Jumat, 17 Mei 2024 | 11:06
COMMUNITY

Rumah Kos Bekas Pesugihan (8)

Rumah Kos Bekas Pesugihan (8)
Ilustrasi. (Joachimart)

ASKARA - Minggu pagi, kita kembali ke rumah kos. Rumah ini tumben-tumbenan sepi, biasanya kalau Minggu begini Ani dan Ifa suka senam di depan teras. Apa mungkin mereka belum bangun? Atau mereka sedang pergi? Muh memarkir motornya dan aku turun tanpa menunggu Muhammad aku langsung masuk ke dalam rumah.

Pintu dibiarkan terbuka sementara tidak ada satu manusia pun yang terlihat di rumah ini. Aku berjalan menuju kamarku. Sampai di depan kamar Sigit, kuhentikan langkahku. Ifa dan Ani berkumpul di kamarnya Sigit. Dari balik pintu yang terbuka aku mengintip mereka.

"Heh kalian ngapain ngumpul di kamarnya bang Sigit?"

"Ini, dia lagi sakit. Muh mana?"

"Itu masih di luar markir motor," ujarku sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya Sigit. 

"Bang Sigit sakit apa?"

"Meriang," jawab Ani tanpa melihatku dan hampir tak mempedulikanku. 

"Udah dibawa ke dokter?" 

"Belumlah, nanti aja biar dianterin sama Muh," sahut Ifa.

Sigit tampak menggigil di dalam selimut, badannya berkeringat dan keningnya di kompres air es oleh Ani. Sesekali dia bergumam.

"Lah itu Sigit kenapa?" tanya Muh yang tiba-tiba masuk.

"Sakit meriang. Muh nanti anterin dia ke dokter ya," jawab Ifa.

"Kalian ganti jagain dia, kita mau pergi ada urusan," sahut Ani.

"Kalian mau ke mana?" tanyaku.

"Pergi belanja bulanan. Ayo Fa keburu tambah siang, tambah panas nanti," ujar Ani.

Ifa dan Ani pun pergi. Sementara Muh duduk di kamarnya Sigit dan aku masuk kamar dan mandi. Setelah mandi aku kembali ke kamarnya Sigit. Eh sigit udah duduk aja. Lagi ngobrol sama Muh.

"Udah sehat bang?" tanyaku. Sigit menganggukkan kepalanya. Wajahnya masih pucat dan kelihatan lemas.

Dia duduk bersandar di dinding dengan punggungnya yang diganjal oleh bantal.

"Heh bang jangan sakit," ujarku sambil duduk di ujung tempat tidur.

"Buruan sembuh, jomblo itu gak boleh sakit. Percuma sakit gak ada yang nyayang."

"Nah bener banget itu kata Subuh," sahut Muh.

"Heh mulutmu itu belum pernah ditabok sama uang segepok ya ha? Berapa harga mulutmu kasih bandrol, aku bayar. Enteng banget kalau ngomong," ujar Sigit, kesal.

"Tadi malam aku ditakutin hantu, ya Allah serem banget."

Aku dan Muh saling melempar pandang. "Di mana?" tanya kami bersamaan.

"Depan rumah, pulang main. Jam dua malam. Habis markirin motor, pas mau masuk ke rumah ada bau amis. Aku cariin tuh bau, kali aja ada bangkai tikus mati di rumah. Pas di samping rumah deket sumur ada perempuan duduk di bibir sumur. Aku kirain si Ifa, terus aku deketin itu perempuan. Pas deket ternyata hantu cuk... mukanya rusak. Hi... serem banget anjir."

"Hantunya masih tua apa udah muda?" tanyaku.

"Kebalik goblok," sahut Muh sambil memukul kepalaku.

Aku meringis sambil mengusap kepalaku. "Hantunya udah tua apa masih muda? Nenek-nenek bukan?"

"Ya mana aku tau itu hantu masih muda apa udah tua, mana sempet merhatiin, udah takut setengah mati aku. Pas lihat mukanya langsung lari jumpalitan sampe lemes gila, gak bisa ngomong. Ditanyain Ifa sama Ani."

"Ah bang kau ini muka sangar, badan gede. Sama hantu aja takut," ujarku.

"Emang kau gak takut Buh?" tanya Sigit.

"Ya takut sih," jawabku sambil nyengir kuda.

"Yaudah, istirahat kau biar cepet sembuh, nanti aku anterin ke dokter," ujar Muh.

"Gak usah, aku takut disuntik. Kalian berdua kemarin pada ke mana sih."

"Kita habis dari Tulungagung ke rumah pamannya bang Muh nanyain..." belum sempat aku menyelesaikan omonganku Muh menginjak kakiku. Sepertinya dia tidak ingin aku membicarakan yang kita lakukan kemarin. Sigit menatapku penasaran. "Apa?" tanyanya.

"Kemarin aku ngajakin Subuh ke Tulungagung jenguk pamanku sakit," sahut Muh.

