Minggu, 28 April 2024 | 13:59
COMMUNITY

Deg-degan di Gunung Argopuro

Deg-degan di Gunung Argopuro
Pendakian Gunung Argopuro. (Dok. Wariani Krishnayanni)

ASKARA - Perjalanan ini kami tempuh bersama 19 orang dengan 4 perempuan dan 15 laki-laki. Hanya satu perempuan yang kukenal karena memang aku yang berharap dia ikut, paling tidak ada yang aku kenal dalam perjalanan, selebihnya aku tidak kenal sama sekali, termasuk yang membuat trip. Aku memilih ikut trip gunung terpanjang di Jawa ini. Untuk belajar cara menyiapkan logistik untuk pendakian yang lebih dari 2 malam.

Meski Tenda dan logistik sudah termasuk harga trip, aku tetap bawa peralatan sendiri. Niatnya belajar tapi saya pilih dengan rasa aman. Kalau kurang sesuatu, saya tinggal minta jatah makanan atau minuman.

Perjalanan tengah malam dari Purwosari Pasuruan menuju Baderan Situbondo. Menjelang pagi sampai basecamp, ketua trip melakukan pendaftaran, bayar simaksi dan sebagainya.

Untuk menghemat waktu, suara terbanyak naik ojek gunung sampai pos Mata Air 1. kesepakatan bulat.

Baru 30 menit, greng geng geng terdengar beberapa motor datang, oke siapa duluan? wah aku mau duluan ajalah...ternyata mas ojekku di urutan kedua. Wuuush ngebut banget nih mas ojek, lewat jalan aspal yang baru di buat. 

Di jalan aku sempat nanya "kita gak pake helm nih mas?", mas ojek jawab "di desa gak perlu pake helm, gak apa-apa". Ya sudahlah, manutlah diriku. Tidak lama kemudian, aspalan ini habis, mulailah keseruan di jalan tanah yang sempit, masuk perkebunan kopi, tembakau. tapi mas ojek justru makin kencang, terpental-pentalah diriku, langsung dengan sigap mencari pegangan di seputaran tempat dudukku, daripada jatuh nantinya, bisa berabeh ini. Belum mendaki masak mengalami celaka. Gak asyik banget dong.

Gak bisa ngomong deh pokoknya, mana debu dari motor pertama juga jadi mata kelilipan. Ngeri banget nih, aku langsung menundukkan kepala, berusaha berada di bawah tinggi kepala mas ojek untuk menghindari ranting-ranting yang kami lewati. Hemmm, rasanya pengen turun, lebih baik jalan aja kalau seperti ini. Bener-bener bahaya, apalagi dengan jalan yang sempit dan belokan tajam dan posisi nanjak. Hanya bisa menahan nafas. Jadi seperti main motor cross saja nih. 

Seumur-umur, baru kali ini naik ojek di gunung, ngeri-ngeri sedap. Cukup sekali deh. Gak pengen ngulang. Jalan kaki tidak apa meski jauh. Hahaha, tapi apa boleh buat, saya sedang ikut trip dan sudah disepakati.

Akhirnya penyiksaan batin berakhir, sampailah kami di Pos Mata Air 1. Turunlah aku dengan kaki yang sedikit gemetar, karena harus menahan agar tidak terlontar saat di boncengan, mengurangi hentakan yang mengejutkan. Mas ojek dengan cepat balik arah turun untuk menjemput yang lain.

Aku angkat carrier dan cari tempat agak rindang, sembari menunggu teman yang lain, baru terasa ada sedikit perih di kaki bagian bawah sebelah kanan, rupanya kesabet dahan yang rendah. Setelah periksa, ini bukan luka yang perlu dikuatirkan, hanya baret saja. Masih aman.

Setelah semua tiba, mulai kami mempersiapkan diri untuk mendaki. Jalan bersama beriringan. Mulailah kami akrab sedikit, mulai juga dengan candaan. 

Pos Mata Air 2 kami lewati tanpa berhenti. Lanjut jalan, menuju Pos Alun-Alun kecil, berhenti sejenak, beberapa teman akan melakukan sholat, yang lain berinisiatif untuk membuat kopi dan mengeluarkan camilan. Itung-itung istirahat makan siang.

