Selasa, 30 April 2024 | 05:15
NEWS

Di Ultah Maporina ke 24, Prof. Rokhmin Dahuri Paparkan Urgensi Pembangunan Kedaulatan Pangan

Di Ultah Maporina ke 24, Prof. Rokhmin Dahuri Paparkan Urgensi Pembangunan Kedaulatan Pangan
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA - Dalam rangka Ulang Tahun Masyarakat Petani dan Pertanian Organik Indonesia (MAPORINA) ke 24 digelar Sarasehan dan Seminar Nasional  Kolaborasi Untuk  "Mewujudkan Kemandirian Pangan" di Hotel Lombok Raya, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin, 26 Februari 2024.

Hadir pembicara antara lain: Menko Perekonomian, Dr.(HC). Ir.Airlangga Hartanto, Pj Gubernur Provinsi NTB,  Drs. lalu Gita Aryadi, M.Si, Guru Besar IPB University: Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS , dan Ketua Umum Maporina,  Subandriyo. Serta hadir pakar dan ahlinya di bidang masing masing.

Saat menjadi keynote speaker, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS memaparkan urgensi pembangunan kedaulatan  pangan bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa Indonesia (Indonesia Emas 2045)

Dalam perspektif ekonomi, untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045, Indonesia harus mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang: (1) tinggi (rata-rata lebih dari 7% per tahun), (2) berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja, 400 ribu orang per 1%pertumbuhan), (3) inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat secara adil, dengan income lebih dari USD 480 (Rp 7,5 juta)/orang/bulan secara berkeadilan), dan (4) berkelanjutan  (sustainable).                             

"Selain itu, dengan penduduk 280 juta jiwa (terbesar ke-4 di dunia), Indonesia harus berdaulat pangan,  farmasi, energi,  dan mineral. Dan, Indonesia mesti melaksanakan Transformsasi Struktural Ekonomi (TSE)," ujar Prof. Rokhmin Dahuri dalam paparannya bertajuk "Penguatan ketahanan pangan Berbasis potensi kelautan Indonesia".

Lanjutnya, untuk menjalankan roda pembangunan (TSE) yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi seperti diatas,dan kedaulatan keempat material diatas, Indonesia membutuhkan: (1) SDM berkualitas unggul (knowledge, skills, expertise, etos kerja,dan akhlak karimah), (2) Good Governance, (3) Masyarakat Meritokrasi, (4) Rule of Laws, dan (5) Pemimpin yang memiliki IMTAQ kokoh, capable, berakhlak mulia, dan strong.

Prof. Rokhmin Dahuri yang juga Dewan Pakar Maporina (Masyarakat Petani dan Pertanian Organik Indonesia) ini menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat: Pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. I + E > K + Im, Koefisien Gini kurang dari 0,3 (inklusif), Ramah lingkungan dan berkelanjutan. “Dalam hal ini, SDM unggul bergantung pada asupan makanan yang bergizi dan sehat, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, R & D (Litbang), penyuluhan, dan agama,” tuturnya.

Pangan, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi karena sangat menentukan status gizi, kesehatan, dan kecerdasan seorang insan. Karena itu, kata Prof. Rokhmin Dahuri, sangatlah tepat bila Pre­siden RI pertama, Soekarno, saat berpidato pada peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian IPB di Bogor tahun 1952 menyam­pai­kan pernyataan prophetic bahwa "You are, what you eat" (pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa).

Dalam jangka panjang, kekurangan pangan dan gizi buruk akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). "Dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju, sejahtera, dan berdaulat," kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan, di era Perubahan Iklim Global dan Disrupsi Rantai Pasok Global akibat Perang Rusia vs Ukraina, Genosida Israel atas Palestina, dan ketegangan geopolitik global lainnya, menempatkan Kedaulatan Pangan sebagai suatu keniscayaan. Menurutnya, suatu negara dengan penduduk lebih  dari 100 juta jiwa akan sulit untuk bisa maju, sejahtera, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor (FAO, 2000).

Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, sektor pembangunan bidang pangan (Pertanian, Kelautan dan Perikanan, dan Kehutanan) mestinya bukan hanya mampu menjadikan Indonesia berswasembada pangan, tetapi juga ‘feeding the world’.

Sayangnya, sejak 2014 – 2023, pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5% per tahun, pengangguran (pekerja sektor informal) meningkat, kemiskinan masih tinggi 9,4% - 37%, kesenjangan ekonomi (kaya vs miskin)             kian memburuk, disparitas pembangunan antar wilayah sangat tinggi (hampir 60% PDB disumbangkan oleh P. Jawa).

Lalu stunting dan gizi buruk masih tinggi, ketahanan pangan rendah, kualitas SDM relatif rendah, mayoritas petani dan nelayan masih miskin,    dan kerusakan lingkungan & SDA semakin masif. "Pasti ada something wrong dengan cara-cara kita mengelola Pembangunan Pangan dan Pembangunan Bangsa kita selama ini !" tandasnya.

Penasehat Ahli  Bidang Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu itu juga menjabarkan perbandingan pertumbuhan  ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan Koefisien GINI antara sebelum dan Masa Pandemi Covid-19.

