Minggu, 28 April 2024 | 09:41
COMMUNITY

Menguji Diri, Mendaki Seorang Diri

Menguji Diri, Mendaki Seorang Diri
Mendaki seorang diri (Dokumentasi pribadi)

ASKARA - Suatu hari, saya memaksa pergi seorang diri untuk memenuhi sebuah janji pribadi. Janji mendaki dan bermalam seorang diri di suatu tempat yang amat sepi.

Karena saya hanyalah seorang perempuan. Bukan hanya soal mistis gunung yang sudah banyak kudengar yang menjadi kerisauan, tapi kedatangan orang tak kukenal juga jadi pertimbangan.

Saya butuh bertahun-tahun mengumpulkan segala keberanian yang berserakan dimana-mana, enam tahun lamanya saya telah menundanya untuk menguntai yang namanya keberanian. Sungguh ternyata tidak mudah untuk memenuhinya.

Saya coba mengumpulkan  keberanian satu persatu. Membuatnya seperti sebuah kalung yang kuikat dengan kerasnya. Nyatanya, ikatan itu sering terlepas dengan sendirinya, berserakan kembali, ketakutan kembali menyapa. Maju mundur tidak karuan, resah, takut menghantui perasaan. 

Untuk menghalau mistis yang mempengaruhi pikiran, saya mencoba belajar mengenali suara di hutan. Beberapa petunjuk saya dapatkan, mulai dari suara mengerikan yang tiba-tiba saya dengar dekat rumah, menangis melengking seperti kuntilanak,  ternyata musang yang birahi bisa mengeluarkan suara demikian menakutkan. (meski sebenarnya saya tidak pernah tahu sendiri suara kuntilanak itu)

Mengenali bau busuk yang tiba-tiba tercium, ternyata berasal dari sebuah jamur, yang akhirnya ku ketahui namanya adalah jamur tangan setan. Bentuknya persis seperti potongan telapak tangan dengan jari-jarinya. Mungkin bisa membuatku tunggang langgang dan membahayakan keselamatan.

Tapi ini semua harus kulakukan, untuk menguji diri sebagai insan. Insan yang sangat pasrah atas kehendakNya yang kuyakini  sebelum-sebelumnya. Tapi menjadi kesadaran yang menganggu, kalau saya memang selama ini pasrah dan sangat percaya. Kenapa saya masih punya keraguan dan meragukanNya.

Tibalah saatnya, saya harus memutuskan. Saya akan mencoba  atau mundur dan menyimpan keraguan ini sepanjang hidup dan menyisakan penasaran akan pertanyaan diri sendiri. Pertanyaan dan penasaran yang mungkin memang tidak normal bagi seorang perempuan. 

Keputusan berangkat mendaki seorang diri saya ambil, berangkat dari rumah dengan niat seribu persen, setelah sampai di kaki gunung yang saya tuju, nyatanya keraguan itu muncul menggoda, pikiran dan perasaan di permainkan kembali. Dan saya sudah mencoba sebelumnya di akhir bulan Januari. Belum jauh kaki melangkah, ternyata longsor menghadang, akhirnya harus kembali. Kalau sudah seperti ini, saya memilih mungurungkan niat, karena alam sudah melarangnya. Berarti belum waktunya.

Saya coba ulang kembali, setelah musim hujan tidak ada lagi.
Saya coba duduk dan menata kembali keberanian, memikirkan ulang, saya tetap akan maju atau mundur untuk selama-lamanya. Tanpa pernah tahu jawabannya, hingga kematian menjemput nantinya.

Pendakian ini memang tengah minggu yang saya pilih, bukan musim liburan, dimana tidak akan ada pendaki lain yang akan saya temukan.

Nekat, akhirnya saya putuskan untuk melangkah, saya harus bisa menaklukkan perasaan takut yang ada dalam diri sendiri. Saya harusnya percaya, bahwa Tuhan akan memberikan Perlindungan. Dialog antara pikiran dan hati bergejolak.

Jalur berkelok menanjak, sepi seorang diri. Baru satu kilometer perjalanan, tiba-tiba hujan deras datang. Padahal ini Agustus, semestinya belum waktunya hujan lagi. Untung saya selalu membawa jas hujan, walaupun bukan musimnya.

Saya tetap meniatkan untuk melanjutkan. Disini, perasaan antara pasrah atau putus asa menjadi sedikit bedanya. Perasaan saya mengatakan, tetap lanjutkan apapun yang terjadi, tanggung sudah sejauh ini. Jangan menyimpan penasaran hingga mati.

