Jumat, 17 Mei 2024 | 12:01
COMMUNITY

Cerbung

Rumah Kos Bekas Pesugihan (4)

Rumah Kos Bekas Pesugihan (4)
Ilustrasi. (Bagusviddy)

ASKARA - Pagi menyingsing cahaya matahari masuk melewati celah ventilasi dan menerangi kamarku. Sayup-sayup terdengar suara keributan dari luar kamar. Aku beranjak bangun sambil mengucek-ngucek mataku. Kubuka kunci pintu kamar dan menarik pintu sedikit kasar. Aku keluar kamar mencari sumber suara gaduh yang terdengar sampai ke kamarku. 

Sementara itu di teras rumah Muh dan Sigit celingak celinguk sambil kebingungan seperti sedang mencari-cari sesuatu. Muh berdiri di bawah pohon sambil mendongak melihat atas pohon. Aku menghampiri mereka. Aku mendekati Muh. Aku penasaran dengan apa yang dia lihat, aku pun ikut mendongak melihat ke atas pohon, namun gak kutemukan sesuatu selain daun dan ranting.

"Lagi pada ngapain sih bang? tanyaku penasaran.

"Lagi nyari monyet," jawab Muh setengah acuh pandangannya masih fokus ke atas pohon.

Aku mengalihkan pandanganku dari pohon dan melihat Muh. "Monyet?" kuulangi perkataan Muh. 

"Iya monyet," ujar Muh sambil menoleh ke samping dan melihatku sambil meletakkan kedua tangannya ke pinggang. 

"Tadi pagi Sigit ngeliat ada monyet di teras." 

"Monyetnya siapa?"

"Hey Muh gimana ada gak?" sahut sigit 

Muh nengok ke Sigit. "Gak ada," ujarnya lalu melihatku lagi." Gak tau Buh monyetnya siapa, mungkin monyet tetangga lepas. Ayo!"

Muh jalan meninggalin aku menghampiri Sigit. Mereka berdua asyik ngobrol sementara aku masih terdiam di tempatku untuk beberapa saat. Kulihat jam di ponselku udah jam 7 pagi. Aku lari masuk ke dalam rumah menuju kamarku kuraih handuk yang kugantung di bekalang pintu lalu pergi ke kamar mandi. Selesai mandi aku keluar rumah bermaksud mencari sarapan di warung soto yang ada di ujung jalan tak jauh dari rumah.

"Mau kemana Buh?" sapa Sigit.

"Mau beli soto, kenapa bang? mau nitip?"

"Enggak, aku nanti sama Muh mau pergi, kamu gak papa di rumah sendirian?" 

"Pergi ke mana? Pergi ke rumahnya Muh ke Tulungagung."

"Balik kapan?"

"Besok. Ani sama Ifa balik kapan?" 

"Balik besok, ya udah pergi aja kalian."

"Kamu gak papa di rumah sendirian? Atau kamu mau pulang kampung juga daripada di rumah sendirian, aku anterin ke terminal." 

"Enggak ah. Aku di sini aja, capek di perjalanan bolak balik." 

"Yakin kamu?" 

"Iya udah pergi aja, jangan kuatir aku udah gede. Yaudah ya bang pergi dulu. Laper aku."

Aku jalan kaki menuju ke warung soto sendirian, ah udah kayak pendekar aja ke mana-mana sendiri, nasib zombi (zomblo bimbang) mah gini amat yak.

Sesampainya di warung sambil nunggu pesenanku jadi, aku ngobrol dengan si pemilik warung. 

"Mbak orang baru ya mbak? Kok saya gak gak pernah lihat," bapak pemilik warung membuka obrolan denganku.

"Iya pak, saya di sini baru tiga hari." 

"Oh tinggal di mana dek?" 

"Itu pak di rumah paling ujung, enam rumah dari sini." 

"Oh rumah yang cat kuning gading itu ya?"

"Nah iya pak, benar sekali."

"Rumah itu sudah lama kosong dek, sudah tiga tahunan. Orang terakhir yang nyewa rumah itu pelanggan saya namanya Pak Asmadi. Beliau enam bulan tinggal di rumah itu lalu pindah setelah istrinya meninggal."

Aku memperbaiki posisi dudukku. "Meninggalnya kenapa pak?"

"Kecelakaan dek waktu jemput anak sulungnya pulang sekolah, di jalan ketabrak truk. Mereka berdua meninggal di tempat dengan sangat mengenaskan. Kaki ibunya kelindes ban truk hancur di bagian pinggang ke bawah. Terus anaknya terlempar."

"Duh kasihan sekali pak. Lalu Pak Asmadinya di mana sekarang pak?"

"Wah saya tidak tahu mbak. Sejak beliau pindah sudah tidak pernah ke sini lagi. Nah ini sudah jadi sotonya, silahkan," ujar si bapak sambil menyodorkan bungkusan soto.

Aku berdiri dan meraihnya. "Berapa pak?" 

"10 ribu mbak." 

Kurogoh saku celanaku dan memberikan uang pecahan 10 ribu ke si bapak. "Mari pak saya pulang dulu."

"Oh iya mbak, hati-hati."

