Jumat, 24 Mei 2024 | 21:25
COMMUNITY

Cerbung

Rumah Kos Bekas Pesugihan (6)

Rumah Kos Bekas Pesugihan (6)
Ilustrasi. (Minenews)

ASKARA - Ifa akhirnya kembali juga, dia membawakan kami durian yang sudah dikupas, dia bilang di rumahnya sedang panen durian. Huhu... pesta durian kita hari ini. Ralat, bukan kita tapi mereka, aku gak terlalu suka dengan buah yang berbau menyengat ini, rasanya emang enak tapi baunya membuatku pusing. Selain itu perutku juga gak bisa terlalu banyak makan durian.

"Buh, kok kamu cuma makan sebiji doang?" tanya Ifa.

"Kenyang," jawabku sambil beranjak dari tempat dudukku.

"Mau ke mana kamu?" tanya Ani.

"Ke belakang, mau minum," ujarku.

Aku berjalan ke belakang. Membuka lemari es dan mengambil botol air minum dan kubuka penutup botol lalu kutuangkan ke gelas. Segera kuminum air es ini untuk mengurangi rasa durian dan bau yang sedari tadi memenuhi dinding mulutku. Ah bau ini masih terasa di mulutku membuatku sedikit mual. Baiklah kucoba cara lain. Gosok gigi. Sepertinya cara ini sedikit berhasil menghilangkan bau durian di mulutku. 

Aku teringat dengan garam yang ku beli pagi tadi. Buru-buru aku masuk ke dalam kamar sambil membawa mangkok dan garam. Kutuang garam ke dalam mangkok secukupnya. Aku duduk di lantai sambil menyangga mangku berisi garam dekat di mulutku. Bibirku komat kamit baca doa yang diajari kakekku yang biasanya sering kulakukan ketika sedang berada di gunung. Al Fatihah tujuh kali, Al Falaq tujuh kali, yasin tiga kali dan ayat kursi tiga kali. Dan terakhir Allah Huakbar 21 kali. tanpa bernafas.

Setelah selesai membaca doa aku meniup mangkok berisi garam sebanyak tiga kali lalu menaburkannya di semua sudut kamarku tanpa terkecuali termasuk di bawah tempat tidur.

Matahari mulai bergeser ke barat, langit yang tadinya biru dihiasi awan putih perlahan-lahan berubah menguning dan kemudian menjadi jingga hingga lama kelamaan semakin gelap. Sang mentari kini digantikan oleh sang bulan.

Aku duduk di ruang tamu. Tiba-tiba Ani datang nyamperin aku sambil menenteng buku catatan. Wajahnya ditekuk-tekuk lecek, kusut udah gitu cemberut lagi. Asli makin jelek aja itu orang. Sepertinya dia sedang kesal. Aku menatapnya beberapa menit lalu mangalihkan pandanganku kembali ke acara tv yang sedang kutonton.

Aku gak mau mencari masalah dengan menegurnya. Kurasa itu bukan ide yang bagus karena aku tau Ani itu seperti apa. Dia itu perempuan yang cerewet. Sangat cerewet, apalagi ketika dia sedang dalam suasana hati yang buruk. Sekali ditanya kenapa. Ehm langsung cerita ngomong nyerocos dengan nada tinggi, udah gitu kecepatan ngomongnya 1000 kata per menit, udah kayak kumbang. Dia yang ngomong kita yang ngos-ngosan dengerin dia. Paham enggak, pusing iya. 

"Buh, bantuin ini dong!"

"Apa itu?" 

"Teka teki yang dibuat oleh pacarku. Dia bilang kalau aku bisa memecahkan teka teki yang dia buat dia bakalan ngelamar aku. Haaa... stres aku dari tadi belum bisa mecahin," ujarnya sambil mengacak-ngacak rambutnya. 

"Kalian itu kenapa sih berisik sekali?" ujar Ifa yang tiba-tiba datang.

"Ini si Ani dapet teka teki dari cowoknya. Kalau dia bisa mecahin teka tekinya dia mau dilamar katanya," jawabku.