Setelah selesai, kami lanjutkan kembali, karena sudah agak panjang nih jalan, ada yang mulai mengurangi kecepatan dan mulai banyak istirahat. Teman-teman yang bawa beban berat jalan di depan, aku memilih mengikuti mereka daripada banyak istirahat jadi mager untuk melanjutkan. 

Sampailah kami di Pos Sabana Besar, di sini kami menunggu hingga seluruh team lengkap. Sembari tidur-tiduran. Meski panas luar biasa, beruntung ada satu pohon besar di pinggir jalur. Angin sepoi-sepoi bikin pingin tidur.

Tidak lama yang lain sampai juga, menunggu mereka yang baru sampai untuk istirahat, bayangkan 19 orang, ribut candaannya gak ada habisnya sembari menceritakan apa yang mereka rasakan.

Nafas megap-megap, ada yang tersiksa jalan dengan menggunakan jaket bulu, salah kostum, dan dititip pada teman lain. Ada teman perempuan yang lain cerita bahwa ini baru pengalaman keduanya mendaki gunung setelah Arjuno.

Sebisa mungkin kami saling menyemangati dan bantu. Namanya juga orang banyak, memiliki karakter sendiri-sendiri, ada juga yang hobi melemahkan semangat. Tapi hal itu biasa, yang paling penting jangan ada perdebatan dalam perjalanan.

Pukul 17.00, 5 orang sampai duluan di Cikasur, sayang kami tidak bisa melihat cantiknya Merak yang kabarnya suka terlihat di sini. Hanya ada 3 tenda yang kami temukan sudah ngecamp duluan. Dari mereka kami tahu bahwa para Merak itu baru saja pergi karena sudah terlalu sore. Okelah, nasib memang belum berpihak.

Segera kami meletakkan carrier, dan kembali turun untuk ambil air dan memetik sayur selada, mumpung hari belum gelap beneran. Di sini, tersedia hamparan tanaman selada di sepanjang sungai kecil. Bisa petik dengan puasnya. Di tempat ini Merak itu biasa hadir, seperti yang kubaca dalam blog-blog pendaki, sebelum mengunjungi tempat ini. Masih berharap bisa melihatnya, sekali saja. Tapi ternyata tetap aku belum beruntung juga.

Setelah botol-botol kami terisi, dan cukup mendapat banyak sayur, kami kembali ke atas. Keluarkan peralatan, karena saya bawa tenda sendiri kapasitas dua orang, langsung saya dirikan, sembari merebus air bakal ngopi, udara dan angin mulai terasa dingin. Aaaah akhirnya, saya melihat seekor Merak itu di dekat area camp, hore, aku bisa ketemu juga. Walaupun bukan pada posisi mengembangkan bulu-bulunya yang cantik itu. Cukuplah, untuk membuatku puas. Ternyata dia memang ada di sini.

Temanku sendiri, baru sampai sekitar jam 19.00 bersama yang lain. Kasihan, sudah gelap dan kedinginan, tapi sudah kusiapkan minuman hangat buatnya.

Masuklah dia ke tenda, membersihkan diri dan ganti baju bersih, setelah selesai kami ngobrol, sembari melanjutkan menikmati nyruput minuman penghangat di halaman tenda, sekalian menyiapkan makan malam kami berdua. "Apa yang membuatmu lama?" tanyaku, sembari kupas bawang yang dia bawa untuk masak sayur selada yang sudah saya ambil. 

Saya sendiri memilih membawa logistik yang simpel yaitu kentang, roti, keju, coklat, Energen dan tentunya kopi tanpa campuran gula, ini tidak boleh ketinggalan.

"Aku ketiduran mbak di jalur, gak tahan ngantuknya, apalagi anginnya sepoi-sepoi" Jawabnya. Syukurlah kalau begitu, "Bukan karena ada yang bermasalah atau sakit kan?" tanyaku kembali. "alhamdulilah enggak mbak" dia menimpali. 

