Senin, 13 Mei 2024 | 23:18
NEWS

Hadiri HUT Ke-6 Aspeksindo, Prof. Rokhmin Dahuri: Blue Economy Tingkatkan Daya Saing Menuju Indonesia Emas 2045

Hadiri HUT Ke-6 Aspeksindo, Prof. Rokhmin Dahuri: Blue Economy Tingkatkan Daya Saing Menuju Indonesia Emas 2045
Ketua Dewan Pakar Aspeksindo Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

ASKARA –  Asosiasi Pemerintah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (Aspeksindo) menggelar peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-6  di Gedung Nusantara V, DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat, 11 Agustus 2023. Dalam kesempatan tersebut, Ketua Dewan Pakar Aspeksindo Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS membahas tentang “Pembangunan Blue Economy Untuk Peningkatan Daya Saing Dan Pertumbuhan Ekonomi Yang Inklusif Dan Berkelanjutan  Menuju Indonesia Emas 2045.”

Dalam paparannya, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, Indonesia memiliki modal dasar yang lengkap dan besar untuk menjadi bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat. Jumlah penduduk 278 juta orang (terbesar keempat di dunia) dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah, dan dapat bonus demografi dari 2020 -2040 merupakan potensi human capital (daya saing) dan pasar domestic yang luar biasa.

”Sebagai catatan, untuk pertama kali dalam sejarah NKRI Pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10% yakni 9,2 persen dari total penduduk. Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2022 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 9,6% atau sekitar 26,4 juta orang. Dari 200 negara PBB di dunia, hanya 17 negara dengan PDB US$ > 1 trilyun,'' ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University itu.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, status Pembangunan Beberapa Negara ASIA  berdasarkan GNI (Gross National Income) per kapita (dolar AS) pada 2021. Sayangnya, pada Juli 2021, Indonesia turun kelas kembali menjadi negara menengah bawah.  Hingga Juli 2023, kata Prof, Rokhmin Dahuri, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas dengan GNI 4,580.

Mengutip Institute for Global Justice, ungkapnya, sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing. Dia menyebutkan, kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017).  Dari 2005 – 2014, 10% orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun. “Dari 200 negara PBB di dunia hanya 16 negara dengan PDB US$ lebih dari 1 trilyun,” tuturnya.

Lalu, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan sejumlah permasalahan  dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2022), yakni pengeluaran Rp 580.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2,5 dolar AS/orang/hari atau 75 dolar AS/orang/bulan (Rp 1.125.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2023 sebesar 111 juta jiwa (40% total penduduk).

“Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%,” terang Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Sekarang, sambungnya, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016). Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur).

Deindustrilisasi terjadi di suatu negara, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI  (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536. “Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%. Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” katanya.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting.  Bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022).

Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, menurut UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” tutur Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Kemudian, terang Prof. Rokhmin Dahuri, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020).

“Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut,” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022.

Bahkan, sambungnya, menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%). Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

Hingga 2022, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat: Pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. I + E > K + Im, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif), Ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Hingga 2022, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN.

Masalah lainnya kekurangan rumah sehat dan layak huni. Dari 65 juta Rumah Tangga, menurut data BPS tahun 2019 dimana 61,7 persen tidak memiliki rumah layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terang Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, I + E K + Im. Ketiga, Koefisien Gini 0,3 (inklusif). Keempat, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Bahkan, sambungnya, menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%). Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

Tujuh Kebijakan Pembangunan TSE untuk Indonesia

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri menterjemahkan definisi tujuh kebijakan pembangunan TSE. Yakni: 1. Dari dominasi eksploitas SDA dabn ekspor komoditias (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur atau Hilirisasi (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor Tersie) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).

2. Dari dominasi impor dan konsumsi ke investasi, produksi,  dan ekspor. 3. Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sedangkan ciri Ekonomi Modern, kata sebut Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan tersebut, antara lain: Pertama, ukuran unit usaha memenuhi economy of scale. Kedua, menerapkan ISCMS (Integrated Supply Chain Management System). Ketiga, Menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai Supply Chain System dan Keempat, mengikuti prinsip-prinsip Sustainable Development.

