Jumat, 17 Mei 2024 | 10:21
COMMUNITY

Misteri Desa Pagadungan yang Hilang

Misteri Desa Pagadungan yang Hilang
Ilustrasi. (Rumis)

ASKARA - Pagadungan adalah sebuah desa yang awalnya terletak di selatan Desa Cigadung, Banjarharjo, Brebes, Jawa Tengah. Konon katanya Desa Pagadungan ini menghilang pada masa penjajahan Belanda.

Cerita mengenai desa misterius ini sudah banyak tersebar di berbagai situs atau blog-blog misteri, namun hampir semuanya hanyalah cerita copy paste yang 99 persen sama.

Untuk yang belum tahu seperti inilah kisahnya:

Menurut legenda dan cerita yang beredar Desa Pagadungan bisa hilang karena ulah sesepuh desa yang sangat sakti.

Saat itu, dikatakan bahwa Belanda sedang menyerang tiga kota yaitu Tegal, Pekalongan dan Brebes, semua warga luntang lantung berlari menyelamatkan diri ke hutan, goa dan gunung kecuali warga Pagadungan yang memilih untuk tetap berada di dalam desa.

Ketika itulah sesepuh desa menaburkan abu yang sudah dibacakan mantra mengelilingi desa. Abu tersebut berguna untuk membuat Desa Pagadungan menjadi kasat mata sehingga Belanda tak bisa menemukannya.

Setelah berhasil "menyembunyikan" desanya sesepuh yang sangat sakti itu memilih untuk keluar dan ikut berperang melawan belanda. Namun nahas ia harus gugur di medan perang. Karena itulah Desa Pagadungan yang sudah terlanjut disembunyikan tidak dapat dimunculkan kembali karena sang empunya mantera telah tewas.

Kurang lebih seperti itulah kisah desa Pagadungan yang banyak tersebar di dunia maya. Namun kali ini sisi lain dari misteri Desa Pagadungan yang diklaim oleh narasumber sebagai kisah nyata.

Tetapi kembali lagi percaya atau tidak semuanya ada di tangan anda. Mari kita mulai... 

Senja itu, ditemani dengan sebatang rokok kretek menara, bapak yang baru saja pulang dari kebun memilih duduk di teras dan menikmati kopi yang telah disediakan ibu.

Aku mendekati bapak dan meminta dipangku, saat itu aku adalah bocah kelas 3 SD yang entah kenapa memiliki ketertarikan dengan cerita-cerita berbumbu mistis. Mungkin aku menganggapnya seperti dongeng.

Bapak pun selalu senang menceritakan kisah-kisah yang beliau tahu, mulai dari Legenda Sepur Panganten, Bumi Cawene, sejarah runtuhnya Jembatan Bantar Panjang, hingga kisah mengenai sebuah desa yang hilang di jaman Belanda, Pagadungan.

"Pak katanya dulu pernah ada desa yang hilang, bener gak sih?"

"Ada, bener," jawab bapak.

"Di mana pak?"

"Sebelah barat Banjar, timur Desa Cigadung," kata bapak lagi setelah menyeruput kopinya.

Dulu ada "budak angon" -pengembala kerbau yang tinggal dengan orang tuanya di Desa Pagadungan sebelum hilang. Pada saat sedang asyik mengembala ia menemukan "mangandeuh leweung" -benalu hutan.

Tidak seperti yang biasanya, benalu hutan ini terlihat berbeda dan juga tumbuh di pohon bambu betung. Karena keanehannya, bocah itu pun penasaran dan memetiknya lalu membawanya pulang.

Tak lupa menggiring kerbaunya masuk ke kandang, setelah itu ia langsung masuk ke rumah. Bocah itu tidak langsung makan meskipun perutnya sudah keroncongan, perhatiannya teralihkan karena penasaran dengan benalu yang baru saja ia temukan.

Ia mengamatinya dengan seksama, daunnya berukuran lebih lebar, bunganya juga merah merekah, sama sekali berbeda dengan benalu pada umumnya. Ia menciumi wanginya dan kemudian mengalungkannya.

Di luar rumah, bapaknya pulang dari sawah dan melihat kerbau-kerbaunya sudah berada di kandang. Ia tersenyum karena anaknya yang baru berumur 10 tahun itu sudah pandai mengembala, "Anak ini pintar juga, bisa berinisiatif dengan pekerjaannya," gumamnya.

Ia pun segera masuk dan mencari anaknya "Jang, Ujangg, sudah makan belum? ayo makan bareng bapak".

Namun tak ada jawaban.
Ia berkeliling rumah mencari anaknya namun tidak ketemu-ketemu. "Jang di mana kamu?"

