Senin, 06 Mei 2024 | 06:31
NEWS

Begini Analisis Ahli Vulkanologi ITB Terkait Letusan Gunung Semeru

Begini Analisis Ahli Vulkanologi ITB Terkait Letusan Gunung Semeru
Erupsi Semeru (Dok Istimewa).jpg

ASKARA - Erupsi Gunung Semeru yang terjadi pada Sabtu (4/12) sekitar pukul 14.50 WIB telah mengakibatkan 15 orang meninggal dunia, 69 luka-luka, dan 2.970 rumah rusak.

Gunung Semeru mengeluarkan asap pekat berwarna abu-abu berukuran besar. Hujan abu terjadi di sekitar Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur.

Gunung Semeru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan puncaknya Mahameru 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl). 

Gunung api ini juga merupakan gunung berapi tertinggi ketiga di Indonesia setelah Gunung Kerinci di Sumatra dan Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat.

Terkait erupsi Gunung Semeru, Ahli Vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman mengungkapkan, material lahar akibat erupsi Gunung Semeru merupakan akumulasi dari letusan sebelumnya yang menutupi kawah gunung tersebut. 

"Terkikisnya material abu vulkanik yang berada di tudung gunung tersebut membuat beban yang menutup Semeru hilang, sehingga membuat gunung mengalami erupsi," kata Mirzam dalam keterangan resminya, Senin (6/12).

Mengutip dari Magma Indonesia, visual letusan tidak teramati akan tetapi erupsi ini terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 25 mm dengan durasi 5.160 detik.

Menurut Mirzam, saat terjadi erupsi, warga cenderung tidak merasakan adanya gempa. Akan tetapi, gempa tetap terekam oleh seismograf yang disebabkan oleh sedikitnya material yang berada di dalam dapur magma. 

Mirzam menerangkan ada tiga hal yang menyebabkan Gunung Semeru bisa meletus Pertama, karena volume di dapur magma sudah penuh.

Kedua, karena ada longsoran di dapur magma yang disebabkan terjadinya pengkristalan magma, dan ketiga, di atas dapur magma. 

"Faktor yang ketiga ini sepertinya yang terjadi di Semeru. Jadi ketika curah hujannya cukup tinggi, abu vulkanik yang menahan di puncaknya, baik dari akumulasi letusan sebelumnya, terkikis oleh air, sehingga gunung api kehilangan beban," tuturnya.

Dia menerangkan, meskipun isi dapur magma yang terlihat sedikit dari aktivitas kegempaan juga sedikit (hanya bisa dideteksi oleh alat, namun tidak dirasakan oleh orang yang tinggal di sekitarnya), Semeru tetap bisa erupsi.

Dosen pada Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) itu mengatakan, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung api aktif tipe A. 

Berdasarkan data dan pengamatan yang dilakukan, Mirzam menyimpulkan bahwa Semeru memiliki interval letusan jangka pendeknya 1-2 tahun. Terakhir, tercatat ada letusan di tahun 2020 pada bulan Desember. 

"Letusan kali ini, volume magmanya sebetulnya tidak banyak, tetapi abu vulkaniknya banyak, sebab akumulasi dari letusan sebelumnya," ujar dia.

Mirzam menyampaikan arah abu vulkanik dari letusan Gunung Semeru juga bisa diprediksi, yaitu mengarah ke tenggara. 

Hal ini mengacu pada peta geologi Semeru yang membentuk bidang tempat lahirnya gunung itu tidak horizontal, tetapi miring ke arah selatan. 

Bila mengacu pada letusan tahun 2020, katanya, arah abu vulkaniknya cenderung ke arah tenggara dan selatan, karena anginnya berhembus ke arah tersebut.

"Begitu juga dengan aliran laharnya, karena semua sungai yang berhulu ke puncak Semeru semua mengalir ke arah selatan dan tenggara," ucap Mirzam. 

Mirzam Abdurrachman mengindikasikan abu vulkanik dari erupsi Gunung Semeru cenderung berat, yang ditandai dengan warnanya yang abu-abu pekat.

 "Itu terlihat dari visual di puncak Semeru, sehingga ketika letusan-letusan sebelumnya terjadi, abu vulkanik jatuh menumpuk di hanya sekitar area puncak gunung saja. Ini menjadi cikal bakal melimpahnya material lahar letusan 2021," tandas Mirzam. 

Komentar