Sabtu, 27 April 2024 | 18:04
SELEBRITAS

Membangun Negeri Melalui Kata

Inspirasi dan Dedikasi Bakhsan Parinduri untuk Budaya Mandailing

Inspirasi dan Dedikasi Bakhsan Parinduri untuk Budaya Mandailing
Bakhsan berdiei tengah (DokWinda)

Oleh: Winda Lestari

Mahasiswi Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB University

 

ASKARA - Perkenalan penulis dengan tokoh yang dibahas dalam tulisan ini cukup unik, yaitu sekitar awal Oktober 2020, yang mana pada waktu itu penulis masih menduduki bangku SMA 2 Plus Kabupaten Mandailing Natal. Suatu ketika, beliau datang ke sekolah, melatih kami Tari Tor-Tor Naposo-Naulibulung, yaitu satu tarian etnik tradisi Mandailing. Pelatihan dilakukan secara intensif dalam satu minggu setelah proses belajar-mengajar usai. Pak Bakhsan Parinduri bahkan berjanji jika hasil pelatihan maksimal maka kami akan tampil di Kota Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Tidak mengecewakan, pada Sabtu, 31 Oktober 2020, group kami ditampilkan di Tiara Convention.

Muhammad Bakhsan Parinduri, ada yang menyebutnya seniman, sastrawan atau seorang budayawan Mandailing dilahirkan di Desa Tombang Bustak 10 November 1964, hari yang sama dengan peringatan Hari Pahlawan. Setelah menikah dianugerahi dengan gelar adat Jasinaloan, sebuah penghormatan yang diturunkan dalam adat Mandailing bagi laki-laki yang menikah. Meskipun lahir di desa kecil, Pak Bakhsan tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan yang kaya akan budaya dan tradisi.

Pendidikan awal beliau dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas di Kotanopan, sebelum melanjutkan studi ke Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU), dan kemudian melanjutkan lagi ke Universitas Negeri Medan (UNIMED). Sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara, Pak Bakhsan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian, yang kemudian membentuk dasar pemikiran dan karakter beliau dalam menjalani kehidupan.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Pak Bakhsan Parinduri pernah menjadi guru dan dosen sebelum akhirnya menekuni bidang kebudayaan sebagai seorang budayawan. Sebagai seorang budayawan, Pak Bakhsan berkomitmen untuk menjaga dan mempromosikan warisan budaya Mandailing. Meskipun kini berdomisili di Deli Serdang, Medan, Pak Bakhsan tetap mengabdikan dirinya untuk memperkaya dan memperkuat identitas budaya Mandailing di mana pun dia berada.

Pada masa kecilnya di kampung, terutama saat perayaan lebaran, Pak Bakhsan telah disajikan dengan berbagai kegiatan budaya yang meriah. Kotanopan menjadi pusat kebudayaan selama hari raya, dengan pertunjukan gordang sambilan, sandiwara, tarian tor-tor, dan acara budaya lainnya yang menghiasi bulan tersebut. Sejak kecil, Pak Bakhsan telah tertarik pada semua itu. Beruntung, sebagian besar keluarganya terlibat dalam pertunjukan gordang sambilan, dan dia pun diajari bermain alat musik tersebut sejak dini. Ketika beranjak remaja, Pak Bakhsan semakin menunjukkan minatnya dalam dunia seni. Dia mahir bermain gitar dan bahkan meraih juara dalam perlombaan PORSENI di Tapanulli Selatan. Tidak hanya itu, Pak Bakhsan juga berhasil menjadi juara dalam menari tor-tor dari SMP hingga SMA. Di SMA Negeri Kotanopan, ia bahkan merintis sebuah band (BOSMAN) atau Band Osis SMA Negeri Kotanopan dan menjadi pemimpin band tersebut. Sementara itu, ketertarikannya pada literatur juga semakin berkembang. Bakhsan menjadi redaktur dalam pembuatan majalah dinding selama tiga tahun di SMA, menunjukkan bakatnya dalam menulis dan mengorganisasi. Semua pengalaman ini memberikan fondasi yang kuat bagi Pak Bakhsan untuk berkembang menjadi seorang budayawan yang berdedikasi pada pelestarian dan penyebaran budaya Mandailing.

