Sabtu, 27 April 2024 | 10:21
NEWS

Dedi Mulyadi: Bulog, Lembaga yang Tidak Beli dan Tidak Bisa Jual

Dedi Mulyadi: Bulog, Lembaga yang Tidak Beli dan Tidak Bisa Jual
Beras Bulog (Dok Istimewa)

ASKARA - Kemampuan Badan Urusan Logistik (Bulog) menyerap gabah hasil panen petani mulai dipertanyakan. Padahal sebagai BUMN pangan, lembaga ini diberi tugas utama untuk menyerap hasil panen.

Di sejumlah daerah, seperti Indramayu saat ini harga gabah cenderung turun berkisar antara Rp3.000 hingga Rp3.500 per kilogram. Harga tersebut jauh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan oleh pemerintah. 

Di Ngawi, Jawa Timur dan Demak, Jawa Tengah harga rata-rata gabah kering panen (GKP) di bawah Rp 4.000 per kilogram.

Data tersebut diungkapkan oleh Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, pertengahan Maret ini.

Selama ini Bulog itu ditugaskan pemerintah untuk membeli gabah dengan harga yang sudah ditetapkan. Menurut Permendag No. 24/2020, Bulog hanya bisa menyerap gabah dengan kadar air maksimal 25 persen dan seharga Rp4.200 per kilogram.

Anjloknya harga gabah petani yang masih di bawah HPP ini menuntut peran Bulog sebagai lembaga yang diberi tugas mengamankan harga beras dan gabah petani.

"Bulog seharusnya mampu membeli sesuai dengan HPP yang sudah ditetapkan sehingga harga gabah tidak anjlok. Namun melihat kenyataan di lapangan dimana harga gabah anjlok, tentu layak dipertanyakan kemampuan Bulog dalam membeli atau menyerap gabah dari petani sesuai HPP,” kata Dedi Mulyadi, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Rabu (24/3). 

Dedi berpendapat, Bulog semestinya mampu membeli gabah petani untuk menjaga stabilitas harga serta mengamankan cadangan pangan nasional.

Selain tidak mampu membeli gabah dari petani sesuai harga, Bulog juga disebut tidak mampu menjual beras yang disimpannya selama ini. Dedi menyatakan banyaknya penumpukan beras di gudang lebih disebabkan karena Bulog tidak bisa menjualnya.

“Prinsip dasarnya selain tidak mampu membeli, Bulog ternyata juga tidak mampu menjual berasnya. Akhirnya terjadi penumpukan beras di gudang hasil pembelian tahun 2018,” ungkap Dedi yang juga anggota Fraksi Golkar DPR RI.

Bahkan sekitar 100 ribu ton beras Bulog mengalami turun mutu atau bisa disebut busuk. 

“Banyaknya beras yang busuk itu juga disebabkan karena Bulog tidak memiliki gudang penyimpangan yang memadai. Selama ini beras Bulog hanya disimpan di atas lantai lalu ditutup pakai palet,” tutur Dedi. 

Bulog selama ini hanya mampu menjual atau menyalurkan berasnya saat pemerintah memberikan penugasan terkait program Bantuan Sosial (Bansos) lewat beras.

Dedi melihat hal ini sebagai kegagalan Bulog dalam menjalankan tugasnya, yakni tidak mampu beli beras dan gabah juga tidak mampu menjual beras. Padahal dua tugas ini sudah diamanatkan oleh pemerintah.

“Sehingga ini menjadikan problem pada dunia perberasan kita. Harga gabah menjadi turun karena tidak terserap. Selain itu ketersediaan pangan bisa terancam karena cadangan beras di Bulog mengalami penurunan kualitas atau busuk,” tandas Dedi. 

Komentar