Ani menganggukkan kepala menatap Ifa kemudian menoleh ke arahku, menatapku dengan penuh harap sambil memelas. Ifa duduk di samping Ani sambil melihat buku catatan milik Ani.

"Buh, Fa bantuin plis bantuin," Ani memelas. "Kumohon". Ani membentangkan tangannya dalam gerakan menyerah. 

"Lalu mungkin kita bertiga bisa memecahkannya bersama? Bagaimana?"

"Yeah tentu saja," ujarku. Ani kelihatan lega mendengar saran itu, lega ada orang lain untuk berbagi masalahnya. Aku mengambil buku cacatan milik Ani dan melihat teka teki yang dibuat pacarnya.

"Aelah ribet banget pacarmu ini An. Mau ngelamar aja harus mecahin teka teki dulu," ujarku.

"Iya, ini kalau gak terpecahkan gak jadi dilamar dong?" sahut Ifa.

"Heleh ini mah modus, bilang aja gak mau ngelamar, pake acara ngasih teka teki. Bikin susah orang aja. Kalau aku jadi kamu An hhmm udah aku tukar tambah ini orang sama cabe. Lumayan buat nyambel daripada bikin susah," kataku kesal.

"Heh kalian ini gimana sih disuruh bantuin malah menghujatku," protes Ani. 

"Tapi bener juga yang dibilang Subuh An. Kalau dia udah niat mau ngelamar kamu, ya udah langsung aja ngelamar, dia dateng ke rumahmu terus ngomong sama orang tuamu. Bukannya mempersulit kamu kayak gini," ujar Ifa.

"Kalian kalau gak mau bantuin ya udah," jawab Ani ketus.

Aku menghela nafas. "Iya-iya dibantuin."

Tantangan terbesar pemecah teka-teki dimulai. Pas lihat tulisannya pusing sendiri, udah jelek kayak cekeran ayam, ruwet lagi. "Hadeh udah otakku imut, kecil, mungil sebesar biji jagung gini disuruh mikir jawaban teka teki ruwet kayak gini, mana mampu. Sungguh aku telah zolim pada otakku," gumamku dalam hati.

"Tolong bantuin ya teman-teman plis," ujar Ani. Aku dan Ifa mengangguk bersemangat. 

"Kita akan mencoba sebaik yang kita bisa An. Beri tahu kita apa yang udah kau uraikan," ujar Ifa.

Perutku tiba-tiba mengeluh akibat terlalu banyak makan sambel dan durian. Aku bersendawa begitu keras sampai membuat Ani terlonjak. 

"Astaga yah kau ini jorok sekali!"

"Maaf gak sengaja," kataku sambil meringis. Aku membasahi bibirku. Menarik nafas panjang dan menenangkan kegelisahan. 

"He man teman, maaf sepertinya aku harus ke kamar mandi sekarang. Ada panggilan alam mendadak."

Ani dan Ifa mengangguk. Dan melihatku berjingkat-jingkat menyeberangi mereka. Aku lari masuk ke dalam toilet dan merenung di dalam sana, sambil nabung bongkahan emas di dalam lubang kloset.

Lagi enak-enak merenung memenuhi panggilan alam, eh tiba-tiba lampu mati. Seketika menjadi gelap gulita, gak ada yang bisa dilihat. Ini benar-benar situasi yang sangat tidak mengenakkan bagiku. Coba banyangin! kamu lagi jongkok di dalam toilet, suasana hening, sepi dan mencekam. Terang aja serem gimana pas gelap coba? Buru-buru kuakhiri acara renungan malam ini, tanganku meraba-raba mencari-cari gayung... hai gayung... ih apaan sih. Kubersihkan sisa-sisa emas dengan air dan buru-buru keluar dari wc. Ih bodo amatlah gak cuci tangan pake sabun.

"Ani... Ifa..." teriakku manggil mereka. Sambil jalan meraba-raba tembok takut nabrak. Gak lama kemudian ada cahaya lilin dan bayangan seseorang yang tak bisa kulihat wajahnya karena cahaya lilin membuat mataku silau. "siapa woy."

