ikan diatas, per satuan waktu di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan oleh KKP; (5) Observasi dan penghitungan secara langsung biaya produksi (melaut) setiap jenis Kapal Ikan dan Alat Tangkap di setiap WPP; (6) MCS (Monitoring, Controlling, and Surveillance) operasi Kapal Ikan di seluruh wilayah perairan laut NKRI untuk memastikan bahwa mereka mematuhi semua regulasi Pemerintah- RI; dan (7) Optimalisasi pemanfaatan Sumber Daya Ikan oleh Kapal Ikan Indonesia di wilayah laut lepas (international waters), dimana Indonesia sudah mendapatkan kuota sejak 20 tahun terakhir, seperti di S. Hindia (CCSBT), IOTC, dll.

 

Komentar