Aku masuk ke dalam rumah. Sepi udah gak ada tanda-tanda kehidupan. Sepertinya Muhammad dan Sigit sudah pergi. Di parkiran cuma ada motornya Sigit. Sepertinya mereka pergi berboncengan.

Sepanjang hari aku menghabiskan waktu nonton tv di ruang tamu. Entah apa yang ada di benakku tiba-tiba rasa penasaranku kambuh saat aku ingin ke kamar mandi dan melewati kamar kosong yang ada samping kamarku. Kubungkukkan badanku. Kuintip  itu dari lubang kunci. Aku berusaha melihat sesuatu yang ada di dalam kamar itu, kututup mata kiriku. Gelap, aku sama sekali gak bisa melihat apapun kecuali warna hitam pekat. Aku sudah berpikir kamar ini aneh sebelum... ya sebelum ... ini.

Di luar gelap. Pukul sepuluh. Tapi mataku masih enggan terpejam, kantuk belum juga menyerangku padahal udah selarut ini. Aku duduk atas tempat tidurku bersandar di bantal sambil membaca komik Naruto favoritku sambil mendengar hentakan musik dari ponselku. Kuraih kaleng susu bergambar beruang yang ada di meja samping tempat tidurku. Clak piss kaleng susu kubuka dan meminumnya.

Bel pintu depan rumah kos berbunyi, kuraih ponselku dan kumatikan musiknya. Aku diam mematung untuk mendengar lebih baik untuk mendengar siapa yang bertamu selarut ini. "Mungkin itu Muh dan Sigit," pikirku. 

Aku bangun dari tempatku dan meletakkan susu yang kupegang di tangan kiriku ke meja. Aku jalan menuju ruang tamu dan menyalakan lampu. Ketika kubuka pintu tak ada siapapun, aku berjalan keluar. Kulihat sekitar rumah, sepi. Gak ada orang sama sekali. Buru-buru aku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Aku kembali ke kamarku sambil memencet tombol saklar yang ada di dinding sebelah kiri.

Aku mendengar suara berisik dari dalam kamar kosong  seperti ada benda jatuh. Aku berhenti dan mematung di koridor. Jantung tiba-tiba memukul-mukul dadaku, perut tiba-tiba teraduk-aduk seperti putaran mesin cuci. Hi... merinding semriwing. "Krak!" terdengar sesuatu seperti menabrak kaca. Aku nengok ke belakang. Ada sekelebatan bayangan hitam tinggi besar "astaghfirullohalhazim," gumamku lirih, langsung kukeluarkan jurus seribu kaki buru-buru masuk ke dalam kamar dan menguncinya.

Jantungku berdetak semakin kencang, nafasku tersengal-sengal, ngos-ngosan. Aku melompat ke atas ranjang dan duduk di pojokan sambil kerudungan selimut. "Duh ada maling," gumamku. Kau tau ini sangat menyeramkan. "BRAK!" terdengar sesuatu dibanting dari dalam rumah. Aku tersentak kaget "astaghfirullohalhadzim". Benakku berpacu di antara dua pilihan; pergi ke jendela, memanjat keluar, jatuh dan berlari menyelamatkan diri. Atau diam di tempat. Ya Allah... tolong ya Allah.

Suasana hening untuk sesaat. Ting tong! Suara bel berbunyi. Aku masih terdiam di tempatku. Ting tong! Suara itu berbunyi lagi hingga tiga kali, otakku semakin tak karuan antara takut dan penasaran. Ah aku benci berada di situasi yang seperti ini. Ketika hati dan otakku tak sejalan. Bel terus berbunyi. Kali ini aku tidak mau menuruti rasa penasaranku meskipun aku sangat ingin melihat siapa orang yang dari tadi terus memencet bel. Bel itu terus berbunyi namun kuabaikan, aku tidak ingin terjadi sesuatu pada diriku, ayolah aku gak mau mati konyol lalu masuk koran dan berita kriminal.

Samar-samar tersengar suara perempuan memanggil namaku. Aku terdiam dan terus mendengarkan suara itu. Yu... Wahyu... tiga kali suara perempuan itu memanggil namaku. Aku ingin beranjak pergi dan melihat siapa yang memanggi-manggilku. Namun rasa takut menahanku, hah. Ya udah aku memilih tetap diam di tempatku, jantungku berdetak makin keras jedak jeduk udah kayak musik dugem, dadaku berasa mau jebol. Aku mengernyitkan telingaku berkonsentrasi mendengar suara perempuan yang terus memanggil namaku. Jidat dan lenganku basah oleh keringat. Hening, suara perempuan itu menghilang. Pip...pip... ponselku tiba-tiba berbunyi, aku tersentak kaget jantungku hampir aja loncat. Kuraih ponselku terpampang nama Ani di layar ponsel. Tanpa menunggu lama aku langsung mengangkat telponnya. 

"Asallamualaikum," ujarku lirik suaraku bergetar. "Waalaikumsalam. Bukain pintunya Wah," ujarnya.

Plong, lega sekali rasanya mendengar suara Ani, aku menghela nafas langsung lompat dari tempat tidur lari ke depan membukakan pintu Ani.

Wahyu Pujiningsih
(Pekerja swasta, pencinta alam, tinggal di Madiun)

Sebelumnya: 
Rumah Kos Bekas Pesugihan (3)

Komentar