Makanan kamipun sudah siap, saya cukup makan kentang rebus dan sayuran yang dibuatnya. Selesai makan, kami masuk tenda, berusaha tidur dengan cepat, karena perjalanan masih panjang.

Pagi-pagi, kami sudah bersiap. Packing kembali tenda, berkumpul dan cek semua anggota lengkap 19 orang, berdoa bersama dan jalan ke pos berikutnya. 

Melewati sungai yang cukup lebar, beruntung bukan musim hujan besar, jadi kami bisa melompat-lompat bebatuan yang kelihatan tanpa harus melepas sepatu. Airnya jernih, segar. Sampailah di Pos Cisentor. Istirahat cukup lama, sempat masak juga untuk makan siang.

Setelah selesai, kami lanjut perjalanan. Saya jadi ingat apa yang saya baca di blog pendaki, katanya ada tanaman yang sangat gatal dan pedih di kulit kalau kita tidak sengaja menyentuhnya. Namanya mudah diingat, hahaha. Saya tanya pada teman-teman yang mana sih tanaman yang disebut "Jancukan" itu?, "ooh nanti kalau ketemu mbak, aku tunjukkan" jawabnya.

Tidak lama kemudian, ketemulah dengan si Jancukan itu, "ini mbak, ini loh tanamannya, hati-hati mungkin tidak sengaja kesenggol atau pegang" jelas temanku. Spontan saya berkomentar "oooh ini toh tanamannya, ada duri-duri kecil yang tidak tampak kalau kita tidak perhatikan dengan baik, pantas saja orang tidak sadar memegang, tiba-tiba bikin gatal dan pedih". Pantas trus dinamakan Jacukan, mungkin karena awalnya kaget efek yang dirasakan. Padahal nama latinnya cukup cantik loh yaitu Gardenia Palmata. Hahaha, jadi kebayang harumnya bunga Gardenia, tapi yang ini sangat beda. 

Sembari ngobrol ke sana kemari, kami tetap jalan perlahan, menikmati sedikit rindangnya pepohonan, tidak terasa sampailah kami di Pos Rawa Embik. Sudah ada 2 tenda yang berdiri, mereka rombongan pemuda enam orang dari Jakarta. Sembari saya menyapa, saya inspeksi lokasi. Aah di sini ada sumber air lagi, ada sungai kecil dengan air yang jernih. Dari sini terlihat juga gundukan bukit yang tinggi, lapangan sedikit luas ini seperti lembah terhalang bukit dan hutan rindang. 

Kembali menunggu teman-teman yang lain datang, meski kami sudah sampai di sini pukul 16.00 tapi tidak berani memutuskan membuka tenda. Hanya coba keluarkan kompor dan membuat sesuatu yang hangat karena dinginnya makin terasa, sambil mencoba membuat perapian. Kami harus menunggu ketua rombongan, akan camp di mana.

Mendekati Maghrib, terdengar teriakan manja dari kejauhan. "Hai...kalian tega ya ninggalin aku, pengen nangis aja di jalan", teriak salah satu perempuan. Kami berlima jadi bingung, hahaha. Bukannya kalian jauh lebih banyak  jumlahnya 14 orang dan di situ ada ketua rombongan.

Kenapa kami berlima memutuskan duluan, karena kami memang bawa beban berat, dan kenapa saya ikut rombongan yang di depan, ya karena ada dua orang di antaranya adalah panitia yang sudah tahu jalur.

Dari awal memang sering protes nih cewek, sering ngomel dan menjatuhkan mental orang bila dia merasa ketinggalan. Hahaha, begitulah yang terjadi, seperti kata orang yang kita dengar. "kalau mau tahu asli sifat temanmu, ajaklah naik gunung"

Oke, karena hari sudah mulai gelap, dan semua sudah berkumpul lengkap, maka ketua rombongan memutuskan untuk buka tenda disini. Aku langsung coba cari tempat datar, kutemukan dekat ambil air, selokasi dengan pemuda-pemuda Jakarta tadi.