Kaki tetap kulangkahkan, berkecamuk dalam pikiran godaan bayangan mistis yang sangat mengganggu. Muncul pertanyaan-pertanyaan, untuk apa saya harus melakukan ini semua. Toh ini adalah tantangan janji diri sendiri, bukan untuk menunjukkan diri. Toh hanya diriku sendiri yang tahu, kalaupun saya ingkar dan tidak saya lakukan, orang lain juga tidak tahu. Karena ini bukan tantangan dari siapapun.

Segala penggembosan terjadi dalam hati, jalan masih panjang. Saya duduk terdiam. Dialog diri ini begitu menyesakkan. Ribut tidak karuan. Nyatanya, meski sendirian belum tentu sepi beneran. Hening itu tidak semudah yang dikatakan dan di perdengarkan.

Akhirnya, saya tetap memutuskan melanjutkan. Saya sudah tidak peduli apa yang nanti akan saya alami, untuk bisa menjawab kegelisahan hati. Ini bukan putus asa, bukan juga karena patah hati.

Tidak lama kemudian, hujanpun berhenti. Saya kembali berhenti untuk melepas jas hujan lebih dulu. Dan melanjutkan perjalanan.

Setelah berjam-jam berjalan, akhirnya sampailah saya pada tempat tujuan. Tanpa ada satupun orang seperti yang saya harapkan, saya letakkan carrier dari gendongan. Membersihkan diri, mengeluarkan kompor untuk bikin kopi dan makan bekal yang saya bawa tadi.

Jam baru menunjukkan pukul 15.00. Bingung juga mau ngapain, malam masih jauh. Akhirnya saya putuskan untuk memungut sampah-sampah plastik bekas pendaki, untuk mengisi waktu. Untuk membawanya besok turun.

Maghribpun datang, hari mulai gelap. Saya mencoba mengenali situasi, apa saja yang ada disini, suara apa saja yang saya dengar, agar nanti kalau sudah larut malam, saya tidak menjadi ketakutan. 

Ada suara burung, ada suara monyet, ada suara binatang kecil yang sudah saya tahu sebelumnya, dan ada suara keplak-keplak yang ternyata berasal dari Bendera Merah Putih terpasang tinggi diatas pepohonan yang terkibas angin kencang. Beruntung ini bulan purnama sempurna, jadi meski sendirian, masih ada terang.

Malam benar-benar datang, saya hanya banyak duduk dan merenung.  Berdialog dengan diri sendiri.  Mungkin yang paling saya takutkan selama ini adalah sosok yang tidak kelihatan yang tiba-tiba bisa menampakkan diri. Kedua adalah laki-laki yang tidak saya kenal. Baik sendiri maupun rombongan, bisa jadi menakutkan bagi seorang  perempuan yang sendirian.

Saya hanya bisa memanjatkan do'a, atas kegilaan keputusan saya. Saya bukan menantang, ini saya lakukan juga bukan untuk membanggakan diri, hanya semata-mata ingin membuktikan pada diri sendiri, harusnya saya juga percaya bahwa Tuhan akan melindungi walau dalam hutan gunung yang sepi. 

Dimana saya sangat meyakini bahwa "Bila Tuhan tidak mengijinkan, maka apapun yang buruk, tidak akan pernah terjadi" 
Dan karena keyakinan inilah, ketakutan berada di gunung sendirian menjadi kesadaran, bahwa ternyata saya belum meyakininya seratus persen, masih ada yang salah pada diri saya.

Doa tetap kupanjatkan, agar diberi perlindungan dan diberi keselamatan. Pergantian hari ini terasa begitu panjang, sepanjang malam saya hanya bisa berdialog dengan diri sendiri. Tanpa musik, tanpa handphone yang sudah saya matikan untuk menghemat baterainya.

Area tempat saya duduk, sangat terang karena bulan purnama, saya memilih tidur dibawah cahaya bulan, walaupun sebetulnya bawa tenda. Saya tidak ingin melewatkan indahnya bulan yang begitu bulat sempurna.

Banyak suara-suara di alam yang saya dengar, untung sore tadi saya sudah menyusun list, asal suara yang di hasilkan. Jadi membantu diri untuk tidak terkejut dan takut.

Saya berusaha untuk tetap terjaga, menjelang dini hari pukul 01.30,  akhirnya saya tertidur juga. Lelah tidak bisa dipaksa. Pasrah dalam kantuk. 

Entah berapa lama saya terlelap, tba-tiba terjaga, terkejut karena di posisi saya tidur, menjadi gelap luar biasa, saya coba cari, dimana bulan itu pergi. Saya tengok keatas, ke kanan ke kiri. Aah rupanya, sinar bulan terhalangi pohon tinggi. Saya menjadi tenang. 