"Yaudah sana kamu istirahat. Ayo Buh keluar biarin Sigit tidur, jangan gangguin dia mulu." Muh beranjak dari tempat duduknya dan menarik tanganku. Dia menutup pintu kamarnya Sigit. 

"Bang kenapa abang bohong?"

"Stt... ayo keluar!" Muh menarikku tanganku lagi dengan sedikit kasar menyeretku ke luar rumah. Ah udah berasa kayak kambing aja aku di seret-seret mulu sama ni orang .

"Jangan ngomong yang aneh-aneh sama Sigit, Ifa dan Ani, ngerti?"

"Kenapa?"

"Nanti mereka takut, kan semuanya belum pasti bener. Nunggu kabar dari pamanku aja."

Aku mendengus dan memutar bola mataku. "Ya baiklah," ujarku. 

Muh menepuk bahuku. "Yaudah aku mau istirahat dulu. Capek, ngantuk aku." 

Dia melangkah masuk ke dalam rumah dan meninggalkan aku di teras sendirian. 

Sumur. Karena cerita Sigit aku jadi penasaran dengan sumur itu. Kupakai sendalku dan pergi ke samping rumah. Sumur ini ditutup oleh seng dan menyisakan sedikit lubang kecil. Aku menarik seng yang menutupi sumur, kuturunkan seng itu . Sambil duduk di bibir sumur, aku melihat ke dalam sumur itu. Ah gak ada apa-apa di sini selain air.

Aku tidak puas hanya dengan melihat dari atas. Di samping rumah dekat jemuran ada galah yang bersandar di tembok. Kuambil galah itu dan memasukannya ke dalam sumur sambil kupegangi ujungnya. Wah sumur ini cukup dalam ternyata. Galah yang panjang ini bahkan belum menyentuh dasar sumur.

September malam ini dingin. Hujan mengguyur dari tadi sore sampai malam belum juga reda. Mungkin hari ini langit sedang patah hati. Di luar angin bertiup kencang, barangkali dia kesal karena terlalu lelah menyampaikan rindu titipan dari jiwa-jiwa yang sedang jauh dengan belahan jiwanya.
Malam ini terlalu dingin melebihi dinginnya sikapmu padaku. Aku enggan ke luar kamar, kunikmati malamku dengan bersantai di atas kasur ditemani buku komik Naruto dan alunan musik dari soundtrack film-film anime dari ponselku.

Dan teman-temanku sepertinya mereka juga enggan keluar kamar. 

Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Pantas saja aku mulai mengantuk. Aku pergi tidur tanpa mematikan lampu kamarku. Semenjak dikelonin setan beberapa hari yang lalu aku gak mau tidur gelap-gelapan. Sebelum tidur aku mengambil air wudhu dan membaca banyak doa. Aku gak mau kejadian beberapa hari yang lalu kembali terulang.

Coba saja kau bayangin. Pas lagi enak-enak tidur meraih mimpi sambil menggambar pulau-pulau kecil di atas bantal tiba-tiba ada tangan dingin memelukmu dari belakang. Atau guling di sebelahmu yang biasanya kau peluk ketika tidur berubah jadi pocong. Pas kamu terbangun saat membuka mata di hadapanmu ada pocong dengan wajah hancur, muka melotot penuh belatung dan keluar cairan hijau berbau busuk sedang kau peluk. Nah itulah yang sering aku bayangin. Makanya aku lebih memilih membuang gulingku ke lantai. Dan merelakan tidur tanpa pelukan.

Aku tertidur lelap, samar-samar terdengar ponselku berdering. Sambil merem aku meraba-raba kasur mencari-cari ponselku. Ani menelponku. Buru-buru kuangkat telponnya.

"Kenapa?"

"Buh kamu udah tidur." Suara Ani bergetar terdengar seperti sedang ketakutan.

"Kamu kenapa? Kok seperti ketakutan?"

"Kamu bisa ke kamarku gak? Plis!"

"Ya baiklah," jawabku. 

Aku melirik jam di ponselku. Ini jam dua dini hari. "Ngapain Ani menyuruhku ke kamarnya," pikirku.

Sampai di depan kamar aku mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara kunci pintu diputar dan beberapa saat kemudian pintu terbuka. Ani segera menarik tanganku masuk ke dalam kamarnya dan segera menutupnya kembali pintunya.

"Kenapa sih?" tanyaku. 

Ani tampak bingung dan ketakutan, tangannya gemetaran. "Woy kenapa?"

"Buh ada yang aneh."

"Apa yang aneh?" tanyaku sambil duduk di kursi.

"Janji dulu jangan cerita sama siapapun, aku malu."

"Iya janji," ujarku sambil mengangkat tangan kananku dan mengacungkan jari tengah dan jari telunjukku. "Ada apa?"

"Sumpah kamu gak akan cerita ke siapa pun?"

Aku menghela nafas. "Iya sumpah." 

