Minggu, 12 Mei 2024 | 01:01
NEWS

Di Forum ICFA 2023, Prof. Rokhmin Dahuri Bahas Potensi Ekonomi Biru di Era Perubahan Iklim Global

Di Forum ICFA 2023, Prof. Rokhmin Dahuri Bahas Potensi Ekonomi Biru di Era Perubahan Iklim Global
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MS

ASKARA - Kita hidup dalam Revolusi Industri Keempat (Industri 4.0), Krisis Tiga Ekologis (Pencemaran, Hilangnya Keanekaragaman Hayati, dan Perubahan Iklim Global), dan meningkatnya era Ketegangan Geopolitik Global yang semakin ditandai dengan VUCA : Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambiguous.

Demikian dikatakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MS  pada Konferensi Internasional Perikanan dan Budidaya Perairan ke-10 tahun 2023 bertema “Menuju Peningkatan Ketahanan Iklim Budidaya Perikanan dan Perikanan dalam Ekonomi Biru”, di Institut Internasional Manajemen Pengetahuan, Selasa
24 Oktober 2023 di Bali.

"Di dunia yang tidak dapat diprediksi dan penuh kekacauan ini, hanya sedikit hal yang dapat dipastikan. Namun ada satu hal yang dapat kita yakini secara relatif: bahwa permintaan yang tidak dapat terpuaskan akan produk dan jasa dengan kualitas lebih tinggi akan terus meningkat, sementara pada saat yang sama ketersediaan sumber daya alam yang diperlukan untuk memenuhi permintaan tersebut semakin berkurang atau akan semakin berkurang. tetap terbatas," ujar Prof. Rokhmin Dahuri dalam makalahnya yang berjudul “Penerapan Ekonomi Biru Untuk Pembangunan Perikanan Budidaya dan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Era Perubahan Iklim Global".

Disisi lain, lanjutnya, permintaan terhadap produk dan jasa yang berkualitas semakin meningkat didorong oleh meningkatnya jumlah populasi manusia, daya beli masyarakat, dan gaya hidup yang konsumtif. Permintaan terhadap produk dan jasa tidak hanya mencakup kebutuhan dasar manusia yang meliputi pangan, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan.

"Namun juga kebutuhan sekunder dan tersier seperti transportasi, telepon seluler, komputer, kosmetik, kesehatan, rekreasi, dan pariwisata," jelas Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan RI 2020 - 2024.

Menurutnya, dunia perlu memproduksi setidaknya 50% lebih banyak pangan untuk memberi makan 9 miliar orang pada tahun 2050. Namun perubahan iklim dapat mengurangi hasil panen hingga lebih dari 25%. 

Lahan, keanekaragaman hayati, lautan, hutan, dan bentuk-bentuk kekayaan alam lainnya sedang mengalami pengikisan pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

"Kecuali kita mengubah cara kita menanam pangan dan mengelola sumber daya alam, ketahanan pangan—terutama bagi kelompok termiskin di dunia—akan terancam (Bank Dunia, 2016)," katanya.

Maka, terangnya, untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat; seluruh sektor pembangunan termasuk perikanan budidaya dan perikanan tangkap harus mampu meningkatkan produksi, produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, sejak awal abad ke-20, perikanan tangkap dan akuakultur telah memainkan peran penting dalam menyediakan pangan (terutama protein hewani), meningkatkan nutrisi dan pola makan yang sehat, menciptakan lapangan kerja (kesempatan kerja), dan mengentaskan kemiskinan di seluruh dunia.

Pada tahun 2020, produksi perikanan tangkap dan akuakultur mencapai rekor tertinggi sepanjang masa sebesar 214 juta ton yang terdiri dari 178 juta ton hewan air dan 36 juta ton alga, senilai sekitar USD 424 miliar.

Produksi fauna akuatik (ikan, krustasea, dan moluska) pada tahun 2020 60 persen lebih tinggi dibandingkan rata-rata pada tahun 1990an, jauh melampaui pertumbuhan populasi manusia dunia, terutama karena peningkatan produksi akuakultur.

"Pada tahun 2009-2020, Indonesia menjadi produsen perikanan budidaya terbesar ke-2 di dunia setelah Tiongkok," ujar Prof. Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, konsumsi global makanan perairan (tidak termasuk alga) telah meningkat rata-rata sebesar 3 persen sejak tahun 1961, dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan populasi manusia sebesar 1,6 persen.