Perhitungan  angka kemiskinan atas  dasar garis kemiskinan versi BPS (2023), yakni pengeluaran Rp 580.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa garis kemiskinan yang tidak munafik digariskan oleh Bank Dunia 2,5 dolar  AS/orang/hari atau 75 dolar AS/orang/bulan (Rp 1.125.000)/orang/bulan), "Maka orang Indonesia yang miskin pada 2023 sebesar 111 juta jiwa (37% total penduduk) dan disitulah sebagian besar buruh, petani dan nelayan," tegas Dosen Kehormatan Mokpo National Univesity Korea Selatan itu.

Bahkan, sambungnya, dalam riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity (CCSU) pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. “Kalah dari negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand,” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Hingga 2022, terangnya, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. “Sedangkan Indeks daya saing global,  Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN,” ucap Profesor Emeritus, Shinhan University, Korea Selatan itu.

Sementara itu, mengutip UNDP (2023), Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, Indeks pembangunan  manusia hingga  2021, Indonesia berada  diurutan  ke-114 dari 191 negara, atau   peringkat ke-5 di ASEAN. Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020).

“Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022.

Definisi Pangan (UU No.18/2012 tengan Pangan)

Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang menjelaskan, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,  peternakan, perairan, dan air.

“Baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia; termasuk bahan tambaham Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman,” katanya.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia. “Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3  PDB Nasional saat ini,” jelas Prof. Rokhmin Dahuri.

Pangan fungsional dapat digolongkan menjadi produk alami (buah dan sayur); produk yang diubah (biji-bijian dan serat); produk yang diperkaya (penambahan vitamin dan mineral); produk yang diperkaya (seperti probiotik) atau produk yang disempurnakan (telur dengan peningkatan asam lemak omega-3 atau salmon dengan peningkatan lemak bermanfaat asam) (Kaur dan Singh, 2017).

Konsumen semakin mencari solusi holistik untuk membantu mencegah penyakit kronis dan mengoptimalkan kesehatan (Khan et al., 2013). Hal ini menyebabkan munculnya segmen pasar baru pada produk makanan fungsional yang tumbuh sekitar 10% per tahun. “Diperkirakan pada tahun 2020 pasar pangan fungsional global akan bernilai $192 miliar dolar AS (Euromonitor 2016),” kata jelas Dosen Kehormatan Mokpo National University itu.

Selanjutnya, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, untuk lapangan kerja 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia. Pada 2014 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan  Islandia), kontribusinya kurang dari 30%.

Rokhmin menyebutkan, sektor kelautan dan perikanan telah menyediakan sekitar 20 juta lapangan kerja (15,2% angkatan kerja negara) yang terdiri dari nelayan laut 2,7 juta orang, nelayan air tawar 0,5 juta orang, budidaya perikanan 6,8 juta orang (pembudidaya ikan), dan 10 juta orang bekerja di sektor hulu. dan industri hilir perikanan tangkap dan budidaya perikanan.

“Dengan demikian, walaupun dari sudut pandang makroekonomi, kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap perekonomian negara masih sangat rendah, hanya 2,8 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), namun kontribusinya terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia dan perekonomian riil negara sudah cukup besar dan penting,” tandasnya.

Kontirbusi sektor perikanan 2,74% terhadap PDB hanya dihitung dari bahan baku (raw materials).  Bila dimasukkan produk olahannya (ikan kaleng, ikan fillet, bandeng presto, breaded shrimp, dan surimi-based products), kontribusinya sekitar 6% (Bappenas, 2014). “Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia sejatinya memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama),” katanya.

Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan, Indonesia merupakan salah satu negara perikanan utama dan terpenting di dunia. Dengan potensi perikanan budidaya yang sangat besar, dan hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 20% dari total potensinya. “Sejak tahun 2009-2020, Indonesia menjadi produsen budidaya perikanan ke-dua terbesar setelah Cina,” ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia periode 2001 – 2004 itu.

Komoditas (Output) Budidaya Perikanan

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahurii memeberkan Komoditas (Output) Budidaya Perikanan, antara lain: a) Peran dan fungsi budidaya perairan secara konvensional menyediakan: (1 protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan ikan air lainnya biota; dan (4) perhiasan seperti tiram mutiara dan organisme akuatik lainnya.

b) Peran dan fungsi akuakultur non-konvensional (di masa depan): (1) pakan berbahan dasar alga; (2) produk pangan fungsional, farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme air lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan lainnya biota perairan; (5) pariwisata berbasis budidaya perikanan; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global.

Dengan demikian, aquaculture (perikanan budidaya) tidak hanya memproduksi jenis-jenis ikan, krustasea, dan moluska sebagai sumber  protein hewani,  tetapi juga jenis-jenis biota (organisme). Perairan lain sebagai sumber functional food (makanan kesehatan), beragam jenis bahan baku (raw materials) untuk industry farmasi, kosmetik, cat, biofuel, dan lainnya.

Bahkan seiring dengan pesatnya kemajuan IPTEK; khususnya bioteknologi (genetic engineering, genome editing), nanoteknologi, dan teknologi digital; di China dalam decade terakhir sudah berhasil membudidayakan padi di ekosistem laut. “Artinya, aquaculture berperan memproduksi tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat,” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

 

Komentar