Minggu, 12 Mei 2024 | 03:33
NEWS

Menimbang Positif dan Negatif Perubahan Skema Dana BOS

Menimbang Positif dan Negatif Perubahan Skema Dana BOS
Ilustrasi dana BOS (Aksesjambi/Siedoo)

ASKARA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengubah skema penyaluran Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). 

Awalnya lewat perantara pemerintah daerah tapi sekarang bantuan ditransfer langsung ke pihak sekolah. 

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai, perubahan skema penyaluran dana BOS tidak bakal menimbulkan banyak perubahan. Justru masih berpotensi terjadinya praktik korupsi. 

"Potensi penyelewengannya sama saja, masih sangat rawan. Itu kan penyalurannya, pendataannya kan masih melibatkan dinas," ujar Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji saat dihubungi, Rabu (12/2).

Terlebih, penggunaan dana BOS selama ini belum transparan. Publik kesulitan mengakses informasi karena pengelolaannya didominasi oleh kepala sekolah. 

Padahal pengelolaan dana BOS harus melibatkan semua pihak, termasuk komite sekolah dan masyarakat dari perencanaan hingga evaluasi. 

"Belum transparan, masih susah diakses. Dianggapnya secret file, padahal itu adalah data publik yang siapapun bisa akses," jelas Ubaid. 

Pemerintah mengalokasikan dana BOS sebesar Rp 54,32 triliun atau naik 6,35 persen dibandingkan tahun sebelumnya. 

Pencairan akan dilalukan tiga tahap, di mana tahap pertama sebesar Rp 9,8 triliun untuk 136.579 sekolah di 34 provinsi.

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menyatakan, transfer langsung dari pusat ke sekolah menjadi hal positif karena daerah terkadang menahan dana BOS dengan berbagai alasan. Untuk penyaluran tahap pertama dinilai cukup baik. 

"Tujuh puluh persen pada semester pertama adalah hal positif karena banyak kepsek atau guru ngutang untuk menalangi kebutuhan operasional. Dan sudah menjadi rahasia umum," katanya. 

Namun, sisi negatifnya, penambahan 50 persen untuk tenaga honorer sesungguhnya kontraproduktif dengan keputusan DPR RI dan BKN menghapuskan sistem honorer. Seharusnya bukan jadi 50 persen tetapi menjadi nol persen. 

"Biarkan pemerintah daerah memikirkan caranya menanggulangi kekurangan guru ini," ujar Ramli. 

Di sisi lain, penambahan porsi honorer otomatis mengurangi pembiayaan untuk kebutuhan lain yang juga mendesak di sekolah.

Selain itu, porsi dana BOS belum adil bagi sekolah dengan jumlah siswa sedikit dan kondisi geografis yang berat. Karena bilangan pembagi di sekolah berjumlah siswa banyak lebih kecil dibanding sekolah dengan jumlah siswa sedikit yang hampir pasti untuk berbagai kebutuhan.

"Kemungkinan makin banyak kepala sekolah berurusan dengan hukum karena mereka akan diancam untuk membiayai sesuatu meski tak ada posnya dalam dana BOS," beber Ramli. 

"Pemda masih punya kekuatan mengangkat dan memberhentikan kepsek dan dapat memerintahkan sesuatu ke kepsek," tambahnya. 

Komentar