Setelah tenda berdiri, baru saya ingat pelajaran di saat Pecinta Alam zaman SMA, pesan instruktur jangan mendirikan tenda dekat sumber air. Karena itu rawan binatang apapun yang butuh air untuk minum. Laaaah, ingatanku lambat kesadaranku telat. 

Efek lelah, dan tenda teman-teman berdiri melindungi kami dan sudah membuat api unggun, di samping itu pertimbangan yang lain, tendaku tidak sendiri. Maka jadi malas membongkar dan memindahkan. 

Malam itu, makan bareng dekat api unggun, ngobrol bareng, nyanyi bareng, ada yang joget juga pokoknya malam ke dua ini lebih seru. Karena kami mulai saling mengenali satu sama lain. 

Hari mulai larut, segera tidur. Tapi malam itu aku sangat kedinginan, hampir tidak bisa tidur. Begitu merasa sudah pagi, aku ingin cepat keluar, terkejut melihat outter tenda banyak warna putih menempel seperti butiran buah randu tua yang pecah beterbangan. Penasaran, aku pegang dan ambil, aaaah aku salah, ternyata seperti es serut halus. Ya ampun ini toh yang di sebut Embun Upas, seperti salju tipis. pantesan dinginnya luar biasa. Langsung aku periksa tenda yang lain, tempat mereka lebih banyak lagi. 

Baru kali ini aku mengalaminya. Otakku langsung jadi mengingat saat-saat tertentu di desa yang dekat dengan pegunungan, terasa lebih dingin dari biasanya. Hemmm, ini toh penyebab sesungguhnya.

Mulai inspeksi jalan-jalan cari kehangatan sinar Matahari. Tiba-tiba salah seorang berteriak, "coba lihat, apa ada yang tahu, ini kotoran binatang apa? dan ini ada jejaknya, kok mirip dengan jejak macan ya?" 

Hemm, aku tersontak diingatkan kembali. Suatu kesalahan besar bila mendirikan tenda yang dekat dengan air. Beruntung kami tidak mengalami apapun, mungkin karena api unggun itu hidup hingga pagi, dia penyelamat kami.

Ingat-ingat, jangan pernah mendirikan tenda dekat tersedianya air. Betul-betul rawan binatang buas yang ingin minum juga. Jadi bukan salah para binatang kalau terus dia juga menyerang karena bau makanan.

Setelah semua bangun, kami packing. Seperti biasa, ketua cek kelengkapan anggota. Oke lengkap 19, lanjut doa bersama agar tetap diberi keselamatan untuk melanjutkan sisa perjalanan.

Berjalanlah kami berdekatan, hingga sampai di Pos Sabana Lonceng, istirahat cari yang rindang. Membahas kembali, tujuan camp bukan di Rawa Embik tapi di Sabana Lonceng ini. Karena melihat kondisi teman-teman, dan sudah hampir gelap maka kemarin harus diputuskan buka tenda di Rawa Embik. Bahaya juga kalau maksa jalan dalam gelap dengan kondisi yang sudah kelelahan. Ada hal-hal yang bisa dipelajari bahwa seorang ketua harus bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk menjaga kondisi semua peserta.

Tidak lama kemudian, ketua mempersilakan dan menunjukkan bahwa bukit di depan itu ada puncak namanya Rengganis. Yang mau ke sana, Carrier bisa di tinggal di sini, karena ada panitia yang akan menjaga. Silahkan bawa minum dan camilan. Karena untuk ke Puncak Argopuronya sendiri, itu ada di sebelah kanan kita. Jadi nanti turun dari Rengganis, kita baru kepuncak utama.

Oke siap ketua, aku mau ke Puncak Rengganis. Tanggung sudah nyampe sini, sayang banget kalau tidak dikunjungi. Sebagian kami berangkat, melewati hutan pinus, kami temukan area batuan berkapur, dan pohon-pohon cantigi. Berarti puncak sudah dekat. Yesss, akhirnya sampai juga. Tidak lama kami berada di sini, karena harus mengejar target terakhir camp kami di Danau Taman Hidup. Setelah puas berfoto, kami turun. 

