Jumat, 26 April 2024 | 10:45
TRAVELLING

Catatan Perjalanan

Gunung Kawi yang Gila

Gunung Kawi yang Gila
Puncak Gunung Kawi (Dok Yanni)

ASKARA - Gunung Kawi yang terkenal dengan legendanya sebagai tempat pesugihan, membuat banyak orang ogah mendatanginya. Padahal yang dipakai orang ritual itu hanyalah di kaki gunungnya, di Desa Balesari, Kecamatan Ngajum yang sering disebut sebagai basecamp Keraton. Di tempat itu, terdapat tempat ibadah semua agama yaitu Hindu, Islam, Kristen, Budha, yang datang pun dari beberapa daerah.

Menurut saya, pemahaman selama ini tentang Gunung Kawi sudah salah kaprah. Bila kita berdoa dan memohon dengan benar dan sungguh-sungguh, dimana pun juga akan dikabulkan.

Gunung Kawi yang menurut sejarah memiliki nama kuno Kawitan. Kawitan berarti asal mula, bapa-biyung (Jawa, Bali, Sunda), Ibu-Bapa (Banjar), mungkin banyak lagi daerah yang memberikan arti yang hampir sama.

Asal mula manusia adalah Tuhan, Ibu bapa adalah Tuhan yang terlihat di kehidupan nyata. Mengingat asal usul, asal mula diri pribadi dari manakah kita berasal.

Ada beberapa jalur menuju gunung Kawi

1. Jalur pendakian via Keraton (ds. Balesari, Ngajum, Malang)
‌2. Jalur pendakian via Buthak
‌3. Jalur pendakian via Batu Licin
‌4. Jalur Pendakian via desa Maduarjo, Ngajum, Malang

Pada tanggal 29-30 November 2020 kemarin, saya mencoba mengunjungi puncak Gunung Kawi via Taman Pakis Maduarjo, Ngajum, Malang.

Awal saya dapat info dari teman, dari jalur ini menuju puncak Batu Tulis hanya 4 jam. Begitu sampai basecamp saat dijelaskan ternyata butuh 8 jam, ampuuun deh. Salah info bray, 4 jam itu info dari kelompok trail run Mantra. Hahaha, sudah telanjur senang, tapi bikin psikologi dikit anjlok juga. 

Kami berangkat berempat, Ediz, Inu, Rinal dan saya. Rinal biasa trail run bawa ransel ultralight 30 liter dengan isi cukup lengkap, Inu biasa tektok tidak bawa barang berat hanya bawa daypack 25 liter, Ediz seorang youtuber review jalur gunung di Jawa Timur, sering juga ajak saya. Ediz dan saya bawa carrier gede, katanya satu bagaikan bawa kulkas, satu bawa lemari. Apa mau dikata semua tetap harus dijalani, sudah terlanjur basah.

Ada yang unik di sini, dilarang mendaki dengan jumlah ganjil, misal 3, 5 dan seterusnya.. Bukan tidak boleh naik, bukan juga harus meninggalkan 1 teman. Jadi ada cara simbolis yang harus dilakukan kalau jumlahnya ganjil, yaitu sebelum sampai di pos 1, salah satu teman harus digorok (secara simbolis ya, ingat bukan beneran). Ini hanya untuk menjadikan jumlahnya genap. Hanya itu saja.

Kepercayaan masyarakat desa ini, sebaiknya tetaplah untuk menghormati, dan lakukan saja agar selamat sampai tujuan.

Ok, kami mulai trek awal masih datar melewati ladang penduduk dengan berbagai tanaman sayur, lalu masuk hutan pinus milik perhutani, masih kami temukan beberapa tanaman kopi di antara pinus sejauh kurang lebih 500 meter dari basecamp. Di sini jalur sering dilalui mobil maupun motor untuk keperluan pertanian.

Memasuki hutan pinus, trek mulai nanjak tanpa henti, untuk bisa menemukan Pos I, harus berjalan dulu sekitar 2,5 kilometer. Jarak antar pos jauh banget. Jalan sangat licin dimusim hujan. Ini mungkin bisa bikin pendaki putus asa, posnya nggak nemu-nemu.