Ketika tiba di Medan, Pak Bakhsan disadarkan akan perbedaan antara kehidupan di kota dengan desa kelahirannya, di mana pada saat itu budaya Mandailing seringkali terabaikan dan kalah pamor dibandingkan dengan etnik lain. Sebuah momen penting dalam perjalanannya adalah ketika ia dihadapkan pada tugas menulis tentang buku etnik, yang ditugaskan oleh dosen Bahasa Indonesia, (Ibu Nurhayati Lubis) yang juga berasal dari Mandailing. Namun, Pak Bakhsan kesulitan menemukan literatur tentang budaya Mandailing, sehingga ia tidak mendapatkan nilai memuaskan untuk tugas tersebut. Dari pengalaman ini, ia bertekad untuk memberikan kontribusi yang lebih besar bagi budaya Mandailing. Sebagai hasil dari janji atau nazar yang diucapkannya pada awal perkuliahan, bahwa jika diberi kesempatan, ia akan menulis sepuluh buku tentang Mandailing, Bakhsan memutuskan untuk memenuhi nazar tersebut. Hingga tahun 2023, tekad yang diucapkannya pada tingkat pertama perkuliahan telah dikabulkan, bahkan kini ia telah menulis sebelas buku tentang budaya Mandailing. Diantaranya:

1. Lebih Jauh tentang Willem Iskander (2011)

2. Novel Mangirurut (2013)

3. Buras Lopo Mandailing (2013)

4. Panduan Markobar (2014)

5. Simomosan (Panduan Penulisan Surat Tulak-Tulak) (2016)

6. Kamus Mandailing Indonesia (2019)

7. Kearifan Mandailing dalam Tradisi Lisan (2019)

8. Filosofi Mandailing dalam 1339 Ajar Poda (2020)

9. Biografi Keteladanan H. Sati Lubis (2020)

10. Pengabdian Sepanjang Hayat Kombes Pol. (purn) H. Syamsir A. Loebis, S.H. (2021)

11. Bahasa Mandailing (Pandasoran) (2023)

Dalam menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kesibukan sebagai budayawan serta penulis, Pak Bakhsan menemukan inspirasi dari ajaran dalam surah al-alaq ayat 1, yang menekankan pentingnya membaca. Baginya, menulis adalah manifestasi akhir dari proses mengamati, mendengar, dan membaca, di mana pengalaman tersebut dituangkan ke dalam tulisan. Ketertarikannya pada literasi dan kegemarannya membaca telah membentuknya menjadi seorang kutu buku selama masa kuliah. Di kelas, ia sering menjadi penggerak dalam diskusi kelompok, dengan catatan bahwa bukunya harus dipinjamkan kepadanya. Hal ini turut mengembangkan koleksi buku yang dimilikinya. Sebagai seorang sarjana, Pak Bakhsan merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan tradisi Mandailing yang hampir punah. Tugasnya untuk menulis sepuluh buku tentang budaya Mandailing menjadi sebuah komitmen yang harus dipenuhi. Keberuntungan membawanya bertemu dengan tokoh-tokoh budaya terkenal selama masa kuliahnya, memperluas wawasan dan pengalaman dalam bidang tersebut. Kesehariannya terbagi dalam tiga kegiatan utama yaitu kuliah, menjadi tentor di sebuah bimbingan belajar selama 30 tahun, dan menekuni kegiatan budaya. Semua dilakukan dengan disiplin tinggi, sehingga ia mampu mengatur waktu denganefektoif dan efisien.

Dalam mengembangkan bakat dan kemampuan seninya, Pak Bakhsan telah menjalani peran penting dalam beberapa grup seni sebelumnya. Bahkan saat masih menjadi mahasiswa, kehadirannya dalam sebuah grup seni akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi nama grup tersebut. Namun, pengalaman itu mendorongnya untuk melihat potensi lebih besar dalam mengelola seni secara profesional. Ia menyadari bahwa dengan pendekatan profesional, sebuah grup seni dapat dikelola dengan lebih terhormat, dengan latihan rutin yang akan meningkatkan kompetensi setiap anggotanya. Sambil menjalani pekerjaan, ia secara bertahap melengkapi perlengkapan budaya untuk mendukung visinya ini, meskipun menyadari bahwa investasi dalam perlengkapan seperti gordang sambilan dapat sangat mahal, mencapai puluhan juta rupiah. Dari pengalaman sebagai pemain dan anggota berbagai grup budaya, Bakhsan membangun cita-cita untuk memiliki sebuah sanggar seni yang terkelola dengan baik, dengan anggota yang berkualitas. Kelompok seni professional tersebut bernama RAPTAMA yang dibentuk pada tahun 2000.

