Jumat, 26 April 2024 | 21:44
NEWS

Di Forum Dewan Pakar, Prof Rokhmin Dahuri Bahas Peran Muhammadiyah Dalam Mitigasi Perubahan Iklim Global

Di Forum Dewan Pakar, Prof Rokhmin Dahuri Bahas Peran Muhammadiyah Dalam Mitigasi Perubahan Iklim Global
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS berbicara pada Forum Dewan Pakar Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah

ASKARA - Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menyampaikan, perspektif Islam dalam menghadapi perubahan iklim. Antara lain: Pertama, manusia sebagai individu maupun kelompok (masyarakat, bangsa) harus mengendalikan atau menurunkan laju konsumsi SDA beserta segenap produk turunannya.

“Kedua, manusia sebagai individu maupun kelompok (masyarakat, bangsa) harus mengendalikan atau menurunkan laju emisi GRK dan pembuangan limbah (padat dan cair) ke alam,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri disampaikan pada Forum Dewan Pakar Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah “Peran dan Penguatan Gerakan Muhammadiyah Dalam Mitigasi Perubahan Iklim” di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa, 30 Mei 2023.

Ketiga, sambungnya, cara-cara (teknologi) dalam eksplorasi, pemanfaatan (eksploitasi, produksiA) SDA, pengolahan, distribusi dan marketing SDA harus ramah lingkungan. Keempat, design and construction with Nature, dan kelima, Implementasi pola hidup sederhana, care and share.

“Kelima prinsip diatas diwajibkan dan merupakan sunah dalam Islam (Al-Qur’an dan Hadits),” sebut Prof. Rokhmin Dahuri dalam paparannya bertema “Pendekatan Teknologi, Politik, Dan Teologis Dalam Mitigasi Dan Adaptasi  Perubahan Iklim Global”.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri mengutip QS. Al A’raf ayat 56, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya,” sambungnya, mengutip QS. Al A’raf  ayat 96.

Prof. Rokhmin Dahuri juga menguraikan hadits, antara lain: 1. “Makanlah ketika terasa lapar, dan berhentilah sebelum kenyang”. 2. “ Dalam berwudlu harus sehemat mungkin menggunakan air” (HR. Bukhari). Dan 3. “Bukan umatku, jika seorang bisa tidur nyenyak, sementara tetangganya pengangguran dan miskin” (HR.Bukhari).

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri yang juga sebagai Dewan Pakar MLH PP Muhammadiyah itu menyampaikan peran Muhammadiyah dalam mitigasi perubahan iklim, yaitu: 1. inovasi dan teknologi ramah lingkungan dan low carbon, 2. peningkatan kesadaran, 3. peningkatan kapasitas, 4. advokasi di tingkat daerah, nasional, dan global, 5. advokasi nilai-nilai Islam, 6. pengembagnan pilot projects sebagai role models. 7. advokasi good govermence dan law enforcement.

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia membeberkan, program dan komitmen organisasi umat Islam dalam mitigasi perubahan iklim. Antara lain: Green Mosques Initiative (Transformasi masjid dengan penggunaan energy terbarukan, pengurangan limbah, dan pendidikan lingkungan kepada jamaah dan masyarakat);

Eco-Islam Initiative (Mengintegrasikan penghematan energy, pengurangan emisi, dan perlindungan SDA); Islamic Solidarity Fund for Development/Pendirian dana untuk mendukung proyek pembangunan berkelanjutan;  Islamic Declaration on Climate Change/Deklarasi yang meggarisbawahi komitmen umat Islam dalam menghadapi perubahan iklim dan mendorong tindakan nyata dari Negara-negara Muslim;

Islamic Environmental Group of Wisconsin (IEG)/ Organisasi yang berfokus pada edukasi lingkungan, kampanye lingkungan dan penanaman pohon di kalangan umat Islam terhadap pelestarian alam dan pengurangan emisi; Islamic relief’s Green Village Program/Program yang berfokus pada pengembangan pertanian berkelanjutan, penggunaan energi terbarukan, dan pendidikan lingkungan;

Islamic Green Fund/Pendirian dana yang didedikasikan untuk mendukung proyek lingkungan, seperti pengembangan energi terbarukan, pengelolaan air, dan rehabilitasi lahan; Islamic Climate Action Network (ICAN)/Jaringan yang menggerakan para pemimpin Muslim dan komunitas untuk melakukan tindakan nyata dalam mengatasi perubahan iklim, termasuk kampanye kesadaran dan advokasi kebijakan.

“Salah satu kemajuan di bidang filantropi Islam adalah kerjasama berbagai pemangku kepentingan dalam mengembangkan green wakaf framework, sebuah bingkai kerja pengelolaan wakaf untuk program-program dalam klaster lingkungan dan perubahan iklim,” jelas Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan posisi dilematis indonesia dalam menghadapi perubahan iklim global. Yakni: Perubahan Iklim Global/PIG (Global Climate Change) baik secara ilmiah maupun empiris sungguh telah terjadi, yang tercermin pada terus meningkatnya suhu bumi sejak Revolusi Industri Pertama  pada 1783 M hingga sekarang.

Berbagai wujud dampak PIG seperti cuaca ekstrem, heatwave, badai, La- Nina, El-Nino, kebakaran hutan dan lahan, ledakan wabah penyakit, peningkatan paras laut akibat mencairnya gunung es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, banjir, dan pemasaman laut (ocean acidification) semakin sering terjadi, membesar, menguat, dan meluas.

