Minggu, 28 April 2024 | 02:20
OPINI

Mengenal Multikulturalisme dari Pelopor Million Friends Zero Enemy

Mengenal Multikulturalisme dari Pelopor Million Friends Zero Enemy
SBY (Dok Twitter SBY)

Oleh: Salma Noorfitria Ningrum *

Pada lanskap globalisasi yang serba cepat, kondisi sosio-politik yang berkembang, dan populasi yang bervariasi, setiap pemimpin dalam sektor apapun dituntut untuk memiliki keterampilan global dalam beradaptasi dan memimpin lintas budaya. Menurut Jung dan Keeney (2018), kebutuhan akan empati, toleransi, dan frekuensi energi yang pas bagi pemimpin dalam menghadapi tantangan yang ada dan memahami identitas plural semakin meningkat. Mereka harus memiliki perspektif sebagai seorang pemimpin modern dan mampu mengapresiasi unsur-unsur budaya yang berbeda terhadap dirinya ketika berhadapan dengan masyarakat.

Million Friends Zero Enemy

Million Friends Zero Enemy merupakan wujud nyata untuk menghargai perbedaan dan rangkulan atas kebersamaan yang dipelopori oleh seorang pemimpin sektor publik sekaligus pernah menjabat sebagai RI 1 pada dua periode (2004-2014), Susilo Bambang Yudhoyono. Slogan untuk meraih sejuta kawan dengan tanpa musuh tersebut hadir dalam menunjukkan bagaimana negara Indonesia yang dipimpinnya mampu menjalin persahabatan ke segala penjuru dunia pada situasi yang sedang tidak stabil. Ia memandang kedinamisan dunia dapat menjadi seimbang dengan netralitas dan memungkinkan adanya kerjasama antar budaya yang saling menguntungkan. Susilo Bambang Yudhoyono, atau akrab disapa SBY, membawa kepemimpinan multikultural yang ia miliki dengan penuh makna dan menerapkan kebijakan luar negeri Indonesia yang melekat dengan slogan tersebut. 

Kepemimpinan Multikultural

Dilansir dari Ghani (2020), kepemimpinan multikultural didefinisikan sebagai kemampuan  individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain dari beragam budaya yang berbeda dapat memberikan kontribusinya. Budaya atau kultur yang dimaksud adalah cipta, karsa, dan karya dari orang tersebut seperti suku, ras, agama, bahasa, serta ideologi. 

Dampak budaya terhadap kepemimpinan serta efektivitas pemimpin dan prosesnya telah diuji sebagai teori oleh Global Leadership and Organizational Behavior Effectiveness (GLOBE). Penelitian GLOBE memiliki tujuan utama untuk mengembangkan ukuran budaya dan atribut pemimpin dalam masyarakat yang sesuai untuk digunakan di berbagai budaya. Hasilnya menyatakan bahwa terdapat sembilan dimensi budaya yang mampu membedakan masyarakat untuk pemimpin dapat mengakomodasinya. Sembilan dimensi budaya tersebut adalah jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, orientasi manusiawi, kolektivisme dalam kelompok, kolektivisme institusional, ketegasan, egalitarianisme gender, orientasi kinerja, dan orientasi masa depan.

SBY dan Multikulturalisme

Kepemimpinan multikultural SBY sendiri tidak terbatas dari slogan Million Friends Zero Enemy yang dikeluarkannya. Kepemimpinan multikulturalnya dapat tercermin melalui perspektif dan sikap yang telah ia tunjukkan sesuai dengan sembilan dimensi budaya dalam berinteraksi dengan masyarakat Indonesia maupun negara lain. 

Dari jarak kekuasaan, SBY menyadari bahwa terdapat distribusi kekuasaan dan pemberian hak-hak yang tidak merata terhadap daerah-daerah tertentu di Indonesia, misalnya daerah Papua. Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan Papua, ia mengajukan rekonstruksi otonomi khusus dengan mengutamakan kesejahteraan serta sisi kultural Papua. Ia juga bersedia menerima kunjungan negara-negara yang gencar melakukan pergerakan simpatisan Papua Merdeka, Melanesian Spearhead Group (MSG) di luar Vanuatu, ke Papua dan berdialog bersama mereka terkait isu hak asasi manusia pada tahun 2014. 

Selain itu, SBY yakin Indonesia secara umum dapat senantiasa adaptif dalam penghindaran ketidakpastian yang terjadi pada dunia. Sejalan dengan navigating a turbulent ocean yang dikemukakannya, perkembangan globalisasi yang turbulen layaknya samudera bergejolak harus diantisipasi oleh Indonesia untuk menghadapi interdependensi internasional. 