Setelah saya temukan bulan itu, saya mencoba mengikuti kemana sinar itu masih bisa menyoroti, dan waow, saya melihat keindahan yang menakjubkan. Sinar itu menerangi tumpukan batu di sebelah kanan saya. Ada Goa kecil di teranginya. Langsung pikiran saya terbawa, ini seperti dalam gedung bioskop, atau sebuah gedung opera. Sinar itu hanya terfokus didepan lokasi itu. 
Seolah cahaya menerangi sebuah pertunjukan kolosal dengan indahnya alunan musik mengiringinya. Saya hanya bisa tertegun dan diam membeku. Lupa sudah bahwa saya sedang seorang diri. Padahal tidak ada juga sosok apapun yang saya lihat, tapi saya bisa tersenyum-senyum menikmatinya. Karena memang saya tidak mau, dan memohon agar tidak ada penampakan-penampakan yang akan mengejutkan dan menakutkanku. Hanya bisa membayangkan, mungkin ada adegan yang sedang di mainkan.

Cukup lama saya tertegun, dan tetap bertahan untuk memandanginya. Keindahan yang luar biasa, dan saya tidak mau kehilangan moment itu. Meski kebelet pipis, tetap saya tahan, hingga cahaya itu hilang. Saya tidak ingat sama sekali, untuk mengabadikan keindahan itu. 

Setelah Cahaya itu benar-benar hilang, tempat itu menjadi gelap, karena bulan semakin turun dan ikut terhalang pohon tinggi. Baru saya beranjak pergi mencari tempat untuk pipis. Setelah selesai, saya kembali ketempat duduk saya tadi, kejutan kedua muncul. Saya melihat Bulan yang makin turun, diantara pohon besar yang ada. Hemm, tidak buang waktu, saya hidupkan handphone untuk bisa mengabadikannya. Keindahan pertama sudah terlewat tanpa ingat untuk mengabadikan keindahannya.  

Yang kedua ini, saya tidak ingin melewatkannya lagi.

Setelah melihat hasilnya, takjub itu tidak bisa saya pungkiri. Bulan yang mau pergi ini, ternyata tampak seperti matahari. Matahari yang mau terbit, atau matahari mau terbenam. Bisa jadi membingungkan bagi yang tidak mengalami kejadian ini. 

Pagi itu, sangat indah. Suara burung bernyanyi riang, seolah-olah ada puluhan burung berada dekat saya, tapi saya cari tidak satupun kelihatan. 

Indahnya hidup ini, tidak lupa saya memanjatkan do'a kembali, untuk mengucap syukur dan berterimakasih, sudah di beri perlindungan hingga bisa melewati malam yang sebetulnya saya takutkan. Dan diberi keindahan yang luar biasa. Tidak ada alasan lagi untuk tidak mempercayaiNya. Keyakinan ini jadi seribu persen meningkat dalam diri saya. 

Setelah menikmati kopi dan sarapan sedikit roti, saya memutuskan turun. Hati saya menjadi lebih ringan. Dalam perjalanan dialog dengan diri ini tetap berlanjut. "Apakah akan berani mengulang mendaki sendiri?"

Saya coba menimbang-nimbang, ternyata meski saya sudah pernah melakukannya tadi malam, untuk mengulang kembali saya mikir ratusan kali, karena ketakutan itu datang lagi. Bisa saja saya tidak seberuntung saat saya melakukan kemarin.

Tapi saya tetap bersyukur, bahwa takut itu memang harus saya miliki. Untuk membuat mawas diri dan tidak menjadikan jumawa dalam hati. Terpenting dari hasil kejadian uji diri ini, bahwa saya menjadi yakin bahwa "Apapun yang buruk, tidak akan menimpa kita, kalau Tuhan tidak mengijinkan"

Keyakinan ini, jangan di artikan karena kita punya backup, lalu seenaknya berbuat. Seperti orang yang memiliki backing penguasa, sehingga dengan beraninya melawan siapa saja. Kebal hukum, dan menjadi jumawa. Mentang-mentang dan jadi tidak takut apapun juga.

Tidak, bukan seperti itu. Celaka atau kejadian buruk itu tetap bisa terjadi pada diri saya, kalau itu saya alami berarti Tuhanlah yang mengijinkan, dan saya meyakini celaka itu adalah sebuah peringatan, mungkin saya telah melakukan sesuatu yang salah tanpa saya sadari, bukan sebagai hukuman atau kejahatan dan kesalahan orang lain.

Cukuplah jawaban yang saya dapatkan, untuk pribadi sendiri dan tidak menjadi penasaran lagi. Andaikan harus memilih, saya tetap memilih mendaki bersama teman-teman yang lain. Karena takut itu tetap saya punya, untuk selalu eling dan waspada.

Gunung adalah tempat kita belajar, belajar menaklukkan diri sendiri. 
"Musuh terbesar dalam hidup, adalah diri sendiri"

Salam satu jiwa, tetaplah dalam kerendahan hati.

Kenangan, 15 Agustus 2019

Komentar