"Ani. Udah selesai kamu?"

"Belum. Ifa mana?"

"Ada di luar. Lagi nelpon Sigit."

"Pinjem lilinnya, aku belum cuci tangan."

"Hi jorok banget sih."

"Gimana mau cuci tangan orang sabunnya gak kelihatan." 

Kami berdua jalan ke kamar mandi, Ani memegangi lilin sambil nungguin aku yang sedang mencuci tanganku. Kemudian kami jalan ke luar nyamperin Ifa. 

"Gimana Fa?" tanya Ani.

"Udah katanya bentar lagi mereka pulang. Masih ada urusan. Duh ini ngapain sih pake mati lampu," keluh Ifa.

"Masuk yuk, ngapain juga di luar. Aku mau tidur aja," ujar Ani.

"Iya ayo masuk aku juga mau tidur, ngantuk," sahut Ifa.

"Udah jam berapa sih ini?" tanyaku.

Ani menghidupkan ponselnya. "Sekarang udah jam sembilan malam. Ayo tidur aja, besok kan kerja," kata Ani.

Kita pun masuk ke dalam rumah. Dan masuk ke dalam kamar masing- masing. Aku membawa masuk lilinnya dan meletakkannya di lantai. Sejak kejadian kemarin malam, aku gak mau tidur gelap-gelapan. Guling yang biasanya aku peluk saat tidur kubuang ke lantai. Entah kenapa setelah sekian lama tidur selalu pake guling, baru kali ini punya pikiran pas aku tidur gulingnya berubah jadi pocong.

Sebelum tidur aku menyempatkan membaca doa, kali ini bukan cuma doa tidur yang aku baca tapi juga ayat kursi. Semoga tidurku malam ini nyenyak gak digangguin hantu ataupun mimpi buruk. 

Aku terbangun dari tidurku, listrik udah kembali menyala. Srek... srek... Samar-samar aku mendengar suara orang sedang menyapu. "Siapa sih malam-malam selalu nyapu? Rajin amat," gumamku. 

Aku beranjak dari tempat tidurku. Rasa penasaranku mulai muncul, aku takut. Tapi rasa takutku kalah dengan rasa penasaranku. Aku keluar dari kamar jalan ke depan, kubuka pintu. Di parkiran, motor Muh belum ada berarti Muh dan Sigit mereka belum pulang.

Aku menoleh ke kiri, ke kanan melihat ke sembarang arah mencari-cari orang yang sedang nyapu. Di depan pintu gerbang aku melihat sosok nenek yang dua hari lalu aku sapa. Sama seperti saat pertama kali aku melihatnya. Dia berdiri di depan gerbang, kali ini sambil memegang sapu. Aku memakai sendalku dan jalan pergi nyamperin nenek itu. 

"Malem nek," sapaku. Nenek itu berbalik ke arahku. Sambil memegang sapunya.

"Nek, nenek ngapain tengah malam nyapu? Ini masih jam 12 malam loh nek." Nenek itu diam tidak menjawabku.

"Ayo nek saya anterin pulang!"

"Tidak usah nak, nenek bisa pulang sendiri," ujarnya. 

Nenek itu berbalik lalu melangkah pergi. Aku berdiri di balik pintu gerbang. Aku menghelas nafas dan menggelengkan kepalaku. "Kasihan sekali nenek itu, dia udah benar-benar pikun,' gumamku lirih. Aku terus melihat nenek itu, dia berjalan melangkahkan kakinya perlahan-lahan. Duh aku gak tega kalau dia pulang sendirian meski dua hari yang lalu dia bilang rumahnya dekat. Kubuka pintu gerbang, aku nyusulin nenek itu dan bermaksud mengantarnya. 

"Nek!" panggilku.