"Kita mengonsumsi lebih banyak makanan akuatik dibandingkan sebelumnya, sekitar 22,2 kg per kapita pada tahun 2020 – lebih dari dua kali lipat tingkat konsumsi 50 tahun yang lalu," kata Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan.

Sementara itu, kata Prof. Rokhmin Dahuri, secara global, pangan akuatik (ikan dan biota akuatik lainnya) yang dihasilkan melalui perikanan tangkap dan akuakultur menyediakan sekitar 17 persen protein hewani, dan mencapai lebih dari 50 persen di beberapa negara di Asia.

Di Indonesia, ungkapnya, sekitar 65 persen dari total asupan protein hewani masyarakat Indonesia berasal dari fauna akuatik (Kementerian Kesehatan, 2010).
Meningkatnya pendapatan dan urbanisasi, peningkatan teknologi dan praktik pascapanen, serta perubahan tren pola makan diperkirakan akan mendorong peningkatan konsumsi makanan akuatik sebesar 15 persen, sehingga memasok rata-rata 21,4 kg per kapita pada tahun 2030 (FAO,

Sektor perikanan (perikanan tangkap dan budidaya perikanan) menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 58,5 juta orang dalam produksi primer (kegiatan di lahan pertanian) saja, dimana sekitar 21 persennya adalah perempuan. Termasuk pekerja subsisten dan sektor sekunder (industri hulu dan hilir), dan tanggungan mereka, diperkirakan sekitar 600 juta mata pencaharian bergantung setidaknya sebagian pada perikanan tangkap dan akuakultur.

Sedangkan, perdagangan internasional komoditas dan produk perikanan tangkap dan akuakultur menghasilkan sekitar USD 151 miliar pada tahun 2020, turun dari rekor tertinggi sebesar USD 165 miliar pada tahun 2018 yang sebagian besar disebabkan oleh pandemi Covid-19 (FAO, 2022).

Maka, terangnya, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan populasi manusia, meningkatnya pendapatan, meningkatnya kesadaran mengenai manfaat kesehatan yang lebih baik dari makanan akuatik (ikan dan makanan laut) dibandingkan makanan yang hanya dikonsumsi (misalnya daging sapi, ayam, dan babi), dan stagnasi atau penurunan produksi peternakan dan pertanian di seluruh dunia. tanah; peran perikanan budidaya dan perikanan tangkap dalam menjamin ketahanan pangan dan nutrisi, menyediakan lapangan kerja, dan mengentaskan kemiskinan akan menjadi lebih penting di masa depan.

"Total produksi hewan akuatik diperkirakan akan mencapai 202 juta ton pada tahun 2030 terutama karena pertumbuhan budidaya perikanan yang berkelanjutan, yang diproyeksikan mencapai 100 juta ton untuk pertama kalinya pada tahun 2027 dan 106 juta ton pada tahun 2030," tandasnya.

Perikanan tangkap global diproyeksikan akan pulih, meningkat sebesar 6 persen dari tahun 2020 hingga mencapai 96 juta ton pada tahun 2030 sebagai hasil dari perbaikan pengelolaan perikanan; sumber daya yang kurang ditangkap; dan mengurangi pembuangan, limbah, dan kerugian.

Pengertian Akuakultur

Menurut definisi, tegas Prof. Rokhmin Dahuri, Akuakultur adalah budidaya (produksi) ikan bersirip, krustasea, moluska, invertebrata, alga, tumbuhan, dan organisme lain melalui penetasan dan/atau pemeliharaan dalam ekosistem perairan.
(Parker, 1998).

Adapun ancaman krisis pangan global tersebut didasari atas populasi dunia yang terus meningkat dan pendapatannya (daya beli), sementara pada sisi lain kerusakan alam dan perubahan iklim juga konflik sosial politik yang terjadi di berbagai wilayah sehingga pengembangan peternakan dan pertanian juga terkendala oleh alih fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan lahan lain, polusi, degradasi lingkungan ekosistem darat, dan konflik sosial.

“Tingkat pemanfaatan (produksi) budidaya, khususnya di lingkungan laut (budidaya laut) dan pesisir (budidaya air payau), jauh lebih rendah dari total potensi produksinya. Sementara itu, produksi perikanan tangkap dunia mengalami stagnasi (leveling-of), sekitar 90 juta ton/tahun, sejak pertengahan tahun 1980 (FAO, 2018),” ujarnya.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, akuakultur bukanlah ‘roket science’ dan bukan bisnis padat modal sehingga bisnis akuakultur pada dasarnya bisa dijalankan oleh kebanyakan orang, bagus untuk mengatasi pengangguran.