Melalui bukunya yang berjudul Dunia Damai Jika Keadilan Tegak (2020), orientasi manusiawi SBY mengacu pada kepemimpinan yang melibatkan secara bebas dan aktif dalam menjunjung perdamaian. Perdamaian tidak sepatutnya hanya dipahami sebagai ketiadaan perang dan kekerasan, melainkan lebih kepada hadirnya rasa keadilan sosial, hukum, dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Keadilan adalah jembatan yang dapat menjaga pondasi persatuan bangsa Indonesia.

Indonesia di era SBY mengedepankan kolektivisme dalam kelompok (internal Indonesia) dan kolektivisme institusional (Indonesia dengan eksternal), dimana Indonesia bangga sebagai bangsa yang demokratis dan disaat yang sama dapat membuka diri ke ranah global. Meskipun menghadapi risiko disintegrasi, balkanisasi, dan krisis ekonomi yang serius pada awal reformasi, Indonesia akhirnya memiliki kekuatan baru dengan citra positif dan banyak ikut mengambil peran di lingkup internasional. Peran Indonesia pada saat itu di dalam forum multilateral termasuk menjadi Ketua ASEAN 2011, Ketua APEC 2014, Ketua Presidium MDGs, dan anggota G20. Diplomasi kemitraan yang berbentuk kemitraan komprehensif dan strategis dilakukan dengan beberapa negara secara terikat untuk saling berkolaborasi dan menghormati budaya serta integritas wilayah masing-masing. 

Membuka diri bukan berarti tidak tegas. Ketegasan dapat mencakup dari sejauh mana pemimpin dapat bersifat asertif dan objektif dibandingkan dengan kooperatif dan penuh kasih sayang (Ayu, 2018). Ketegasan SBY terlihat ketika ia menetapkan aturan bagi setiap pejabat di Indonesia harus mundur jika ada yang ditetapkan sebagai tersangka tindakan pidana tanpa melihat latar belakang pejabat tersebut. SBY juga tegas dan berani untuk menghentikan sementara kerjasama militer dengan Australia yang pernah menyadap komunikasi presiden Indonesia serta menyelidikinya. 

SBY memperhatikan egalitarianisme gender dengan mengaktualisasikan upaya peningkatan kesetaraan gender dalam pembentukan tim peninjau peraturan daerah yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan dan melahirkan kebijakan ramah gender, seperti Perpres No 7 tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Rancangan Pembangunan Nasional Transisi Tahun 2005-2006, serta Renstra Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2005-2009. Keterlibatan perempuan di dalam parlemen dan kabinet SBY turut mengalami kenaikan menjadi 11% dari jumlah pejabat dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.

Di dalam visinya yang terkait dengan orientasi kinerja dan masa depan Indonesia, SBY menjunjung tinggi pertumbuhan berkelanjutan dan pelaksanaan tanggungjawab yang berkualitas, ditandai dengan adanya kewajiban untuk setiap anggota kabinetnya mengisi pakta integritas dalam bekerja di lingkungan pemerintahan. Integritas dalam pemerintahan yang terjamin dapat memupuk kepercayaan publik di masyarakat (Rahayu dan Juwono, 2018). SBY juga mendukung terjadinya inovasi dalam membangun lingkungan riset Indonesia yang progresif berbasis teknologi melalui penciptaan lembaga bernama Komite Inovasi Nasional atau saat ini lebih dikenal sebagai Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Dengan slogan Million Friends Zero Enemy dan penunjangan terhadap sembilan dimensi budaya diatas, SBY terbukti mampu mengintegrasikan pluralitas budaya dalam kepemimpinan multikulturalnya, mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan kemaslahatan masyarakat Indonesia, serta menciptakan hubungan yang baik dengan menghargai kebhinekaan negara-negara lain di tingkat global. 

Namun, konsep multikulturalisme dan netralitas dalam membangun relasi kenegaraan tersebut juga harus mengedepankan pendirian dari prinsip-prinsip yang menjadi identitas bangsa. Indonesia dapat tetap memiliki jati dirinya tanpa terlepas dan terpengaruhi oleh budaya atau negara lain. Hambatan dan masalah akan selalu datang dalam mengancam keutuhan persatuan Indonesia, sehingga pemimpin penerus yang dapat memelihara kesatuan dalam kemajemukan budaya tanah air dibutuhkan untuk menjaga integrasi bangsa Indonesia ketika menghadapi ancaman di masa yang akan datang. 

 

* Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

Komentar