Kamis, 23 Mei 2024 | 10:25

Who Is The Real Mang Ucup? (Bag. 7)

Jeger Hideung Berhati Malaikat

Jeger Hideung Berhati Malaikat
Sohib setia Mang Ucup sampai ajal memisahkan kita

Tepatnya pada awal tahun 1989, pada saat tersebut saya sedang lunch di Restoran Taman Sari Hilton Hotel dengan seorang pejabat tinggi. Baru saja saya makan satu sendok, tiba-tiba datang Polisi dengan pakaian preman yang menunjukkan surat perintah untuk menangkap saya.

Saya ditangkap dengan tuduhan, karena memiliki KTP aspal. Dan saya akui, bahwa saya memang bersalah, karena sebagai warna negara Jerman, saya tidak berhak lagi untuk memiliki dan menggunakan KTP Indonesia. Saya dijebloskan ke dalam satu sel tahanan yang ukurannya jauh lebih kecil dari kamar WC saya. Namun dihuni oleh delapan orang. Sel tersebut selain bau juga pengap, karena tidak ada jendela.

Setiap hari kami hanya diberi waktu keluar sel selama 30 menit saja. Kami buang kotoran ataupun kencing di ember dalam sel. Bisa dibayangkan betapa kotor dan baunya sel tersebut. Di sel seperti itulah saya ditahan selama dua bulan. Kami tidur dibawah lantai tanpa alas. Mirip gembel yang tidur di emperan Toko. Perbedaan seperti Langit dan Neraka. Tanpa berkata sepatah katapun juga. Saya terima kenyataan pahit ini dengan tabah. Kata meratap ataupun mengeluh tidak ada di dalam kamus hidup saya.

Selain dingin banyak tikus dan kecoa, saya satu sel dengan seorang pembunuh yang memiliki julukan jeger hideung. Tubuhnya tinggi besar dan penuh dengan tattoo mirip Mike Tyson. Wajahnya benar-benar sangat menyeramkan. Penuh codet bekas luka.

Begitu saya masuk ia menatap saya dengan corong mata seperti juga Singa buas yang mau melahap mangsanya. Betapa tidak saya masuk sel penjara dengan celana putih dan Kemeja sutra warna putih pula. Maklum putih merupakan pavorit warna pakaian saya. Belum juga berada lima menit di dalam sel, saya langsung digebug dan dihajar oleh si Jeger.

Apakah saya diam dan mau menerima nasib seperti itu? Apakah mang Ucup tidak takut dibunuh olehnya? No Wey lah, walaupun badan saya jauh lebih kecil. Saya tidak mau terima diperlakukan seperti demikian. Masalahnya hal ini menyangkut harga diri. Saya lebih baik kehilangan nyawa daripada kehilangan harga diri ! Saya langsung balik Nonjok dia, sehingga terjadilah perkelahian.

Bahkan akhirnya saya dikeroyok oleh dua orang napi lainnya lagi yang merupakan anak buanhya Jeger. Saya jatuh berkali-kali dengan kemeja yang berlumuran darah, tetapi go on fighting and never surrender!

Akhirnya kami dilerai oleh sipir penjaga tahanan. Selainnya babak belur Gigi sayapun copot satu, karena dikeroyok oleh para preman. Apakah saya marah? Tidak, karena saya berusaha untuk selalu perfikir positif. Tidak mungkin orang itu mau menghajar saya kalau tidak ada sesuatu yang mendorong dia untuk melakukan hal ini.

Ternyata benar! Jeger ini sering keluar masuk penjara, karena kasus perampokan, sehingga akhirnya ia membunuh salah satu korbannya. Terakhir kali Jeger merampok, karena istrinya mau melahirkan bayi pertamanya. Sedangkan dia selain tidak memiliki uang, pekerjaan pun tidak punya. Hal inilah yang membuat dia jadi stres dan membuat ia juga, jadi nekad!

Tengah malam saya mendengar suara mengendap-ngendap orang mendekati saya. Rupanya Jeger tersebut, otomatis timbul pikiran jangan-jangan. Siapa tahu ia mau bunuh saya? Rupanya Jeger melihat ketika saya tidur pada malam tersebut dalam keadaan menggigil kedinginan, karena kelelahan. Lagipula seharian belum makan. Disamping itu kemeja saya rusak tecabik-cabik, ketika berkelahi.

Dengan perlahan dan lembut ia berusaha untuk menyelimuti saya dengan sarung satu-satunya yang ia miliki. Walaupun demikian saya pura-pura sedang tidur nyenyak. Pada saat itu saya merasa Tuhan telah mengirimkan Malaikatnya untuk menghibur saya. Maklum pada hari pertama saya di bui, saya merasa sangat kesepian dan haus akan belaian kasih sayang. Saya merasa dijauhi oleh begitu banyak orang.

Rasanya satu hal yang tidak mungkin bisa kita dapatkan di dalam Bui ialah rasa kasih. Apalagi dari seorang pembunuh. Teringat oleh saya ketika masih kecil, Emak Anie selalu menyelimuti saya di malam hari. Hal yang serupa sekarang dilakukan oleh seorang pembunuh yang sebelumnya menggebuki saya sampai babak belur. Tanpa bisa ditahan lagi turun air mata saya berlinang keluar. Dengan doa thanks God!

Disinilah terbuktikan bahwa setiap manusia memiliki sisi baiknya juga. Oleh sebab itulah saya selalu berusaha untuk berpandangan positif, walaupun terhadap seorang pembunuh sekalipun juga. Saya percaya Tuhan akan memakai orang untuk berbagi kasih dengan kita, tanpa bisa kita duga sebelumnya. Bahkan seorang pembunuh sekalipun bisa dirubah menjadi Malaikat oleh Dia! Amin.

Esoknya saya langsung menyuruh sekretaris saya untuk menyantuni istrinya Jeger. Saya menyantuni mereka setiap bulan, bahkan biaya melahirkan di rumah sakit pun ditanggung sepenuhnya oleh saya. Ketika Istrinya melahirkan seorang putera. Jeger memberikan nama Jusuf kepada puteranya. Sebagai ucapan rasa terima kasih dan juga merasa bangga memiliki seorang sahabat seperti JR.

Apakah Mang Ucup di siksa di bui? Apakah anda tahu, bahwa makanan di bui saat ini hanya layak untuk dijadikan makanan hewan? Bacalah sambungannya. Maturnuwun sanget berkah dalem.

Mang Ucup

Menetap di Amsterdam, Belanda

Komentar