Minggu, 28 April 2024 | 22:45
NEWS

YLBHI Desak Negara Beri perlindungan bagi Para Pembela HAM

YLBHI Desak Negara Beri perlindungan bagi Para Pembela HAM
Ketum YLBHI Muhammad Isnur (ist)

ASKARA – Pada 7 September 2004, enam tahun pasca Reformasi 1998 Munir dibunuh. Ia meninggal di bawah langit Rumania. Persidangan kasus pembunuhan Munir menghasilkan divonisnya Pollycarpus selama 14 tahun penjara.

Putusan pengadilan mengatakan, Polly "Turut Melakukan Pembunuhan Berencana”. Artinya ada aktor lain di luar dirinya yang mengarah pada keterlibatan negara sebagai otak pembunuhan Munir. Namun sampai sekarang kasusnya masih sama sekali belum mendapatkan titik terang. 

Munir mulai terlibat dalam perjuangan HAM saat kekuasaan Rezim Militer Soeharto. Ia memilih jalan penegakan hukum, konstitusi, dan HAM sebagai sebuah gerakan politik. Munir dalam banyak kesempatan menghadapi kekuatan militer, termasuk aktor kunci pembunuhan terhadapnya, AM Hendropriyono. Pelanggar HAM kasus Talangsari, Lampung dan beberapa kasus besar lainnya. 

Demikian dipaparkan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur kepada para wartawan, Kamis (7/9).

Di tahun 2021, ungkap Isnur, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menetapkan 7 September sebagai Hari Pembela HAM Nasional. 

"Bertepatan dengan hari di mana Munir Meninggal, namun dua tahun setelah penetapan, dan 19 tahun pasca Munir meninggal, otak pembunuhan masih bebas tak tersentuh. Malah dua aktor intelektualnya, A.M. Hendropriyono dan Muchdi Purwoprandjono tercatat dirangkul oleh pemerintahan Jokowi. 

Impunitas kasus tersebut, jelas Isnur, membuat Munir bukan pembela HAM terakhir yang bebas dari resiko diserang oleh negara. 

Pasca Munir, tutur Isnur, berbagai rentetan serangan terhadap pembela HAM masih berlanjut. .

"Rentetan serangan terhadap pembela HAM tersebut terjadi terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar karena mengekspos bisnis elit militer di Papua yang menghasilkan pelanggaran HAM secara meluas. Terdapat pula Novel Baswedan yang disiram air keras karena kegigihan mengungkap kasus korupsi. Budi Pego yang dikriminalisasi dengan pasal peninggalan Orde Baru yang berisikan larangan penyebaran ajaran Komunisme-Leninisme karena menolak tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi. Selain itu terdapat pula kriminalisasi terhadap aktivis Trio Pakel dan Trio Kinjil," papar Isnur

Sejak tahun 2019-2023, beber Isbur, YLBHI dan LBH Kantor menangani sekitar 83 kasus penyerangan terhadap pembela HAM dengan 532 pembela HAM yang menjadi korban. 

"Penyerangan ini termasuk juga kriminalisasi, kekerasan fisik, ancaman, hingga doxing dan peretasan akun personal. Bahkan pada 2 tahun terakhir, 2 kantor LBH diserang secara fisik; kantor LBH Yogyakarta dilempar bom molotov pada tahun 2021 dan teror kebakaran di kantor LBH Papua pada tahun 2022," urai Isnur.

Menurut Isnur, deretan panjang kasus penyerangan terhadap pembela HAM semakin banyak terjadi, dengan pola dan cara yang baru. 

"Data YLBHI dalam penelitian terbaru menemukan, pada konflik Sumber Daya Alam (SDA) khususnya pada Proyek Strategis Nasional, terdapat setidaknya 195 orang dalam 43 kasus kriminalisasi di 106 konflik SDA dan PSN di 10 Provinsi di Indonesia," kata Isnur.

Isnur menilai, rantai penyerangan terhadap pembela HAM yang tak kunjung putus tersebut menunjukkan impunitas membuat latah. 

"Para elit dengan suprastrukturnya dapat dengan bebas mengancam bahkan menyerang pembela HAM tanpa harus takut dimintai pertanggung jawaban hukum. Impunitas dan sikap latah tersebut semakin kuat dengan tidak adanya kepastian hukum sebagai payung pelindung para pejuang HAM. Maka menciptakan payung hukum pelindung tersebut merupakan wacana yang mendesak untuk segera direalisasikan oleh negara," terang Isnur.

Pada momentum Hari Pembela HAM tahun 2023 ini, tegas Isbur, YLBHI mendesak: 

1. Pemerintah Republik Indonesia untuk segera memberikan kepastian hukum untuk perlindungan dan keselamatan para Pembela HAM
2. Komnas HAM untuk segera membuka transparansi penyelidikan atas kasus Munir
3. Pemerintah menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM Berat

Komentar