Lanjut perjalanan menuju puncak utama yaitu Puncak Argopuro 3088 mdpl. Di sini baru terasa nanjaknya, sedikit menguras tenaga, apalagi di siang bolong. Aku melihat beberapa ayam hutan yang cantik. Benar-benar gunung ini masih asri, bersyukur dan ikut senang, karena binatang-binatang itu aman berada di sini. Argopuro, mungkin tidak banyak yang mendaki seperti gunung lain, karena waktu yang dibutuhkan cukup panjang meski ketinggian gunung ini hanya 3088 mdpl. Butuh waktu 3 malam 4 hari, itu pun dibantu dengan ojek-ojekan. Normal katanya butuh 4 malam 5 hari. 

Jalanan cukup terjal dengan banyak batuan, aku dan dua panitia persis formasi seperti awal, berlima selalu mencoba tetap jalan dan tidak banyak istirahat. Beban carrier masih cukup berat, maka itu kami ingin cepat sampai, dan bisa segera melepas beban itu dari punggung dan istirahat.

Sampailah kami berlima di Puncak Argopuro,  ambil gaya untuk foto, hingga main stone balancing sembari menunggu yang lain. Dari kejauhan mulai ada teriakan "mbak Yanni ini laki-laki atau perempuan sih kok kuat dan gak ada capeknya? hemmm, lagi...lagi lagi dia. 

Aku hanya diam dan menunggunya sampai di dekatku. jawabku "Mbak, sebetulnya tidak ada yang gak capek. Jalan yang kita lewati itu sama, hanya satu yang membedakan ada yang mengeluh dan ada yang memilih diam. Coba tanya pada anak-anak muda ini apakah mereka tidak capek". Lalu dia hanya diam mendengarkan jawaban saya.

Satu lagi mbak, aku memilih untuk tidak banyak istirahat, supaya carrier ini tidak makin berat rasanya, Ayo kita tetap semangat, usahakan tidak terlalu lama istirahat kalau kelamaan jadi makin berat untuk jalan lagi, meski pelan tetaplah jalan. Dan jangan takut, tidak mungkin akan ditinggal.

Selesai bincang singkat, sesi foto lengkap, setelahnya kami lanjut turun. Wah di sini jalan agak ngeri, curam dan harus hati-hati. Dan, wow masih ada satu puncak lagi. Puncak Arca namanya, tidak selebar dua puncak yang sudah kami datangi. Kalau ingin foto harus bergantian antri. Tidak lama kami di sini karena perjalanan masih cukup jauh, juga sudah hampir lewat tengah hari. Lanjut terus, masih cukup terjal, aku takut juga kepleset, kadang lebih memilih duduk dan turun perlahan. Karena kaki sudah cukup lelah 3 hari berjalan dengan beban yang kubawa.

Akhirnya, kami menemukan bonus jalan datar, memasuki Pos Cemoro 5.  Meski awalnya berdekatan kembali lima orang ada di depan.

Memasuki hutan lumut, aku merasa kelelahan, dan menganjurkan empat teman untuk jalan duluan, karena mereka bawa beban. Sebelum di tinggal, "apakah jalur terlihat jelas dan tidak ada cabang yang bisa bikin aku nyasar", tanyaku. " cukup jelas mbak, jangan kuatir" jawab salah satu dari mereka. "kalau begitu, kalian juga jangan kuatir meninggalkanku, silakan segera lanjutkan perjalanan biar cepat sampai dan bisa segera istirahat" jawabku kembali.

Setelah mereka pergi tinggallah aku sendirian. Aku buka camilan untuk menambah energi dan minum sedikit air. Merasa sudah cukup, coba tengok belakang dulu benar-benar sepi. Entah rombongan belakang baru sampai mana, kok tidak terdengar sama sekali suara mereka. Akhirnya kuputuskan jalan saja perlahan. 

Memasuki hutan lumut aku melihat ada cabang, keraguan itu jadi menggoda. Mereka tadi lewat mana ya, aku berhenti dulu sembari melihat seputaran, ah di sana terlihat pita orange mestinya itu jalur yang benar. Setelah aku yakin baru jalan kembali.

