Meregulasi Ojek Online: Kepastian Hukum untuk Layanan Aman dan Nyaman di Indonesia
ASKARA - Akhir-akhir ini, muncul kembali protes dari para pengemudi ojek online yang menuntut keadilan atas pekerjaan mereka sebagai pengemudi dan mitra aplikator. Mereka mengeluhkan rendahnya pendapatan yang disebabkan oleh tarif rendah serta potongan komisi aplikasi yang mencapai 20%. Para pengemudi ini melakukan aksi besar, meminta pemerintah untuk campur tangan agar tarif dinaikkan dan komisi aplikasi dikurangi. Para pengemudi juga berharap pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam status pekerjaan mereka.
Tuntutan ini mendapatkan perhatian dari Menteri Perhubungan, yang menyatakan akan segera mengeluarkan peraturan yang melindungi para pengemudi ojek online. Sebelumnya, pada tahun 2019, telah diterbitkan Peraturan Menteri Perhubungan No.12 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat. Namun, peraturan ini lebih berfokus pada aspek keselamatan, sementara aspek pengakuan legal terhadap layanan ojek online sebagai alat transportasi umum masih menjadi perdebatan.
Dalam keterangan Azas Tigor Nainggolan, Rabu (18/9), peraturan yang ada saat ini belum memberikan pengakuan resmi terhadap ojek online sebagai bagian dari sistem transportasi umum di Indonesia. Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak mengakui sepeda motor sebagai alat transportasi umum, yang menjadi dasar bagi lemahnya regulasi terhadap layanan ini. Azas menekankan bahwa perlu adanya regulasi baru yang mengakui dan mengatur ojek online sebagai alat transportasi publik demi memberikan kepastian hukum dan melindungi hak-hak pengemudi serta konsumen.
Selain itu, Azas juga menyoroti pernyataan Menteri Tenaga Kerja menjelang Hari Raya Lebaran 2024, yang menghimbau agar aplikator transportasi online memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pengemudi. Hal ini menunjukkan adanya miskonsepsi terkait status pengemudi sebagai mitra, bukan pekerja. Azas menegaskan bahwa hal ini perlu diselaraskan dengan regulasi yang jelas agar hak-hak pengemudi dapat dilindungi dengan adil.
Lebih lanjut, Azas menilai bahwa ojek online merupakan inovasi dari ojek pangkalan yang sebelumnya sudah ada di Indonesia. Dengan bantuan teknologi, layanan ojek online memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat. Namun, tanpa regulasi yang jelas, bisnis ini rentan terhadap eksploitasi, baik dari sisi pengemudi maupun konsumen. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk segera merumuskan regulasi yang mengakui keberadaan ojek online sebagai alat transportasi umum, guna memastikan layanan yang aman, nyaman, dan terlindungi secara hukum.
Dalam pandangannya, Azas menggunakan tiga teori hukum utama dalam menganalisis isu ini, yaitu Teori Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial dari Roscoe Pound, Teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman, dan Teori Tujuan Hukum dari Gustav Radbruch. Ketiga teori ini relevan untuk menganalisis dampak pembentukan hukum terhadap perilaku sosial dan sistem hukum di Indonesia, khususnya dalam konteks bisnis ojek online.
Akhirnya, Azas Tigor Nainggolan mengajak pemerintah untuk segera menindaklanjuti pengaturan hukum terkait ojek online. Hal ini penting demi membangun sistem transportasi yang lebih baik, serta memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam bisnis transportasi online di Indonesia.
Komentar