Jumat, 03 Mei 2024 | 06:59
NEWS

PTTEP AAA Pertimbangkan Banding Kasus Tumpahan Minyak yang Dimenangkan Petani Indonesia

PTTEP AAA Pertimbangkan Banding Kasus Tumpahan Minyak yang Dimenangkan Petani Indonesia
Ilustrasi hukum (Dok Pixabay)

ASKARA - Pengadilan Federasi Australia memenangkan gugatan 15 ribu petani rumput laut Indonesia terkait kasus tumpahan minyak di lapangan Montara milik PTT Exploration and Production (PTTEP) asal Thailand.

Tumpahan minyak dengan volume sekitar 23,5 juta liter itu mengalir ke Laut Timor dan berdampak hingga ke pesisir Indonesia.

Hakim David Yates dalam putusannya menyatakan bahwa PTTEP, perusahaan migas asal Thailand tidak menyanggah bukti bahwa mereka telah lalai dalam operasinya di ladang minyak Montara. 

Pengadilan Federasi Australis menghukum perusahaan tersebut untuk memberi ganti rugi sebesar Rp252 juta (A$22.500) kepada penggugat utama dari gugatan kelompok (class action) tersebut. Di sisi lain, PTTEP menyatakan pikir-pikir untuk melakukan banding.

"Mengacu pada gugatan terhadap PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEP AAA) di pengadilan Federal Australia yang diajukan oleh sekelompok  petani rumput laut Indonesia, yang menuntut ganti rugi atas kerusakan tanaman rumput laut mereka yang disebabkan oleh insiden Montara pada tahun 2009 di Perairan Australia. Pada 19 Maret 2021, hakim Pengadilan Federal Australia telah memberikan keputusan terhadap gugatan kelompok tersebut," ujar pihak PTTEP, dalam keterangan tertulis, Sabtu malam (20/3).

"PTTEP AAA akan mempertimbangkan dengan bijak putusan tersebut serta jalur banding yang tersedia untuk itu," lanjutnya. 

Sementara sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan menyambut baik putusan pengadilan federal Australia di Sydney yang memenangkan gugatan 15 ribu petani rumput laut dan nelayan NTT itu pada, Jumat (19/3).

Dalam putusannya, hakim mengatakan bahwa tumpahan minyak tersebut menyebabkan kerugian secara material dan menyebabkan kematian serta rusaknya rumput laut yang menjadi mata pencaharian para petani.

Menurut Luhut, langkah proaktif pemerintah dalam mendukung masyarakat NTT akhirnya membuahkan hasil. 

“Ini berawal dari pembentukan Satuan Tugas yang kami bentuk pada Agustus 2018. Satgas yang saat itu dipimpin Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim saat itu, Saudara Purbaya Yudhi Sadewa langsung bekerja untuk menyatukan pandangan pemerintah dan nelayan di Laut Timor yang menjadi korban tumpahan minyak tersebut,” kata Luhut. 

Luhut mengatakan, pemerintah langsung mengumpulkan data dan bukti yang dibutuhkan agar kami punya dasar yang kuat di pengadilan. 

“Setelah itu Satgas datang berdialog dengan otoritas terkait tentang kasus ini serta mendukung secara maksimal gugatan yang diajukan masyarakat NTT ke pengadilan federal Australia,” ujar Luhut.

Data yang dikumpulkan Satgas untuk menjadi dasar tuntutan tersebut adalah data dari citra satelit LAPAN, data sampel minyak di Pulau Rote, data kualitas air serta data dari dampak kerugian sosial ekonomi yang ditanggung masyarakat di wilayah Timor Barat. 

Satgas juga membantu koordinasi pengiriman ahli-ahli dari lembaga peneliti terkemuka di Indonesia untuk menjadi saksi di sidang pengadilan di Australia.

Diketahui, kasus ini berawal dari tumpahan minyak yang terjadi pada pada 21 Agustus 2009 saat anjungan minyak di lapangan Montara milik perusahaan asal Thailand, PTTEP) meledak di lepas landas kontinen Australia. 

Tumpahan minyak dengan volume lebih dari 23 juta liter mengalir ke Laut Timor selama 74 hari. Tumpahan minyak itu juga berdampak hingga ke pesisir Indonesia. Luas tumpahan diperkirakan mencapai kurang lebih 92 ribu meter2. Satgas menemukan ada 13 kabupaten di NTT yang terkena dampak dari kasus Montara.

Komentar