Kamis, 25 April 2024 | 09:19
CULINARY

Pasar Wit Witan Banyuwangi, Wisata Kuliner Ala Tempo Dulu

Pasar Wit Witan Banyuwangi, Wisata Kuliner Ala Tempo Dulu

ASKARA - Menikmati aneka kuliner di masa lampau memang beda suasananya, apalagi di kawasan hutan kecil yang penuh dengan pepohonan yang rindang. Salah satu destinasi wisata kuliner tradisional yang terus tumbuh adalah Pasar Wit-Witan di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, Jawa Timur.

Pasar Wit-Witan itu tak hanya menjadi tempat transaksi, tapi juga bisa menjadi tempat refresing dan menikmati hawa baru. Sambil menyantap makanan yang telah dibeli, pengunjung bisa menikmati kesenian khas Banyuwangi. Suasana sekitar pasar yang masih dipenuhi sawah-sawah menambah kenyamanan pasar ini.

Letaknya sekitar 16 km dari pusat kota Banyuwangi. Rutenya juga tidak sulit, dari Kota Banyuwangi ambil arah ke Rogojampi pertigaan tugu Adipura. Lalu mengarah ke kanan ikuti jalan tersebut sampai ketemu perempatan patung Kebo-keboan Alas Malang.Kemudian ke arah kanan, ikuti jalan tersebut menuju pasar yang berada di sebelah kiri jalan.

Tidak hanya warga desa Alas Malang yang datang ke lokasi tersebut, bahkan masyarakat dari luar Kota Banyuwangi pun datang ke lokasi untuk mencicipi kuliner buatan warga suku Osing asli, atau hanya sekedar mengambil spot selfie di sana.

Salah satunya pengunjung asal Jakarta, Mamah Sri bersama keluarga berkunjung ke pasar itu Minggu kemarin (9/1), mengaku sangat menikmati kekhasan saat makan di pasar tersebut.

“Saya bingung memlih kuliner yang beraneka ragam. Makanya saya coba pilih makanan Geseng Bangsong. Wow, nikmat sekali rasanya. Bumbunya sungguh nikmat rasa pedas bercampur asam dari daun wadung,” ungkapnya.

Dia sangat penasaran dengan keberadaan pasar itu setelah diceritakan anaknya Syifa yang kebetulan ikut suaminya Ustadz Lukman, pengasuh Pondok Pesantren Daarul Quran Banyuwangi di Rogojampi.

Sesuai namanya, pasar Wit – Witan, karena para penjual dan penjaja makanan di pasar tersebut benar - benar berjualan tepat di bawah ‘wit’ atau pepohonan yang rimbun dan asri dalam kebun kecil. Rasanya sekilar membawa kita pada gambaran pasar-pasar jaman dulu saat era kerajaan.

Kebunnya terlihat sekilas seperti hutan, apalagi sisi selatannya tumbuh pohon agak lebat dan terdapat sungai kecil. Penjual menggunakan pakaian tradisional dengan pakaian warna hitam dan bawahan batik.

Cara jualannya unik, meja untuk menjajakan makanan terbaut dari bambu. Kursi-kursi untuk menyantap makanan yang dibeli pun demikian, tesebar di beberapa titik di pasar wit-witan ini. Beberapa kursi berada berdekatan atau di depan pedagang makanan.

Tak hanya itu, para pedagang makanan juga diwajibkan mengenakan busana adat khas masyarakat Using Banyuwangi. Karena berada di kawasan hutan kecil yang penuh dengan pepohonan. Tempat duduk juga dari bangku bambu, sendok yang digunakan juga dari kayu. Di pasar ini juga tak boleh ada wadah dan sampah plastik. Para penjual makanan menggunakan daun pisang hingga tempurung kelapa untuk makan dan minum.

Para pedagang menawarkan ragam jenis jajanan tradisional kepada ratusan pengunjung yang dijajakan di atas meja – meja lapak dengan desain rumah gubug dari bambu. Walaupun tempatnya di pinggir hutan dan kebun kecil, penjual di di Pasar Wit-witan ini menempati area yang agak terbuka sehingga pembeli leluasa berjalan kesana kemari.

Ketika pasar itu digelar setiap hari Minggu, pengunjung pun membeludak dan berjejal memenuhi area pasar di bawah pepohonan itu. Pasar ini hanya dibuka mulai jam 6.00 sampai 12.00. Tempat duduk juga dari bangku bambu, sendok yang digunakan juga dari kayu.

Puluhan gubuk dari bambu berjajar rapi. Ukurannya sekitar 2,5 sampai 3 meter. Gubuk itu berada di bawah pepohonan. Teduh dan rimbun. Penjaganya para perempuan berbaju hitam berkebaya batik. Pakaian khas daerah setempat.

Di pasar ini segala macam panganan tradisional Banyuwangi disajikan. Dari makanan ringan (kudapan) hingga hidangan berat. Mayoritas memang masakan lokal, antara lain: Pecel pitik (dibuat khusus pada saat tasyakuran, terbuat dari ayam yang dipanggang lalu dilumuri kela yang diberi bumbu-bumbu), Ayam kesrut (makanan sehari-hari masyarakat Singojuruh), Rawon alas (dihidangkan saat hajatan)

Selain itu ada Lontong jangan (makanan sehari-hari, terkadang dibuat jajanan makanan di pasar), Urap (sayur-sayuran yang telah direbus, di kasih kelapa parut yang diberi bumbu), Pelasan (ikan segar yang dibalut bumbu dimasukkan kedaun pisang lalu dikukus), Kucur (jajanan pasar yang biasanya dibuat saat hajatan), Patulo (makanan berwarna- warni, terbuat dari tepung beras, gula pasir, gula merah, santan kelapa, dan daun pandan).

Ada juga Sego cawuk (sering dihidangkan pada waktu pagi hari), Tiwul (terbuat dari tepung Gaplek 'singkong'), Gatot (singkong yang di keringkan hingga menghitam), Lupis (terbuat dari ketan yang dibungkus dengan daun pisang menyerupai lontong ), Lanun (terbuat dari tepung beras rose brand, kanji, tepung oman 'abu daun pisang kering yang dibakar/abu batang padi' untuk pewarn alaminya ), Gethuk (terbuat dari singkok yang kukus lalu diyumbuk diberi kelapa dan gula).

Menariknya ada penjual Geseng menthok (makanan khas dari wijenan yang dihidangkan sehari-hari), dan Geseng Bangsong (Itik Jantan). Geseng Entok adalah makanan khas Dusun Wijenan Kidul, Desa Singolatren, Singojuruh. Makanan ini biasanya dihidangkan saat acara-acara keagamaan umat Islam. Seperti Maulid Nabi, Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha.

Untuk minuman  juga tersedia beberapa minuman yang menarik, yaitu mulai dari jamu hingga es cendol juga ditemukan di sini.  Ada juga es campur degan toping bola berwarna ungu terbuat dari telo ungu. Ada juga minuman temulawak dan jamu yang diracik oleh warga setempat. Tak hanya makanan dan minuman, disini juga ada pedagang kerajinan kayu/sisa kayu yang dibuat menjadi perabotan.

 

Komentar