Basa-Basi Seleksi, Pengkondisian Calon Pimpinan KPK yang Bisa Kompromi Korupsi

ASKARA – Proses seleksi calon pimpinan (Capim) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2024-2029 menuai kritik tajam dari Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka menilai bahwa proses seleksi yang dilakukan Komisi III DPR dan Panitia Seleksi (Pansel) cacat sejak awal dan didominasi oleh kepentingan politik.
“Proses ini hanya basa-basi. Pansel lebih memilih calon dengan kedekatan personal kepada Presiden Jokowi daripada kandidat yang memiliki rekam jejak kuat dalam pemberantasan korupsi. Banyak nama dengan integritas tinggi justru dipinggirkan,” tegas Julius Ibrani dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).
Kritik lainnya diarahkan pada tahapan wawancara dan fit and proper test yang dianggap hanya formalitas. “Tidak ada pendalaman terkait isu krusial seperti fluktuasi harta kekayaan, benturan kepentingan, atau langkah konkret pembenahan internal KPK. Proses ini hanya meloloskan calon yang cenderung kompromistis terhadap korupsi,” tambah Julius.
Sorotan utama Koalisi tertuju pada pernyataan Johanis Tanak, salah satu Capim yang terpilih. Dalam fit and proper test, Johanis menyatakan keinginannya untuk menghapus Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK karena dianggap tidak sesuai dengan KUHP baru. Pernyataan ini memicu kekhawatiran serius.
“Pernyataan Johanis Tanak menunjukkan ia tidak memahami efektivitas OTT sebagai alat pemberantasan korupsi. Bahkan, ini bisa jadi indikasi adanya transaksi politik yang menjadikan KPK kehilangan taringnya,” ujar Julius.
Lebih parahnya lagi, pernyataan Johanis tersebut mendapat tepuk tangan meriah dari anggota Komisi III DPR. “Dukungan terhadap penghapusan OTT ini menunjukkan minimnya komitmen DPR dalam memberantas korupsi,” kritik Alvin Nicola dari Transparency International Indonesia.
Koalisi juga mengkritik dominasi aparat penegak hukum (APH) dalam komposisi pimpinan KPK yang terpilih. “KPK awalnya dibentuk karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak efektif dalam pemberantasan korupsi. Namun, sekarang justru diisi oleh mereka yang rekam jejaknya juga tidak membuktikan keberhasilan di lembaga sebelumnya,” tambah Alvin.
Koalisi menyesalkan bahwa masukan dari masyarakat sipil terkait rekam jejak calon diabaikan oleh DPR. Bahkan, mereka menyebut proses pemilihan berlangsung secara tertutup dan tidak transparan bagi elemen masyarakat.
“Kami menyerukan masyarakat untuk terus mengawal KPK. Tanpa kontrol publik, KPK hanya akan menjadi harimau tanpa taring, kehilangan fungsi utamanya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi,” tutup Julius.
Komentar