Nenek itu berhenti berjalan. Sepertinya dia menungguku. Baru aja niat mau ngomong 'mari nek saya antarkan pulang aja sampai rumah'. Eh nenek itu berbalik ke arahku. Pas aku lihat wajahnya, mukanya jadi hancur. Astaghfirullohalhadzim, aku langsung berhenti dan langsung memejamkan mata. Berdiri mematung di tempatku. Kau tau aku sangat ketakutan meski sejak kecil aku sudah sering melihat hantu tapi masih aja takut. Detak jantungku berdetak begitu kencang. Badanku kaku dan gemetar sementara otakku seperti tiba-tiba berhenti berfungsi.

Aku terus berdiri mematung di tempatku. Mataku masih kupejamkan erat-erat. Ada tangan yang memegang pundakku sebelah kiri, "Buh?" suara laki-laki yang tak asing di telingaku. Aku tetap diam dan memejamkan mataku. "Buh, heh Buh, Subuh." Kini pundak kananku juga dipegang olehnya. Badanku diguncang-guncang. "Buh! Heh. Yu, Wahyu buka matamu!" terdengar suara laki-laki berbeda memanggil namaku. 

Aku memberanikan diri membuka mata. Di hadapanku berdiri Muh dan Sigit dan motor mereka yang terparkir di tengah jalan. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Aku mencoba mengatur detak jantungku yang tak beraturan. Rasa takut membuatku gak bisa mendengar suara motor mereka. Aku melihat ke sembarang arah mencari nenek menyeramkan yang kulihat tadi. Namun dia udah gak ada.

"Heh ngapain kamu malam-malam berdiri di luar rumah? Sambil merem lagi." Perkataan Muh membuyarkan lamunanku. 

"Gak, gak papa," jawabku gugup. 

"Heh kamu itu kenapa sih? Aneh banget. Seperti orang ketakutan, sampai keringetan kayak gitu," ujar Sigit.

"Gak kok. Gak papa," jawabku. Aku langsung masuk ke dalam, lari ke rumah dan melepaskan sandalku di teras lalu lari masuk ke dalam kamar meraih botol air minum dan menenggaknya. Aku gak mau menceritakan tentang apa yang baru saja aku alami. Aku gak mau membuat teman-temanku ketakutan.
Terdengar suara Muh dan Sigit memasuki rumah. Beberapa menit terdengar suara teriakan. Aku melompat dari tempat tidurku dan keluar kamar. Sigit dan Muh sedang berdiri di depan kamar Ifa sambil mengetuk-ngetuk pintu. 

"Fa... Ifa!" ujar Sigit sambil terus mengetuk pintu kamar Ifa. 

"Kenapa bang?" tanyaku.

"Gak tau," jawab Sigit singkat. 

Aku dan Ani berdiri di belakang ngelihatin mereka. Beberapa menit kemudian Ifa membuka pintu. Ifa keluar dengan badan yang penuh keringat

"Heh kenapa kamu teriak-teriak?" tanya Muh

"Aku ketindihan, ada bayangan hitam gede jatuh jari atas menimpaku. Aku sampai gak bisa gerak." 

"Makanya kalau tidur berdoa, bikin kaget aja," jawab Ani dengan nada kesal. 

"An aku tidur di kamarmu ya malam ini. Plis aku takut," ujar Ifa. 

"Ya udah ayok!"

Ani dan Ifa masuk ke dalam kamar. Sigit dan Muh juga masuk ke dalam kamar mereka masing-masing. Sedangkan aku masih berdiri di sini melihat sekeliling rumah ini. Ada apa dengan rumah ini? Apa mungkin rumah ini berhantu?" gumamku dalam hati. Aku berjalan masuk ke kamarku. Duduk di atas tempat tidurku.

Ini aneh, pertama Muh yang ketindihan lalu Sigit kemudian Ifa dan mereka bilang ada sosok hitam tinggi besar. Entah mereka sadar atau enggak mereka mengalami hal yang sama.

Wahyu Pujiningsih
(Pekerja swasta, pencinta alam, tinggal di Madiun)

Sebelumnya:
Rumah Kos Bekas Pesugihan (5)

Komentar