Sabtu, 27 April 2024 | 01:42
OPINI

Who Is The Real Mang Ucup? (Bag. 9)

Di Pelukan Ibu, Tempat Terbaik Untuk Menangis

Di Pelukan Ibu, Tempat Terbaik Untuk Menangis
Mak Anie

Pada hari-hari pertama saya tidak boleh menerima besuk - kunjungan maupun surat dari luar. Rasa lapar masih bisa saya tahan, rasa sakit masih bisa saya derita, tetapi kehilangan rasa kasih inilah penderitaan yang paling berat.

Saya sendiri dahulu tidak pernah bisa menilai betapa berharganya nilai kasih sayang itu. Namum pada saat kita kehilangan atau jauh dari orang yang kita kasihi. Baru kita bisa menghargai betapa besarnya nilai kasih tersebut. Apalagi di dalam di bui, di dalam sel seorang diri yang jauh dari norma kasih.

Tiba-tiba nama saya dipanggil, rupanya ada kiriman untuk saya berupa makanan dan pakaian. Tetapi kenyataannya makanannya hanya tinggal sisa, saja, karena telah dimakan oleh para oknum penjaga disana. Pakaiannyapun sebagian besar telah hilang. Walaupun demikian saya tidak marah, bahkan rasa gembira yang tiada taranya. Kenapa demikian?

Karena bersama dengan paket makanan tersebut Ibu saya Emak Ani, telah melampirkan satu surat yang telah ditulis khusus untuk saya. Apakah anda bisa membayangkan, pada saat dimana kita lagi haus dan merindukan perasaan kasih sayang. Tiba-tiba kita menerima surat dari orang yang kita kasihi. Dengan air mata turun berlinang, dan tangan gemetaran saya membuka surat tersebut. Isinya hanya "tiga" kalimat saja: "Pel, sing tabah, Emak selalu ingat dan selalu berdoa untuk kamu. Emak yakin Tuhan akan menolong kamu. Emak Ani."

Rupanya ditulis dengan tinta dicampur dengan air mata Emak Ani, karena masih terlihat flek noda bekas air mata Ibu diatas kertas surat tersebut. Tulisannyapun pluntat-plentot tidak jelas, tetapi ini adalah hasil tulisan asli tangan Emak Ani. Selama hidup saya belum pernah saya mendapatkan surat dari Mak Anie, jadi ini adalah surat dari Mak Anie yang pertama. Kenapa demikian?

Perlu anda ketahui, Mak Anie tidak pernah mengecap pendidikan sekolah. Jadi secara gamblangnya Mak Anie tidak bisa menulis alias buta huruf. Namun demi kasih sayang kepada anaknya yang sedang menderita. Dan juga untuk menghibur anaknya yang berada di dalam bui. Mak Anie telah berusaha dan berkorban untuk menulis atau lebih tepatnya menggambar huruf demi huruf dan kata demi kata. Sesuai dengan kemampuannya. Dan inipun berdasarkan contoh dari surat yang telah di ditulis sebelumnya oleh adik saya.

Disini terbuktikan, bahwa kasih saya seorang ibu itu hingga kapan tidak akan surut apalagi hilang. Mak Anie tetap mencintai saya, Mak Anie tetap menyayangi saya. Walaupun saya berada di bui sekalipun. Mak Anie pernah ditanya oleh tetangganya, apakah tidak malu punya anak seorang Napi? Ia hanya menjawab bad or good hingga kapan pun juga si Tompel tetap anak Anie.

Tidak ada kesalahan apapun juga di dunia ini yang bisa memisahkan Anie dari si Tompel, karena ia adalah anak darah daging Anie sendiri. Pada saat sang tetangga tersebut menanyakan mengenai puteranya kepada Mak Anie. Ia merasa seperti ditusuk hatinya, karena ia teringat akan penderitaan puteranya yang sedang berada di dalam bui. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan oleh Mak Anie selain berdoa dan membanjiri sorga dengan air matanya. Air mata dari seorang ibu yang sangat mengasihi puteranya.

Setelah saya keluar dari bui, baru saya mengetahui bahwa Mak Anie telah mengorbankan waktu hampir seharian penuh untuk menggambar atau menulis surat tersebut untuk saya. Walaupun Ibu tidak bisa menulis, ia telah memaksakan dirinya dengan segala kemampuannya untuk menulis (menggambar)surat buat saya. Di kemudian hari Mak Anie menceritakan pula kepada saya, bahwa sebenarnya pada saat tersebut Mak Anie telah menitipkan Alkitab untuk saya. Namun di tolak dengan jawaban: "Seorang penipu tidak perlu baca Alkitab!"

Betapa sedihnya dan betapa remuk redamnya hati Mak Anie ketika mendengar perkataan dan hinaan tersebut. Oleh sebab itulah walaupun Ibu buta aksara dan tidak bisa menulis. Namun secara pribadi saya jauh lebih menghargai Ma Anie daripada perempuan para ilmuwan lainnya di kolong langit ini. Keberhasilan saya adalah hasil dari doa dan kasih sayang Ibu. Saya yakin haqul yakin namaku selalu disebut dalam doanya. Namun setelah Mak Anie meninggal. "Who will pray for me when Mama is gone!"

Mak Anie meninggal pada tanggal 5 Februari 2002.bMang Ucup sempat membuat sebuah puisi untuk Mak Anie, untuk mengobati kerinduan Mang Ucup pada Mak Anie.

BUNDA

Masih terngiang nasihatmu kala kita berpisah saat itu I Aku tetap bayimu yang Engkau khawatirkan I Dalam rantau jauh di sana I Engkaulah tambatan gelisahku I Dan tempat aku melabuhkan keresahanku I Saat pagut perpisahan kita, sorot matamu penuh makna dalam sendu I Bujukanmu selalu teruntai dengan rengek manjaku I Kehangatan haribaanmu adalah cerminan sayang dan kasihmu I Di ujung ranjang Engkau menanti, saat aku terlelap bermimpi I Dan lamat-lamat terdengar dendang tidurmu yang kurindu sampai kini.

Ma Anie – ibuku, bunda tercintaku I Kini dalam senyum kau t‘lah terbujur kaku I Walau masih banyak yang ingin kulakukan bersamamu I Tapi waktu telah mengambilmu dari kami, anak-anakmu I Ma Anie – ibuku, bundaku I Istirahatlah kini Engkau telah penat mengasuh kami anakmu I Istirahatlah Ibu, istirahatlah dalam senyummu, senyum kasihmu.

Apakah Anda tahu bahwa ketika saya berada dalam sel di bui, saya telah menerima satu mukjizat yang sangat luar biasa! Mukjizat apa? Bacalah sambungannya. Terlampir foto Mak Anie – Bunda mang Ucup.

Mang Ucup

Menetap di Amsterdam, Belanda

Komentar