Kamis, 17 Juli 2025 | 04:14
TRAVELLING

Museum Dosa Pejabat, Taman Sadar Bangsa

Museum Dosa Pejabat, Taman Sadar Bangsa
Museum Dosa Pejabat

ASKARA - Museum Koruptor Indonesia bukan sekadar ruang pamer, tapi ruang tamparan realitas. Di balik sorotan lampu galeri, terpajang wajah-wajah yang dulu dielu-elukan, kini jadi bukti betapa dalamnya kerakusan merusak negara. Ini bukan seni instalasi, ini memoar luka bangsa dipertontonkan agar kita berhenti memaafkan pengkhianatan.

Bayangkan datang ke sebuah museum, bukan untuk melihat artefak bersejarah atau lukisan klasik, tapi wajah-wajah segar mereka yang membuat rakyat makan mi instan dua kali sehari karena beras terlalu mewah. Inilah Museum Koruptor Indonesia, ironi paling relevan abad ini, ketika pahlawan devisa harus berpeluh di luar negeri, sementara penjahat bersafari di ruang rapat.

Museum ini bukan fiksi. Ini bukan gimmick aktivisme yang sok edgy. Ini adalah pameran ketelanjangan moral, tanpa sensor, tanpa eufemisme. Ketika nama Johny G. Plate terpajang bersama angka triliunan, yang terlintas bukan lagi "kominfo", tapi "kominfo... salah urus". Proyek sinyal BTS yang seharusnya menghubungkan Indonesia, malah jadi ladang penghisapan. Dan sinyal? Masih hilang-timbul. Persis seperti nyali aparat dalam menindak korupsi kelas kakap.

Lalu Harvey Moeis. Pria yang sukses menggaruk duit nikel triliunan, mungkin berpikir dia sedang main game "Harvest Moon", tapi alih-alih panen sayur, dia panen derita rakyat. Saat emak-emak cari diskonan beras di minimarket, dia hitung kekayaannya sambil tertawa di kapal pesiar.

Dan jangan lupa Zarof Ricar, yang berhasil menjadikan pengadilan sebagai supermarket diskon hukuman. "Bayar segini, hukumannya segitu." Aneh ya? Dulu kita pikir neraka itu tempat orang jahat dibakar. Tapi ternyata bisa dinegosiasikan.

Museum ini membuat kita sadar satu hal penting: negara ini bukan miskin, tapi terlalu sering dikeroyok. Bukan hanya oleh penjajah berseragam asing, tapi oleh penjilat berseragam dinas. Mereka yang dulu kita beri panggung dan mikrofon, sekarang terbukti lebih pandai mengelola anggaran untuk diri sendiri ketimbang untuk negeri.

Dan menariknya, setelah dibikin mual oleh deretan fakta dan angka, pengunjung diajak healing. Ada taman hukum, live music, jajan cilok, bahkan quiz receh berhadiah. Barangkali karena panitia sadar: terlalu lama menatap wajah koruptor bisa membuat tekanan darah rakyat naik drastis. Maka disisipkanlah hiburan. Seolah ingin berkata, "Tenang, kita masih bisa tertawa, meski negara dikerjai."

Ini adalah museum paling jujur yang pernah dibuat bangsa ini. Karena di museum-museum lain, kita belajar tentang kejayaan. Di sini, kita belajar tentang kejatuhan. Bukan karena perang, bukan karena bencana alam, tapi karena birokrasi yang haus dan hukum yang bisa dinego.

Saya pribadi mendukung penuh museum ini. Bahkan usul, agar di tiap provinsi ada satu. Lengkap dengan tur edukatif ke sekolah-sekolah, agar sejak kecil anak-anak tahu: bukan hanya pelajaran PPKn yang penting, tapi juga siapa yang pernah mengkhianatinya. Bila perlu, bukan cuma foto koruptor yang dipajang. Tapi juga foto keluarga mereka. Biar tahu rasanya jadi malu secara komunal. Supaya anak cucu mereka tidak tumbuh dalam glorifikasi warisan dosa.

Tapi ada kekhawatiran kecil: jangan sampai museum ini malah jadi tempat narsis baru. Bayangkan kalau kelak, koruptor baru malah ingin masuk museum demi "pengakuan sejarah". Seperti seleb TikTok yang bangga masuk FYP. Bisa-bisa korupsi dianggap karier yang bisa dikenang. Jangan sampai.

Museum Koruptor Indonesia adalah karya seni politik, monumen untuk ingatan kolektif, dan sinyal bahwa kita belum sepenuhnya mati rasa. Ini bukan tentang nostalgia, tapi tentang momen sadar bahwa negeri ini sedang dirampok dengan cara legal.

Dan semoga setelah ini, kita tak lagi mudah bertepuk tangan saat pejabat berpidato. Karena kadang, pidato hanyalah mukadimah dari rencana penjarahan yang dibungkus rapi dengan kata-kata "demi rakyat".

Jika museum ini terus hidup dan berkembang, maka setidaknya kita tahu: masih ada ruang di negeri ini yang menolak lupa. Masih ada suara sekecil apapun yang berkata: cukup sudah. Cukup dijajah dari dalam. Cukup ditipu oleh senyum diplomatis dan jabat tangan pencitraan.

Karena keadilan tidak butuh panggung. Ia hanya butuh keberanian untuk menatap wajah penjahat, dan berkata: kami tahu, dan kami tidak akan diam.

Inilah ironi paling cemerlang bangsa kita: keadilan baru terasa nyata, setelah dijadikan pajangan. (Dwi Taufan Hidayat)

Komentar