“Secara umum, kegiatan budidaya merupakan sektor ekonomi yang menguntungkan dan terbarukan yang sebagian besar berada di wilayah laut, pesisir, pulau kecil, dan pedesaan, baik untuk mengentaskan kemiskinan, memperkuat ketahanan pangan, mengurangi kesenjangan pembangunan daerah antara perkotaan vs pedesaan, dan mencapai SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan),” terangnya.

Menurut definisi, tegas Prof. Rokhmin Dahuri, akuakultur tidak hanya menghasilkan ikan bersirip, krustasea, moluska, dan rumput laut; tetapi juga invertebrata, dan flora dan fauna lainnya (FAO, 1998).

Oleh karena itu, akuakultur sebenarnya merupakan sektor pembangunan yang tidak hanya menghasilkan komoditas pangan sebagai sumber protein hewani (misalnya ikan bersirip, krustasea, dan moluska), tetapi juga: (1) komoditas pangan sebagai sumber karbohidrat (beras dan tanaman pangan lainnya);

(2) komoditas seperti invertebrata, mikroalga, dan organisme air lainnya sebagai sumber bahan baku (senyawa bioaktif) untuk makanan & minuman fungsional, industri farmasi, pengecatan, dan industri lainnya; (3) komoditas sebagai sumber bahan bakar nabati (misalnya alga mikro); (4) komoditas perhiasan; dan komoditas lainnya untuk berbagai kegunaan lainnya.

Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan peran dan fungsi konvensional akuakultur menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota air lainnya; dan (4) perhiasan seperti tiram mutiara dan organisme air lainnya.

Sedangkan peran dan fungsi akuakultur non-konvensional (masa depan): (1) pakan berbasis alga; (2) produk farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme akuatik lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan biota air lainnya; (5) wisata berbasis perikanan budidaya; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global.

Ancaman Terhadap Perikanan Tangkap dan Akuakultur

Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, terlepas dari peran dan fungsi penting perikanan tangkap dan akuakultur untuk makanan, keamanan, pembangunan ekonomi, dan kemakmuran; kelestarian perikanan tangkap mengalami tekanan luar biasa dari berbagai pembangunan (manusia) kegiatan seperti praktik penangkapan ikan yang merusak; penangkapan ikan berlebihan; IUU (Ilegal, Tidak Diatur, dan tidak dilaporkan) penangkapan ikan; polusi; degradasi fisik mangrove, padang lamun, karang terumbu karang, sungai, danau, dan ekosistem perairan alami lainnya; dan berbagai dampak negatif perubahan Iklim Global.

"Indonesia menempati peringkat kelima dari 159 negara dalam Indeks IUU Fishing tahun 2021 dengan skor 4,0 dari 5. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih berisiko tinggi terhadap IUU Fishing," katanya.

Selain itu, jelasnya, dalam empat dekade terakhir akuakultur telah menjadi industri dengan pertumbuhan tercepat dibandingkan ke sektor penghasil pangan lainnya, seperti pertanian, peternakan, dan penangkapan perikanan. 

Seperti disebutkan di atas bahwa akuakultur tidak hanya diharapkan menjadi masa depan keamanan pangan, tetapi juga untuk pasokan (produksi) produk farmasi yang berkelanjutan, energi, bioplastik, dan komoditas dan produk lainnya. Namun, polusi dari yang lain bidang pembangunan (kegiatan manusia) maupun dari kegiatannya sendiri berupa sisa-sisa pakan, pupuk, enzim, dan zat lain dapat berbahaya bagi reproduksi, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup ikan budidaya dan biota air lainnya. Penggunaan bukan SPF (Specific Pathogen Free) dan SPR (Specific Pathogen Resistance) larva (biji) dikombinasikan dengan air berkualitas rendah (tercemar) sering mengakibatkan wabah penyakit, dan pada gilirannya gagal panen.

"Diperkirakan lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia tinggal di sepanjang garis pantai dengan ketinggian kurang dari 5 meter di atas permukaan laut. 
Pada akhir abad ke-21 angka ini diperkirakan meningkat menjadi 400 hingga 500 juta," ujar anggota Dewan Penasehat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman.

Pengertian Dan Arti Ekonomi Biru

Mengutif pendapatnya sendiri, menurut Prof. Rokhmin Dahuri, definisi Ekonomi Biru (Blue Economy) adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (up land area) yang memanfaatkan sumber daya alam pesisir dan lautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan umat manusia secara berkelanjutan.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan pengertian Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru.