Ujang yang sedari tadi berdiri di depan bapaknya ikut bingung, "Lah ini saya kan di depan bapak, masak gak kelihatan?"

"Loh, di depan mana Jang? Gak ada," jawab bapaknya. "Kamu ada bawa sesuatu ya dari hutan? coba dilepas dulu," lanjutnya.

Ujang pun baru sadar dan kemudian melepaskan benalu hutan yang ia kenakan dan seketika ia baru terlihat oleh bapaknya.

"Heleuh dasar bocah malah main begituan, bikin orang tua panik aja. Sudah makan dulu sana".

"Iya maaf pak". Ia pun meletakkan benalu hutan itu di meja dan pergi ke dapur untuk makan bersama bapak dan ibunya.

"Jang, itu benalunya jangan dimainkan, dibuang entar, kalo perlu di bakar saja," perintah bapaknya.

Setelah selesai makan, Ujang pun menuruti perintah bapaknya dan membakar benalu hutan itu, tapi karena kondisinya masih basah jadi sulit untuk terbakar. Ia kemudian mengumpulkan beberapa daun kering dan kayu bakar lagi agar api bisa lebih besar.

"Tunggu dulu.. tunggu dulu.. tadi saya pake benalu ini, bapak tak bisa melihat saya.. ehh atuh bagus saya bisa menghilang dong," ujar Ujang yang baru sadar kelebihan benalu itu.

Sayangnya benalu itu sudah terbakar setengah ketika Ujang mengambilnya kembali. Disimpanlah sisa benalu tersebut sedangkan abu sisa pembakaran ia kumpulkan. Saat itu ia memiliki ide yang sebenarnya baik namun berakibat fatal.

Abu dari benalu hutan yang ia bakar ia tabur sedikit demi sedikit mengelilingi desa, pikiran bocah itu sederhana, "Jika memang dia bisa menghilang dengan benalu ajaib itu, mungkin ia bisa menyelamatkan desanya dari ancaman Belanda dengan "menghilangkannya".

Apa yang dipikirkannya benar dan memang berhasil. Namun masalahnya, warga yang kala itu berada di luar desa tidak dapat menemukan jalan pulang, begitu juga yang ada di dalam desa mereka belum sadar bahwa apa yang dilakukan oleh bocah 10 tahun itu telah membawa mereka masuk ke dunia lain.

Benar saja suatu hari tentara Belanda datang namun mereka hanya melewati desa begitu saja, mereka tidak berhenti sama sekali seolah-olah tidak ada apa-apa di sana. Saat itulah para warga baru tersadar dengan apa yang terjadi.

Menurut mitos, orang yang melewati desa tersebut hanya akan melihat lahan kosong yang luas, tidak ada rumah, tidak ada ladang, tidak ada Ujang apalagi kerbau-kerbaunya. Sehingga warga setempat menamainya "Pagadungan" - sebuah desa yang hilang.

Masyarakat sekitar percaya bahwa warga Pagadungan sebenarnya bisa keluar masuk desa dengan leluasa. Hanya saja mereka tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu, mereka bahkan hidup abadi.

Ujang yang kala itu masih bocah sampai hari ini juga masih menjadi bocah 10 tahun yang sama. Ia masih mengembala kerbau-kerbaunya dengan penyesalan yang akan selalu menghantuinya.

Setiap hari menjelang Lebaran Pasar Banjarharjo akan sangat penuh sesak dijejali oleh para pedagang kaki lima yang sibuk melayani pembeli mereka yang juga tak kalah banyak. Semua orang berbelanja di sana termasuk warga Pagadungan.

Jika suatu saat kamu berada di sana, perhatikanlah dengan jeli karena akan ada beberapa orang yang berpenampilan sangat sederhana dan alakadarnya. Mereka berbaur dengan para pembeli lainnya, merekalah warga Pagadungan.

Banyak pedagang yang merasa "sial" jika harus melayani mereka karena tak jarang uang yang mereka bayarkan berubah menjadi uang koin jaman dulu yang tak lagi berharga. Bahkan ada yang berubah menjadi daun kering.

Kisah lainnya tentang warga Pagadungan datang ketika masa panen tiba. Banyak orang yang mengajukan diri menjadi buruh untuk mengarit padi, salah satunya adalah Pak Mul.

Ia akan sangat senang setiap bertemu dengan orang yang menawarkannya perkerjaan memanen di ladang. Saking senangnya ia bahkan tidak sadar telah masuk ke Desa Pagadungan.

Pak Mul bekerja hingga petang tiba dan mendapatkan upah berupa dua karung gabah. Tanpa menaruh curiga, Pak Mul memilih untuk membawa karungnya satu persatu karena tubuhnya yang sudah tidak kuat untuk mengangkutnya sekaligus.