Sebelum sampai Pos 1 bisa ditemukan pipa paralon bocor untuk nambah perbekalan air, tersedia potongan selang 30 sentimeter untuk mempermudah mengambil air. Habis pakai, kembalikan ke tempatnya.

Saat di lokasi ini, kami beristirahat sejenak, makan siang sembari ngopi, nyusu. Tiba-tiba terdengar dari bawah bunyi hujan, Ediz bertepuk sembari bercanda untuk mengundang hujan. Alhasil dari titik ini kami mulai kehujanan. Padahal saya telah berdoa diberi cerah, begitulah adanya dalam perjalanan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Sebetulnya hujan pun tidak mengapa, karena semua sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Andaikan tidak hujan kan enak.

Lanjut ke pos 2, jarak 1,5 kilometer dari pos 1, berjalan di jalur licin dengan tambahan hujan makin mantap rasanya. Sebelum pos 2 di sini bisa kita temukan paralon bocor kedua, selangnya hilang. Tidak seberapa kelihatan karena paralon bocor ini ditutup dengan potongan paralon lain, tapi jangan khawatir kami sudah memberi penanda adanya air yang bisa kita ambil. Sebagai sumber air terakhir.

Perjalanan ke Gunung Kawi ini memang dengan maksud memasang tanda jalur. Saat Ediz membuat history dalam IG, ada kelompok difabel yang ingin mengunjungi Gunung Kawi ini juga untuk tanggal 1 Desember 2020 dan minta tolong untuk dipasang tanda jalur.

Karena pemasangan tanda jalur, ditambah hujan maka makin lambatlah perjalanan. Alhasil Inu sudah mulai kelelahan, termasuk saya dan Ediz. Akhirnya kami putuskan bersama berhenti pada Pos 2 dan buka tenda. Karena infonya hanya di Pos 2 ini yang lumayan lebar, bisa 5-6 tenda kapasitas 4 didirikan. Setelahnya pos 3 yang hanya muat 2 tenda kapasitas 2, dan puncak Batu Tulis yang cukup nyaman dan lebar bisa menampung 10-15 tenda kapasitas 4.

Area camp sebetulnya masih penuh, berdasar pengalaman jarak antara satu pos ke pos lain sangat jauh, dengan hujan gerimis rapat maka kami memilih berhenti dan menunggu ada pendaki yang membongkar tenda mereka. Kami harus cepat memasang flysheet darurat lebih dulu menghindari hujan sambil menunggu agar tidak makin kedinginan. Ada sekitar 20 orang dengan 5 tenda yang kami temukan pada hari Minggu itu. Dan mereka semua berencana turun.

Sekitar pukul 17-an baru kami bisa mendirikan tenda, segera bebersih diri, makan malam, ngobrol sebentar lalu pulas dalam tidur. Gunung serasa milik kami berempat. Sunyi, sepi hanya terdengar beberapa suara binatang dan angin kencang di kejauhan.

Pagi hari Senin, 30 November pada pukul 7.45 bersiap summit. Kami hanya membawa daypack berisi air dan snack serta barang berharga saja. Perjalanan dimulai, langsung nanjak tanpa henti. 1 kilometer kemudian baru kami temukan pos 3, aaah benar infonya bahwa area camp hanya menampung 2 tenda saja.

Vegetasi beragam, ada pinus, pohon besar-besar lainnya. Di daerah ini tiba-tiba saya temukan sekelompok edelweiss yang berbunga malu-malu, dan baru kali ini saya temukan jenis pohon kaliandra dengan bunga kuning.

Kami lanjutkan untuk summit, waow setelah pos 3 inilah tantangan baru dimulai, tanjakan nyata makin menyiksa, licin pula. Tanjakan yang membuat lutut bertemu dada dengan jarak langkah cukup tinggi... nikmat rasanya. Jadi kebayang, rencana awal kami ingin camp di puncak Batu Tulis, betapa menyiksanya ini, bisa-bisa kami terguling-guling jatuh berkali-kali dengan bawaan kulkas dan lemari.

Jadi keputusan yang tepat untuk camp di Pos 2. Tanjakan makin licin tanpa ada bantuan, untung saya sudah membawa 2 gulung webbing meski murahan masing-masing hanya lima meteran, segera saya pasang di titik-titik yang riskan. Ternyata sebetulnya sangat kurang panjangnya, tapi cukup membantu kata kawan-kawan yang di belakang.