Sejak pertengahan tahun 1980an, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk memperbaiki kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) antara lain: 1 miliar warga dunia berada dalam kemiskinan ekstrem, 3 miliar orang masih miskin, 800 juta orang kelaparan, meningkatnya kesenjangan ekonomi, dan tiga krisis ekologi (polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan Pemanasan Global) (UNEP, 2011; Bank Dunia, 2022).

Mengutip UNEP (2011), ia mengemukakan, Green Economy  (Eokonomi Hijau) adalah ekonomi yang dibangun dan digerakkan oleh aktivitas manusia (produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi) yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon), menggunakan sumberdaya alam  (SDA) secara efisien (resource efficient), dan secara sosial hasilnya dapat dinikmati oleh umat manusia secara adil (socially inclusive). Sedanagkan Blue Economy (Ekonomi Biru) adalah aplikasi Ekonomi Hijau di sektor-sektor ekonomi kelautan (UNEP, 2011). 

Ekonomi Biru adalah pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan manusia, serta sekaligus menjaga kesehatan dan keberlanjutan ekosistem laut (Bank Dunia, 2016). Ekonomi Biru adalah semua kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan lautan dan pesisir. Hal ini mencakup berbagai sektor ekonomi mapan dan sektor baru (EC, 2020).

Ekonomi Biru juga mencakup manfaat ekonomi kelautan yang mungkin tidak dapat diukur dengan uang, seperti Penyerapan Karbon, Perlindungan Pesisir, Keanekaragaman Hayati, dan Pengatur Iklim (Conservation International, 2010).

Prof. Rokhmin Dahuri juga menyebut ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menerapkan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik ramah lingkungan; (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif; (3) dan pengaturan kelembagaan yang proaktif untuk mencapai tujuan ganda yaitu melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi.

Domain Ekonomi Biru

Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, potensi Blue Economy Indonesia sangat besar.  

Total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN tahun 2022 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional tahun 2022.

“Blue Economy Indonesia bisa menyediakan lapangan kerja untuk  45 juta orang atau 30 persen  total angkatan kerja Indonesia,” tuturnya.

Namun, potensi yang amat besar itu belum dimaksimalkan.  Sebagai contoh, kata Prof Rokhmin Dahuri, pada tahun 2018, kontribusi ekonomi kelautan terhadap PDB Indonesia berkisar 10,4%. "Negara lain yang potensi kelautannya lebih sedikit (seperti Thailand, Korea Selatan, Jepang, Maladewa, Norwegia, dan Islandia), memberikan kontribusi >30%," papar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Sayangnya, penerapan blue economy di Indonesia yang masih belum optimal padahal memiliki potensi yang sangat besar untuk pembangunan bangsa. Prof. Rokhmin Dahuri memperkirakan ada sejumlah hal yang mendasarinya. Salah satunya adalah masyarakat Indonesia yang enggan keluar dari  zona nyaman. “Orang Indonesia senang di zona nyaman. Nyaman dengan budi daya konvensional lalu tidak ada pengembangan,” ujarnya.

Mitigasi Perubahan Iklim adalah tindakan apa pun yang diambil untuk secara permanen menghilangkan atau mengurangi risiko dan bahaya jangka panjang perubahan iklim terhadap kehidupan manusia dan harta benda. 

Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) mendefinisikan mitigasi sebagai: “Intervensi antropogenik untuk mengurangi sumber atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca"

Pemerintah Indonesia telah secara sukarela berjanji untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 26% melalui usahanya sendiri, dan hingga 41% dengan dukungan internasional, dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa pada tahun 2030.
Indonesia telah mengumumkan instrumen hukum dan kebijakan yang relevan, termasuk rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (PERPRES) No. 61/2011 dan inventarisasi GRK

Adaptasi Perubahan Iklim mengacu pada kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim (termasuk variabilitas dan iklim ekstrem) untuk mengurangi potensi kerusakan, memanfaatkan peluang, atau mengatasi konsekuensinya IPCC mendefinisikan adaptasi sebagai, “penyesuaian sistem alam atau manusia terhadap lingkungan baru atau perubahan. 

"Adaptasi terhadap perubahan iklim mengacu pada penyesuaian sistem alam atau manusia sebagai respons terhadap rangsangan iklim aktual atau yang diharapkan atau dampaknya, yang mengurangi dampak buruk atau memanfaatkan peluang yang menguntungkan," ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Komentar