Jumat, 26 April 2024 | 18:40
OPINI

Daeng Soetigna Bapak Angklung Indonesia

Daeng Soetigna Bapak Angklung Indonesia
Daeng Soetigna

Artikel ini dipersembahkan untuk sohib baik saya Dr Sam Askari Soemadipradja.

Angklung adalah sebutan bagi alat musik yang terbuat dari bambu. Ada yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari dua kata bahasa Bali yaitu ANGKa (artinya nada) dan LUNG (artinya patah/putus), karena memang alat ini berbunyi dengan suara terputus-putus karena digetarkan.

Sementara itu di Sunda, istilah ini dianggap berasal dari kata ANGkleung-angkleungan (artinya gerakan bergoyang) dan KLUNG (bunyi bambu dipukul). Salah satu keistimewaan angklung adalah, alat ini harus dimainkan beramai-ramai oleh banyak orang. Hal ini membuat angklung sangat cocok untuk melatih kekompakan dan disiplin dalam suatu kelompok.

Saat ini, makin banyak pelatihan motivasi yang menggunakan angklung sebagai medianya. Selama ini bangsa Indonesia mengenal Daeng Soetigna sebagai pencipta angklung yang seperti kita kenal saat sekarang ini.

Pria asal Garut kelahiran 13 Mei 1908 dinobatkan sebagai pencipta angklung diatonis. Sekitar tahun 1930-an, Pak Daeng sedang menjadi guru di HIS (sekolah dasar zaman Belanda) di Kuningan Jawa Barat, dan bertugas mengajar Seni Musik.

Alat yang dipakai waktu itu diantaranya: Mandolin, biola, atau piano. Semuanya dibawa dari negeri Belanda, sehingga jumlahnya terbatas dan harganya mahal. Dengan demikian, Pak Daeng ingin sekali mencari alternatif alat musik yang lebih mudah dan murah.

Inspirasi datang ketika ada dua orang pengemis memainkan lagu cis kacang buncis di depan rumah Pak Daeng dengan memakai angklung. Pak Daeng sangat tertarik dan langsung membeli angklung dari pengemis itu. Angklung tersebut bernada pentatonis (nada tradisionil sunda).

Padahal, agar dapat digunakan untuk mengajar seni musik barat, maka diperlukan alat musik bernada diatonis. Karena itulah Pak Daeng bertekad membuat angklung diatonis.

Pak Daeng kemudian bertemu dengan Pak Djaja, seorang empu pembuat angklung yang mumpuni. Walau sudah tua dan sebelumnya hanya tahu musik pentatonis, Pak Djaja dengan senang hati membantu Pak Daeng membuat angklung diatonis. Atas kerjasama mereka berdua, terciptalah alat musik pribumi yang mudah dibuat, dan murah. Hal itu terjadi pada tahun 1938.

Selanjutnya Pak Daeng mengajarkan angklung diatonis ini pada anak didiknya di kepanduan. Dengan sabar Pak Daeng melatih mereka sehingga musik angklung bisa ditampilkan dengan sangat apik. Delapan tahun kemudian, pada saat pertemuan perjanjian Linggarjati tahun 1946, presiden Soekarno meminta Pak Daeng dan anak asuhnya untuk tampil memberi hiburan.

Merekapun membawakan lagu-lagu Indonesia modern dan Belanda dihadapan para utusan, dan membuktikan bahwa alat musik tradisionil Indonesia kini mampu berkiprah di musik Internasional, sekaligus mengangkat harkat alat musik angklung dari alat musik pengemis, ke alat musik konser antar negara.

Prof. Dr. Oteng Sutisna, MSc. (guru besar IKIP Bandung) menulis makalah berjudul "Musik Angklung Padaeng Sebagai Alat Pendidikan Musik". Sejak itulah istilah Angklung Padaeng melekat sebagai nama bagi angklung diatonis yang diciptakan oleh Daeng Soetigna.

Pada zaman Belanda berkuasa di Indonesia, angklung sempat dilarang karena dianggap sebagai musik rakyat yang bisa mengobarkan semangat pemberontakan. Ditengah-tengah kondisi itulah, Daeng Soetigna mulai mengajarkan angklung kepada para pandu muda di HIS Kuningan.

Setelah zaman revolusi tahun 1945, terbukti bahwa para pandu ini menjadi pejuang dan menggunakan angklung sebagai hiburan bagi para gerilyawan Indonesia, dengan melantunkan lagu-lagu perjuangan. Kemudian, beberapa kiprah angklung dalam perjuangan Indonesia adalah:

Pada perundingan Linggarjati tahun 1946 kelompok angklung Pak Daeng menjadi penghibur. Sedikit banyak, mereka berhasil mengurangi ketegangan antara pihak NICA dan RI, sehingga perjanjian tersebut bisa mendapatkan hasil.

Pada Konferensi Asia–Afrika pertama tahun 1955, kembali kelompok angklung Pak Daeng menunjukkan kebolehannya di hadapan para delegasi manca negara. Karena begitu khas Indonesia inilah, angklung menjadi salah satu barang wajib yang harus ada di kedutaan luar negeri Indonesia, dan sering menjadi duta kesenian dalam berbagai acara antar negara.

https://www.youtube.com/watch?v=mmmZbTc1eiw

Mang Ucup

Menetap di Amsterdam, Belanda

Komentar