Namun, ketika ia kembali untuk mengambil satu karungnya lagi ia tidak dapat menemukannya di manapun. Ia tidak tersesat, ia juga tidak pikun, ia tau persis di mana ia meletakkan karungnya tetapi masalahnya karung itu telah hilang, lengkap bersama desanya.

Warga setempat berpendapat bahwa Pak Mul sebenarnya telah bekerja di Desa Pagadungan dan ia juga sangat beruntung karena tidak ikut menghilang.

Cerita lainnya juga datang dari seorang gadis di desa tetangga. Rumor ini beredar di sekitar tahun 2014. Dia dikabarkan menghilang padahal seminggu lagi dia akan melangsungkan pernikahan.

Warga mengatakan bahwa gadis tersebut disenangi oleh pemuda di Desa Pagadungan sehingga pemuda tersebut membawa sang gadis masuk ke dalam desa dan membuatnya tak bisa lagi keluar dari sana.

Kabar ini sempat membuat geger satu desa, orang tua sang gadis juga sudah mengundang orang pintar setempat, namun apa daya hingga sekarang dikabarkan gadis tersebut tidak pernah kembali.

Kembali ke cerita awal. Lalu bagaimana dengan warga Pagadungan yang kala itu berada di luar desa dan tidak bisa masuk kembali karena ulah si Ujang?

Konon katanya mereka akhirnya membuat desa baru di sebelah utara Desa Pagadungan dan memberinya nama Cigadung, hampir sama dengan desa yang pernah hilang tersebut, sama-sama menggunakan nama gadung -ubi jalar beracun.

Desa Cigadung kini menjadi desa yang cukup besar, Dusun Kubang Lingke dan Beber juga termasuk di dalamnya.

Ada dua lagi kisah mengenai Desa Pagadungan yang dapat dijadikan pembuktian bahwa desa misterius itu benar-benar ada.

Sebut saja namanya Mang Amdan, dia sebenarnya asli Pekalongan dan menikah dengan anak dari adiknya bapakku. Dia juga seorang yang merantau.

Kala itu ia sampai di Pasar Banjarharjo namun ia tiba-tiba berhenti karena teringat dengan hp-nya yang ketinggalan di rumah. Jadi mau tak mau Mang Amdan putar balik.

Tapi saat dia melewati Desa Cigadung ia menemukan ada jalan setapak di tengah-tengah sawah, di kiri dan kanan jalan itu ada dua obor yang tertancap sebagai penerangan. Namun karena dia pendatang ia tak menaruh curiga dengan hal tersebut.

Namun hal aneh terjadi saat ia kembali setelah mengambil hp-nya, ia tidak menemukan jalan setapak tadi, bahkan tak ada obor yang ada hanyalah penerangan dari lampu neon.

Ketika Mang Amdan menceritakannya, istri dan mertuanya hampir bersamaan mengambil kesimpulan bahwa yang ia lihat adalah jalan menuju Desa Pagadungan. Untung saja Mang Amdan tidak sampai masuk ke sana. 

Kalau sampai terjadi tentunya aku tak bisa lagi minum kopi bareng beliau lagi.

Pembuktian selanjutnya berasal dari aku sendiri. Aku menceritakan Pagadungan ini kepada guruku, sebut saja Pak Talan.

Beliau adalah orang yang memiliki "kelebihan" yang cukup istimewa karena setiap aku menceritakan hal seputar "dunia lain", beliau selalu mencoba untuk membuktikan apakah cerita tersebut benar atau tidak dengan kemampuannya.

Ketika aku menceritakan tentang desa Pagadungan ini, beliau hanya diam saja seperti tidak menggubris ceritaku, terkadang ia hanya mengangguk tanpa berkomentar apapun.

Hingga sebulan kemudian, kami bertemu lagi, kali ini dengan beberapa temanku. Kita mengobrol santai sambil minum kopi yang ditemani dengan gorengan hangat.

Pak Talan pun kala itu bercerita,

"Dulu di tempatku juga ada yang hilang sampai 30 tahun. Ketika pulang anaknya sudah menikah dan istrinya sudah meninggal. Kami mendengarkan dengan serius cerita beliau".

Awal mulanya ia bilang dia sedang ronda sendirian keliling desa. Ketika dia berjalan dia tiba-tiba menemukan pohon beringin di tengah-tengah perempatan. Dia heran kenapa ada pohon beringin di sana karena sebelumnya tidak pernah ada.

Dia memperhatikan pohon tersebut dan kemudian menyentuhnya untuk memastikan apakah itu pohon beringin beneran. Ketika menyentuhnya memang tidak terjadi apa-apa, jadi dia kembali dan meneruskan tugas rondanya.