"Sumpah demi apa."
 
"Sumpah demi kamu."

"Demi Allah dong!"

"Iya, iya ribet banget sih, jadi cerita apa enggak? Kalau gak jadi aku balik ke kamarku ni, ngantuk aku!". Aku beranjak berdiri dari tempat dudukku. Ani menarik tanganku.

"Iya, iya. Jangan pergi dong."

"Ya habis kamu itu mau cerita aja ribet banget sih, aelah." Aku kembali duduk. 

"Gini Buh," ujar Ani. "Tadi aku pas tidur mimpiin Rio, kita duduk berduaan terus..." Ani menghela nafas dan membasahi bibirnya.

"Terus apa?" tanyaku penasaran. Jujur saja aku tidak tertarik mendengarkan ceritanya Ani.

Mataku ngantuk, ayolah ini masih terlalu malam untuk bercerita tentang mimpi dan kebucinan. Aku ingin dia cepat cerita lalu segera selesai dan aku bisa balik ke kamarku melanjutkan mimpiku.

"Hm... aku..." Ani memutar matanya melihat ke atas langit-langit kamar. Dia terlihat resah. Aku memiringkan kapalaku dan melihat wajahnya. 

"Hey ayo jadi cerita apa enggak?" Kau tau dalam benakku aku mulai gemes, emosi. Ingin rasanya aku meninggalkannya dan kembali ke kamarku. Aku beranjak dari kursi dan menjatuhkan diri ke kasur. 

"Baiklah aku tungguin kau sampai siap cerita," ujarku sambil memejamkan mataku.

"Aku mimpi bercinta dengan Rio," ujarnya.

Mendengar kata-kata bercinta aku langsung membuka mataku, langsung bangun dan duduk. "Terus?" 

"Wah kau ini. Imajinasimu liar sekali saudara sampai segitunya mimpi." Ani menoyor kepalaku.

"Apa yang kau pikirkan ha? Kau pikir aku ini cewek apakah?" ujarnya sedikit tersinggung.

"Lah itu kamu sendiri kan yang bilang." 

"Iya sih, kau tau gak Buh, mimpiku itu seperti nyata Rio grepek-grepek badanku. Yang lebih anehnya lagi pas aku bangun..." Ani berhenti bicara.

"Astaga An, kamu ini lho kalau cerita itu jangan diputus-putus. Kau kira ini cerita bersambung, capek aku dengerin," aku mulai emosi.

"Sabar dong ah, kamu ini jangan uring-uringan gitu dong," ujarnya kesal.

"Ya habisnya kamu ngomong aja pake dicicil."

"Pas bangun tidur aku telanjang." Ani menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.

"Lah kok bisa?"

"Gak tau Buh, kan aku tidur kok rasanya semriwing pas aku bangun aku udah telanjang bulat gak pake baju. Baju sama dalemanku ada di atas kasur terus celanaku ada di bawah di lantai."

"Lah kok bisa?"

"Udah dibilang gak tau ih, padahal pintu juga udah kukunciin, kuncinya aku cabut malah." 

"Kamu enggak ngelindur terus membuka pakaianmu sendiri?"

"Enggak gila, pas tidur itu aku make baju lengkap. Masak iya tidur aku ngelepas bajuku sendiri."

"Ya kali aja, kan kamu bilang tadi kamu mimpi bercinta sama Rio, jangan-jangan kamu ngelindur terus bajumu kamu lepas sendiri. Udah gak usah dipikirin kan gak ada yang masuk ke kamarmu, kamarmu kan kamu kunci. Qur'anmu mana?"

"Di dalam lemari."

"Taruh di meja aja di dekat kamu tidur, udah sekarang jangan mikir yang enggak-enggak. Berdoa sebelum tidur, kalau bisa baca ayat kursi. Udah tidur sana jangan mikir macem-macem, besok kita kerja."

"Ani memegang tanganku. "Eh Buh kamu tidur di kamarku ajalah." 

"Yaudah, ayo tidur!"

Kami pergi tidur. Aku membelakangi Ani. Aku nengok ke arah Ani. Dia sudah memejamkan matanya, gak tau dia udah tidur atau hanya memejamkan matanya. Sementara aku masih terjaga. Aku memikirkan apa yang diceritakan Ani. Sebenarnya ini aneh tapi aku gak mau berbicara hal-hal yang membuatnya takut. "Apa Ani diperkosa genderuwo?" gumamku dalam hati.

Karena aku sendiri tidak tahu, aku tidak ingin menduga-duga. Aku menyisihkan pikiranku tentang Ani, aku memejamkan mataku dan tidur. Kupikir besok saja aku bertanya pada seorang temanku yang paham dengan hal-hal mistis.

Wahyu Pujiningsih
(Pekerja swasta, pencinta alam, tinggal di Madiun)

Sebelumnya:
Rumah Kos Bekas Pesugihan (7)

Komentar