Dalam menjalani karir sebagai budayawan, Pak Bakhsan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang tidak jarang dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalanan tersebut. Baginya, setiap tantangan merupakan peluang untuk tumbuh dan berkembang, sebuah rintangan yang harus diatasi dengan tekad dan keberanian. Meskipun telah meluangkan puluhan tahun untuk melatih dan membagi pengetahuan tentang budaya Mandailing, Pak Bakhsan sering kali merasa minimnya apresiasi terhadap upaya tersebut, terutama dari pihak-pihak yang seharusnya menjadi pembela dan pelindung budaya. Komersialisasi menjadi fokus utama, mengungguli kepentingan untuk melestarikan dan mendokumentasikan tradisi. Di samping itu, kurangnya penghargaan dan perhatian terhadap budayawan yang telah lama berkontribusi dalam bidang kebudayaan menjadi salah satu hambatan yang cukup disayangkan. Perayaan-perayaan resmi pun seringkali luput dari mengundang budayawan untuk memberikan kontribusi atau memperoleh penghargaan atas jasa para penjaga tradisi. Padahal, di zaman dulu dalam tradisi Mandailing, kelompok budayawan memiliki peran yang sangat dihormati dan dianggap sebagai bagian penting dari upacara adat. Namun, seiring berjalannya waktu, peran budayawan semakin terpinggirkan, hanya dianggap sebagai penghibur semata, sehingga kehilangan esensi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari norma budaya. Meski demikian, bagi Pak Bakhsan, hal-hal tersebut bukanlah hambatan utama. Baginya, tugas sebagai seorang budayawan atau warga Mandailing adalah bagaimana dia dapat terus berbuat, mempertahankan, dan mendokumentasikan warisan budaya Mandailing demi keberlangsungan dan kelestariannya.

Pencapaian yang paling membanggakan bagi Pak Bakhsan adalah setiap kali buku yang ditulisnya terbit, karena buku-buku tersebut selalu dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah di seluruh Kabupaten Mandailing Natal, sehingga dapat diakses oleh banyak orang. Baginya, ketika pengetahuan budaya yang ia tulis dapat dinikmati dan diapresiasi oleh orang banyak, itu merupakan pencapaian yang lebih berharga daripada sekadar sertifikat penghargaan. Selain itu, menjadi pemandu acara dalam berbagai pesta adat, termasuk pernikahan putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang dengan Bobby, yang menggunakan adat Mandailing, juga menjadi momen bersejarah dalam karirnya. Meskipun sempat menolak karena bertabrakan dengan jadwal mengajar di salah satu sekolah internasional tempat beliau mengajar, Pak Bakhsan akhirnya mendapat izin untuk menghadiri dan memandu acara tersebut, yang merupakan pesta terbesar di Indonesia. Di samping itu, sanggar budaya yang dipimpinnya sudah tampil sebanyak 556 kali dan sering dipercaya menjadi EO adat dalam berbagai acara besar, termasuk pesta pernikahan, karena peralatan budaya Mandailing yang lengkap dan kemampuannya dalam menyusun rundown serta memberikan pelatihan kepada peserta acara. Mengenai buku-buku yang ditulisnya, dari buku ke-4 hingga ke-11 didukung oleh donatur, seperti saudara-saudara orang Mandailing yang turut berpartisipasi dalam mewujudkan Kamus Bahasa Mandailing, (1243 halaman) sebuah karya monumental yang ia kerjakan selama 11 tahun.

Pak Bakhsan merasa terdorong untuk menulis buku-buku tentang budaya Mandailing karena menyadari urgensi untuk melestarikan warisan budaya tersebut. Baginya, jika tidak dituliskan, budaya Mandailing akan kehilangan jejaknya dan semakin terancam punah karena telah mengalami perubahan yang signifikan dari aslinya. Bahkan, novel terakhir yang mengangkat tema budaya Mandailing telah ditulis 80 tahun sebelumnya, sebelum Pak Bakhsan memulai penulisannya setelah menyelesaikan studi sarjana. Ini menunjukkan kebutuhan akan karya-karya sastra dan dokumentasi budaya yang lebih baru untuk memperkaya literatur tentang budaya Mandailing. Baginya, menulis buku, termasuk kamus, adalah cara untuk menjaga kelestarian bahasa Mandailing, yang dianggapnya sebagai laboratorium budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan salah satu unsur utama dari kebudayaan, dan keberadaannya yang terjaga akan membantu mempertahankan aspek-aspek lain dari budaya Mandailing. Meskipun kamus Mandailing yang ditulisnya sudah tersebar hingga ke Belanda dan Jerman, Pak Bakhsan merasa prihatin karena minat terhadapnya lebih tinggi di kalangan ilmuwan non-Mandailing daripada di kalangan orang Mandailing sendiri. Namun, ia merasa terpenuhi karena bukunya telah banyak digunakan sebagai referensi dalam penulisanilmiah, seperti skripsi, tesis, dan  disertasi.