Tapi saat itu dia baru sadar ada yang aneh, dia tiba-tiba merasa asing dengan desanya sendiri. Semua bangunan yang dia lihat berubah menjadi seperti di jaman 70-an. Bahkan ia melihat beberapa warga yang sama sekali tidak ia kenali.

Dia akhirnya memutuskan untuk bertanya dengan salah satu dari warga tersebut dan mereka mengatakan bahwa dia sekarang berada di kampungnya tetapi bukan di kampung manusia.

Singkat cerita, warga desa di sana membantu dia untuk pulang dan kembali ke desanya namun berbagai cara tidak ada yang berhasil. Berhari-hari dia disana mengelilingi desa namun bukan untuk meronda, melainkan untuk mencari jalan keluar.

Usahanya menemui jalan buntu, hingga akhirnya ia bertemu dengan sesepuh di desa misterius tersebut. Sesepuh itu memberitahu bahwa dia harus mencari pohon beringin yang sama dengan yang ia temui dulu sebelum masuk ke desa ini.

Pencarian pohon beringin itu pun dia lakukan, tentunya tidak mudah hingga tepat sebulan lamanya, akhirnya dia menemukan pohon itu. Tanpa pikir panjang dia langsung menyentuhnya dan berhadap agar dia bisa segera pulang.

Istri dan anaknya yang masih kecil pasti rindu dan mengkhawatirkannya.

Tetapi, setelah menyentuh pohon beringin itu dia kembali dibuat bingung, dia telah berpindah ke desa yang lebih asing lagi. Desa dengan jalanan yang sudah beraspal, dan bangunan-bangunan baru yang padat.

Untungnya ia masih sedikit familiar dengan desa tersebut, yang ternyata desanya dulu yang sekarang sudah berubah pesat. Ia mencoba menelusuri jalan dibekali dengan ingatannya dan berhasil sampai ke sebuah bangunan yang ia pikir adalah rumahnya.

Ketika ia ingin masuk ke sana, ia bertemu dengan seorang pria paruh baya.

"Lah kamu siapa?" tanyanya pada pria tersebut.

Pria paruh baya itu juga tidak kalah terkejutnya dan seolah tak percaya. Karena yang kini ada di hadapannya adalah bapaknya yang telah hilang selama 30 tahun!

"Ba.. bapak?" katanya terbata.

"Loh, kamu siapa?" tanyanya kembali.

"Ini saya Jono pak, anakmu".

Dia tentunya tak percaya, mana mungkin anaknya Jono yang berusia 11 tahun kini sudah menjadi pria berumur 40 tahunan.

Akhirnya seluruh warga dan sesepuh desa datang untuk menjelaskan semuanya. Mulai dari dia yang hilang selama 30 tahun hingga istrinya yang selalu mencarinya dan akhirnya meninggal dunia.

Meskipun terkejut sejadi-jadinya, dia mau tak mau harus menerima semuanya karena tidak ada lagi yang bisa dia lakukan sekarang.

"Loh jadi yang menceritakan ke dia siapa?" tanyaku pada Pak Talan.
"Ya orang tua di sana, padahal dulu seangkatan sekarang sudah berumur 60 tahunan, sedangkan dia masih sama berumur 30-an”

Ternyata waktu kita dan mereka selisih sangat jauh.

"Ini yang tak maksud itu Desa Pagadungan loh yang kamu ceritakan bulan lalu", "Saya habis dari sana dan sudah bertemu dengan anak kecil yang dulu membakar benalu hutan itu".

"Hah? Kapan bapak perginya, kayaknya bapak ada di toko terus deh".

"Ya bukan fisik saya tapi sukmanya", "Kamu ingat kan pas kamu cerita waktu itu, saya cuma diem dan ngangguk-ngangguk aja?"

"Iya ingat, saya kira bapak tidak tertarik dengan cerita saya”

"Nggak toh, aku saat itu sudah sampe ke sana. Aku juga ketemu sama anak kecil 10 tahunan, gak pake baju, cuma pake kolor".

Sambil membawa sisa benalu yang dia bakar dia menghampiri dan bertanya "Talan, maaf dulu saya yang bakar ini, jika kamu mau silahkan ambil ini" sambil menyodorkan sisa benalu hutan itu.

Tapi sudah jelas saya tolak.

Aku merinding mendengar cerita Pak Talan. Ternyata cerita bapakku selama ini bukan hanya sekadar cerita dongeng yang dibuat-buat, Desa Pagadungan benar-benar ada, begitu juga si Ujang. (rumis) 

Komentar