Keempat, Revitalisasi industry manufacturing yang unggul sejak masa Orba: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan produk tekstil), (3) Elektronik, ($) Otomotif, (5) Pariwisata, dan lainnya. Kelima, Pengembangan industry manufacturing baru: EBT, Semikonduktor, CHIPS, Baterai Nikel, Electrical Vehicle, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi, Kreatif, dan lainnya.

Keenam, Pengembangan berbagai ekonomi dan industry di Luar Jawa, Wilayah Perdesaan, dan Wilayah Perbatasan. Ketujuh, semua pembangunan ekonomi (butir 1 s/d 4) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Digital (Industry 4.0) serta TKDN  lebih 70%.

“Adapun ekonomi kelautan (marine economy) adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Mengutip World Bank, 2016, ia mengemukakan, Blue Economy (Ekonomi Biru)  adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan  secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut.

Blue Economy adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor-sektor ekonomi mapan (established sectors) dan sektor-sektor ekonomi yang baru berkembang (emerging sectors) (EC, 2020).

Blue Economy juga mencakup manfaat ekonomi kelautan yang mungkin belum bisa dinilai dengan uang, seperti Carbon Sequestrian, Coastal Protection, Biodiversity, dan Climate Regulator (Conservation International, 2010).

Lebih lanjut Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, Ekonomi Biru (Blue Economy). “Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia secara berkelanjutan.”

Kenapa sektor blue economy sangat strategis untuk dikembangkan di Indonesia? Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, potensi Blue Economy Indonesia sangat besar.  Total potensi 11 sektor Blue Economy Indonesia adalah 1,348 triliun dolar AS/tahun. "Jika potensi ini dimanfaatkan maka mampu menyetap lapangan kerja sebanyak 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia,” ungkapnya.

Sayangnya potensi yang amat besar itu belum dimaksimalkan. “Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya  lebih dari  30 persen,” papar Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menjabarkan, contoh betapa hebatnya raksasanya potensi ekonomi daribudidaya udang Vanammei. Potensi lahan pesisir yang cocok untuk budidaya udang Vanammei sekitar 3 juta hektare (ha).

Jika dalam lima tahun dikembangkan 0,5 juta ha (17%) untuk budiaya intensif Udang Vanammei dengan padat tebar 60 PL (benur)/m2, produktivitas sekitar 40 ton/ha/tahun.

Hitungannya, produksinya adalah 500.000 ha x 40 ton/ha/tahun maka akan menghasilkan panen udang sebanya 20 juta ton/tahun atau setara 20 miliar kg/tahun. Dengan demikian, pendapatan kotor yang dihasilkan adalah 20 miliar kg/tahun x US$ 5/kg = US$ 100 miliar/tahun yakni senilai Rp 1.350 triliun/tahun (50% APBN 2018) atau 10% pertumbuhan.

Enam Belas Kebijakan Pembangunan

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan tentang rincian enam belas kebijakan pembangunan. Antara lain: 1. Penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI: (1) penyelesaian batas wilayah laut (UNCLOS 1982) dengan 10 negara tetangga; (2) penguatan & pengembangan sarpras hankam laut; dan (3) peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan nasionalisme aparat.

2. Penguatan dan pengembangan diplomasi maritim. 3. Revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh sektor dan usaha (bisnis) Ekonomi Kelautan yang ada sekarang (existing).

4. Pengembangan sektor-sektor Ekonomi Kelautan baru, seperti: industri bioteknologi kelautan, shale and hydrate gas, fiber optics, offshore aquaculture, deep sea fishing, deep sea mining, deep sea water industry, dan floating city.

5. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di wilayah pesisir sepanjang ALKI, pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan, dengan model Kawasan Industri Maritim Terpadu berskala besar (big-push development model), Ramah Lingkungan dan SOSBUD

6. Penguatan dan pengembangan konektivitas maritim: TOL LAUT dan konektivitas digital: a) Revitalisasi dan pengembangan armada kapal yang menghubungkan pelabuhan utama (hub ports), dari ujung barat sampai ujung timur NKRI: Sabang – Kuala Tanjung – Batam - Tj. Priok – Tj. Perak – Makassar –  Kendari - Bitung – Morotai – Sorong – Ambon - Kupang – Teluk Bayur; dan pelabuhan-pelabuhan pengumpan (feeder ports).

b) Revitalisasi dan pembangunan pelabuhan baru sebagai tambat labuh kapal, basis logistik, dan kawasan industry;  c) Pembangunan transportasi multimoda (sungai, darat, kereta api, atau udara) dari pelabuhan ke wilayah darat (upland areas, dan pedalaman);  d) Konektivitas digital: fiber optics, 4G, 5G, dan internet.

“Kapal Terbesar Di Dunia China Shipping Container Lines (Cscl) Globe Apabila 19.100 kontainer direntangkan panjangnya bisa mencapai 115,2 km atau kurang lebih seperti jarak Jakarta-Cianjur (114 km) atau Jakarta-Pamanukan (119 km),” kata anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu,

7. Semua unit usaha sektor Ekonomi Kelautan harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of scale); (2) integrated supply chain management system; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai suplai, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

8. Seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (Zero Carbon): solar, pasang surut, gelombang, angin, biofuel, dan lainnya.

9. Eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan. 10. Pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity).

11. Mitigasi dan adaptasi terhadap Global Climate Change, tsunami, dan bencana alam lainnya. 12. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan. 13. Penguatan dan pengembangan R & D guna menguasai, menghasilkan, dan menerapkan IPTEKS.

14. Penciptaan iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif dan atraktif. 15. Peningkatan budaya maritim bangsa.  16. Kebijakan politik-ekonomi (fiskal, moneter, otoda, hubungan pemerintah dan DPR, penegakkan hukum, dll) yang kondusif: Policy Banking (Bank Maritim) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menjabarkan, Indonesia perlu menerapkan pembangunan perikanan budidaya yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan. Menurutnya, tantangan penguatan industri kelautan dan perikanan di Indonesia, diantaranya suku bunga pinjaman bank masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, dan fungsi intermediasi (alokasi kredit) untuk sektor tersebut sangat rendah.

“Dari total alokasi kredit perbankan nasional, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya mencapai sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp2,6 triliun. Sementara alokasi kredit tertinggi diberi ke sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 26,94 persen, “ tuturnya.

Di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 12,6 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (8,7 persen), Thailand (6,3 persen), China (5,6 persen), Filipina (5,5 persen), dan Malaysia (4,6 persen).  “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Industri Bioteknologi Perairan

Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan industry bioteknologi perairan, diantaranya: 1. Pengembangan bioprospecting dan ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota perairan untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya;

2. Genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul: SPF (Specific Pathogen Free), SPR (Specific Pathogen Resistance), dan Cepat Tumbuh (Fast Growing); 3. Rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar; 4. Konservasi: genetik, spesies, dan ekosistem.

Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan tersebut mengemukakan Rekayasa Genetik (Genetic Engineering), yaitu, penerapan rekayasa genetik dalam industri bioteknologi kelautan, mengarah kepada bioteknologi di bidang akuakultur

Rekayasa genetik banyak digunakan pada ikan konsumsi (salmon, udang, nila, dll) maupun ikan hias (zebra, tetra, dll) untuk menghasilkan ikan (biota laut) unggul sesuai keinginan seperti: bebas penyakit (SPF), tahan terhadap serangan penyakit (SPR), fast growing, tahan terhadap perubahan lingkungan, merubah karakteristik biokimia dari daging ikan (cita rasa), mengubah jalur metabolisme (efisiensi pakan), dll.

Diakhir paparannya, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan 6 Peran & Fungsi Aspeksindo. Antara lain: Pertama, Menarik turis, Investor, dan Talenta. Kedua, Meningkatkan alokasi APBN. Ketiga, Membawa teknologi dan menejemen. Keempat, Membangun sinergi dan kolaborasi antar anggota. Kelima, Capacity building SDM Kelautan, dan keenam, Kebijakan dan regulasi kondusif bagi kinerja Ekonomi Kelautan.

Komentar