Melalui karya-karyanya, Pak Bakhsan ingin menyampaikan pesan tentang pentingnya melestarikan dan memahami warisan budaya Mandailing. Baginya, budaya Mandailing memiliki peran penting dalam menciptakan kehidupan yang damai dan indah sebelum masuknya agama Islam. Adat budaya menjadi landasan bagi kehidupan mereka, namun dengan munculnya agama, hubungan antara agama dan budaya menjadi sangat penting. Baginya, agama dan ibadah haruslah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang dikatakan dalam pepatah Mandailing "ombar do adat dohot ibadah". Namun, banyak nilai-nilai budaya dan adat yang hanya tersimpan dalam literasi lisan dan rentan terhadap perubahan atau kesalahpahaman dalam penyampaian pesan. Untungnya, Pak Bakhsan memiliki akses ke berbagai sumber literatur lama tentang Mandailing, yang membantunya dalam menulis buku-bukunya. Rutinitas menulis setiap malam selama dua jam telah menjadi kebiasaan Pak Bakhsan, dengan harapan karyanya dapat menjadi pedoman bagi guru, tokoh adat, dan generasi muda. Selain itu, Pak Bakhsan juga berbagi pengetahuan tentang budaya Mandailing melalui saluran YouTube-nya, sebagai upaya untuk menyebarkan pengetahuan budaya kepada semua orang. Namun, ia merasa bahwa pelestarian bahasa daerah, termasuk bahasa Mandailing, adalah tanggung jawab bersama sebagai sarjana budaya, mengingat banyaknya bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah.

Dalam proses kreatifnya, Pak Bakhsan mengutamakan hal-hal yang dianggap penting dan bernilai sejarah, seperti saat ia menulis tentang Willem Iskandar, tokoh pertama Indonesia yang belajar keguruan di Belanda, serta mendirikan sekolah di Tano Bato, yang merupakan sekolah keguruan pertama di Indonesia. Melihat pentingnya karya-karya tersebut, Pak Bakhsan memfasilitasi terjemahan karya-karya Willem Iskandar ke dalam bahasa Indonesia agar dapat dipahami oleh orang lain. Selain itu, ia juga menulis novel berjudul "Mangirurut" yang mengangkat cerita tentang budaya pada masa akhir penjajahan Belanda, dengan harapan dapat lebih mudah memperkenalkan budaya melalui narasi yang menarik dan romantis. Pak Bakhsan juga mencatat praktik dan panduan upacara adat Mandailing, serta membuat kumpulan cerita lucu yang sering dibicarakan di warung kopi, sebagai bentuk penulisan yang tetap relevan dan menghibur. Meneliti dan menulis tentang hal-hal bersejarah yang masih eksis di Mandailing juga menjadi bagian dari kreativitasnya, serta membagikan kisah inspiratif dari orang-orang di sekitarnya melalui buku.

Pak Bakhsan memiliki beberapa proyek dan karya terbaru yang ingin dibagikan, salah satunya adalah buku tentang Tor-Tor. Dalam karyanya ini, ia akan mengulas perbedaan antara Tari Tor-Tor yang asli dengan yang ada saat ini, serta menyampaikan etika yang tak tertulis dalam tarian tersebut. Selain itu, permintaan banyak orang juga mendorongnya untuk menulis Kamus Budaya. Seperti buku-buku sebelumnya, kedua karya ini juga akan dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah setelah diterbitkan.

Bagi generasi muda yang ingin berkarya di bidang budaya Mandailing, Pak Bakhsan memberikan beberapa saran berharga. Pertama, ia menekankan pentingnya pendidikan sebagai fondasi utama dalam menjaga dan mengembangkan adat dan budaya. Pendidikan ini dapat membantu masyarakat memahami nilai-nilai budaya yang baik, sehingga menciptakan kebiasaan yang sesuai dengan adat dan budaya Mandailing. Di samping itu, ia juga menyoroti bahwa banyak generasi muda terpengaruh oleh hal-hal negatif yang jauh dari nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, ia mendorong para pemuda yang ingin berkarya di bidang budaya untuk lebih memperdalam pengetahuan mereka tentang budaya, misalnya dengan menempuh pendidikan di fakultas budaya. Pak Bakhsan menegaskan bahwa dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki tentang budaya, generasi muda dapat mencapai hal yang baik, bahkan sampai tampil di kota-kota besar. Dari perjalanan hidup dan karya-karya yang telah dilakukan, Pak Bakhsan mengajarkan bahwa pelestarian budaya Mandailing membutuhkan komitmen dan kerja keras dari semua pihak, terutama generasi muda yang ingin memperkaya dan mempertahankan warisan budaya tersebut untuk masa depan.

 

Komentar