Sembari jalan pelan di hutan lumut yang mungkin kira-kira sudah jam 3 sore, mulai ada suara-suara yang bikin merinding. Suara apa itu? mungkin hanya suara monyet jawabku pada diri sendiri, tetap melangkah. Aku tidak mau berhenti di hutan lumut yang lembab ini.

Tidak lama, seperti suara orang berbisik terbawa angin. Ada auman. Kutenangkan hatiku, dan coba menghibur diri, Itu hanya suara alam, suara daun-daun saling bergesek karena angin. Dan tetap kulangkahkan kakiku sambil berpikir, hutan lumut ini panjang banget kok gak habis-habis, di mana Taman Hidup itu? Aku kuatir kemalaman, sedang 14 orang yang di belakang tidak tahu sampai di mana. Okelah, saya tidak mau buang waktu, tetap jalan saja.

Syukurlah, akhirnya terdengar suara candaan. Ini pasti Danau Taman Hidup, untung teman-teman berpikir cerdas meninggalkan sesobek kertas yang diletakkan di dedaunan, diberi penunjuk arah dengan tulisan Danau Taman Hidup. Karena aku sempat bingung, sudah dengar suara-suara mereka dengan jelas tapi jalan menuju danau itu tidak tampak. 

Akhirnya sampailah aku, pukul 16.30. Di sini lumayan banyak tenda  pendaki lain. Setelah menyapa mereka, bertanya-tanya ada yang sudah 2 hari ngecamp di situ. Kerasan katanya. dan tujuannya memang hanya ke situ. 

Hemmm, memang tempat ini romantis, ditunjang adanya danau terisi air beserta ikan. Lengkap sudah tanpa banyak kuatir.

Aaah teman-teman ternyata ada di sebelah sana, saat mereka melihatku, mereka langsung mengatakan bahwa baru sampai juga. Karena sudah jumpa, kami coba cari tempat, supaya cukup untuk semua tenda kami yang jumlahnya tujuh. Setelah kami tentukan, tenda aku keluarkan, pasang, sekalian kompor kuhidupkan lebih dulu. Tenda berdiri, barang-barang dimasukkan, air panas pun siap, sekarang waktunya ngopi dong. Sruuup, ku seruput kopiku. Nikmatnya.

Aku main ke tenda orang lain, ngobrol, disuguhi wedang jahe. Karena temanku belum sampai juga, kuputuskan pamit balik ke tenda beristirahat. Gelisah, jam sudah lewat pukul 20.00, kenapa 14 orang ini belum sampai juga?

Sekitar 21.00, ada yang memanggilku "mbak...mbak Yanni ada di mana?", langsung kubuka tenda, "Di sebelah sini!" jawabku. Kupersilahkan dia masuk untuk ganti baju, kuhidupkan kompor, kubuat Energen hangat dulu. Setelahnya baru kami ngobrol. Ternyata mereka sering berhenti terlalu lama. Ya tiap orang punya ketahanan fisik berbeda. Yang penting semua dalam keadaan baik.

Istirahat menunggu pagi, malam cukup dingin. Paginya kutemukan embun upas di seputar danau. Ambil air, tidak lupa foto. Cepat kembali untuk masak, makan pagi. Lalu packing dan lanjut turun untuk pulang.

Melewati Hutan Lumut n Hutan Damar, konon kabarnya di hutan Damar ini juga banyak mistis, usahakan tidak malam hari lewat area ini. Perjalanan lancar melewati ladang penduduk dan sampailah kami di Bremi Probolinggo, dimana mobil penjemput menunggu kami.

Bersyukur, semua selamat, sehat dan bahagia. Ada masalah kecil, itu biasa. Omong-omong ternyata logistik yang saya bawa, cukup untuk 4 hari 3 malam perjalanan. Jadi, bisa memperkirakan kalau nanti berkesempatan mendaki gunung dengan lama waktu seputaran itu. Terimakasih pada seluruh teman yang seru dalam menemani perjalanan panjang ini.

Salam lestari, jaga tempat yang kita kunjungi tetap bersih. Bawa sampahmu turun, termasuk bungkus permen dan puntung rokokmu.

Kenangan, 3-6 Juli 2018.

Komentar