Tanjakannya bener-bener "pedes" kawan. Konsentrasi penuh dibutuhkan menuju gunung ini di musim hujan.

Lanjut, berarti setelah pos 3 adalah puncak, tapi kenapa tidak sampai-sampai ya?? Tanjakan licin membahayakan ini, membuat perjalanan kami sangat lambat selain tetap pasang tanda jalur. Tanjakan "pedes" membuat Inu menyerah, dan berhenti untuk kembali ke camp kami. Keputusan bijak, dalam mengukur kemampuan dan mengalahkan ego diri sendiri. Padahal untuk mencapai puncak kurang 10 menit. Apalagi setelah pos 3 ini, gerimis dan kabut yang syahdu menemani perjalanan kami.

Yang pertama sampai di puncak Batu Tulis dengan ketinggian 2.603 mdpl adalah Rinal (dari Mantra trail run), 40 menit kemudian baru saya, dan disusul oleh Ediz (youtuber review gunung). Ternyata setelah melihat maps, jarak antara pos 3 menuju puncak sebetulnya hanya 700 meter. Tapi waktu yang kami butuhkan cukup lama karena tanjakan licin dan hujan.

Di area puncak terdapat gundukan tanah, dengan susunan batu. Ada satu batu memanjang yang sudah terbelah jadi 2, dan di situ ada ukiran aksara yang sayangnya sudah tidak terlalu jelas. Artinya apa? Saya juga tidak tahu, tidak bisa membacanya.

Setelah berswafoto, kami menuju gundukan punggungan lain. Jaraknya tidak jauh, tinggal turun nan nanjak sedikit. Ternyata ini namanya puncak Sanimin. Gunung Kawi punya beberapa puncak, karena perhitungan waktu dan cuaca, perjalanan kami cukupkan hingga titik ini. Dan kami segera kembali.

Luar biasa indah, bila cuaca cerah tampak di kejauhan megahnya puncak Semeru, Arjuno dan Welirang. Sayangnya saat itu kami disambut kabut dan gerimis.

Kami segera turun, sudah terbayang sulitnya naik tadi, alhasil turun akan lebih sulit. Sayapun sempat terpeleset 1-2 kali. Jarak pijakan yang melebihi jangkauan panjang kaki, membuat sulit menghindari terpeleset. Dan hujan makin rapat, deras. Ternyata sungguh bersyukur hujan membantu menghilangkan sebagian lumpur licin.

Tapi jangan khawatir, semua hal yang kami rasakan, sudah kami sampaikan pada pihak basecamp, misal untuk memperpendek jarak antar pos, karena bagi sebagian pendaki menemukan pos pemberhentian dalam perjalanan, serasa menemukan surga. Saran lain pada basecamp menambahkan webbing, atau tali pada titik-titik rawan.

Saran, bila area pos 2 ada tempat kosong, pos inilah paling tepat menjadi pilihan tempat camp, agar summit lebih ringan dan cepat 

Semoga setelah perjalanan kami yang diunggah pula pada youtube Maz Ediz, akan memberikan informasi petunjuk yang baik untuk siapapun yang ingin mengunjungi Gunung Kawi ini. Dan semoga makin banyak yang berminat, dan mengingat pada asal muasal diri pribadi.

Merubah mindset tentang pesugihan yang sudah puluhan tahun tertanam, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi bukan tidak mungkin. Ingatlah Gunung Kawi, sebagai Kawitan punya arti asal mula, asal usul pengingat diri pribadi tiap insani.

Tidak perlu dihubungkan dengan spiritual, secara logika nyata saja, seharusnya memang kita berpikir tentang asal muasal, tentang sejarah kita sendiri, bahkan mungkin sejarah negeri yang sama-sama kita cintai. Mari kita jaga bersama-sama demi kedamaian, kerukunan dalam perbedaan.

Jaga selalu kebersihan, juga kesopanan dalam bicara, bersih hati dan pikiran. Jaga warisan yang ditinggalkan. No vandalisme.

Salam satu jiwa untuk Indonesia, semoga damai sejahtera.

 

 

Gunung Kawi
29-30 November 2020

Komentar