Jika peningkatan suhu Bumi lebih besar dari 1,50C atau 20C dibandingkan suhu Bumi pada 1780-an, maka segenap dampak negatip itu tidak akan dapat ditanggulangi (unmanageable). Keberlanjutan (sustainability) pembangunan ekonomi dan peradaban manusia bakal terancam (IPCC, 2020).

Kondisi alam (tropis, sebagian besar pulau-pulau kecil dan low-laying coastal areas, dan a ring of fire) dan kondisi sosekbud masyarakatnya yang sebagian besar masih berkapasitas rendah (berpendidikan rendah dan miskin). Membuat Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling rentan (vulnerable) terhadap PIG.

“Oleh karena itu, Indonesia mestinya all out untuk bersama masyarakat Dunia melakukan upaya mitigasi dan adaptasi, sehingga kita terhindar dari bahaya PIG,” ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Oleh karena itu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, program mitigasi dan adaptasi PIG selain memerlukan anggaran besar dan biaya mahal, juga dapat menghambat bahkan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Padahal, menurutnya, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata 7% per tahun) dan inklusif untuk penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat menuju Indonesia Emas 2045.

Sedangkan karakteristik geografis dan sosial ekonomi indonesia menempatkan pada posisi rentan terhadap dampak perubahan iklim, yaitu: Negara kepulauan dengan profil pegunungan dan garis pantai yang panjang, Musim hujan yang mempengaruhi tren curah hujan tahunan, Berada di garis khatulistiwa dan beriklim tropis

Kemudian, tingginya jumlah penduduk yang terkonsentrasi di daerah perkotaan, tingkat kemiskinan dan budaya lokal sangat mempengaruhi kemampuan adaptasi masyarakat, pola pembangunan permukiman sering bergerak ke arah kawasan rawan bencana iklim. “Konteks perubahan iklim belum terintegrasi secara optimal kedalam rencana pembangunan (Misalnya: penataan ruang masih mengabaikan dampak perubahan iklim),” terangnya.

Sementara itu, lanjutnya, 7 kota/kabupaten di Indonesia yang masuk dalam 10 besar wilayah yang paling rentan di ASEAN, dimana Jakarta sebagai wilayah paling rentan. Sedangkan dari 50 Kab/Kota di Indonesia yang paling rentan terhadap Perubahan Iklim, Jakarta merupakan wilayah yang paling rentan di Indonesia dan di kawasan ASEAN.

Tidak kalah pentingnya, berdasarkan data NOAA (2020), kenaikan muka air laut Indonesia periode 1992–2020 estimasi mencapai 3,9±0,4 mm/tahun. Jenis bencana hidrometeorologi yang paling sering terjadi di Indonesia yaitu Banjir (33%), disusul Puting Beliung (31%), dan Tanah Longsor (23%)

Prof. Rokhmin Dahrui mengemukakan, tantangan Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim global, antara lain: 1. Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) yang meningkatkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca). 2. Deforestasi dan degradasi hutan serta lahan gambut yang menyebabkan berkurangnya fungsi penyerapan karbon (carbon squestrian) secara alamiah.

3. Peningkatan kebutuhan energi, terutama energi listrik dan transportasi yang sebagian besar masih bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil (batu bara dan minyak bumi). 4. Isu pengelolaan limbah industri maupun domestik. 5. Tingkat kesadaran publik dan pemerintah tentang PIG dan dampaknya masih rendah.

6. Karena tidak tersedia matapencaharian alternatif yang ramah lingkungan; rakyat miskin acap kali terpaksa melakukan usaha pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, dan aktivitas ekonomi lainnya yang kurang ramah lingkungan.

7. Keserakahan (Greediness) pengusaha besar dan penguasa (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) ‘komprador’ telah mengakibatkan laju emisi GRK; dan laju deforestasi serta konversi ekosistem alamiah menjadi kawasan industri, pemukiman, pertanian, infrastruktur, dan lainnya terus meningkat.

8. Dalam jangka pendek penggunaan energi bersih dan terbarukan (solar, angin, air/hydropower, hydrogen, bioenergy, kelautan, dan lainnya) pada umumnya lebih mahal ketimbang energi fosil (batubara dan minyak bumi).

“Akibatnya, program transisi bauran energi nasional maupun dunia mengalami banyak kendala (tidak smooth). Meskipun, dalam jangka menengah dan panjang, penggunaan EBT (Energi Baru dan terbarukan) akan lebih murah dan lebih baik (mencegah terjadinya Global Warming),” ujar sebut Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

9. Dalam analisis untung – rugi (Benefit Cost Analysis) yang merupakan dasar untuk menentukan kelayakan suatu program (proyek) pembangunan, kebanyakan tidak memasukkan kerusakan lingkungan (environmental loss) ke dalam biaya (ongkos) program (proyek) pembangunan  Akibatnya, hampir semua proyek dinyatakan layak, karena B/C ratio > 1.

10. Dalam perspektif ekonomi, ekosistem alam (hutan, danau, laut, dan planet bumi) yang berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) dianggap sebagai common-property resources (public good)  Maka, cara (pendekatan) pengelolaannya menganut rezim ‘open access’ (siapa saja, berapa saja, dan kapan saja) boleh mengeksploitasi ekosistem alam dan membuang emisi GRK ke atmosfer  Akan berujung pada ‘Tragedy of the Common’.

11. Teknologi rendah atau tanpa emisi karbon (low or zero carbon) masih lebih mahal ketimbang teknologi konvensional. 12. Peningkatan jumlah penduduk dan daya belinya. 13. Rendahnya penegakkan hukum (law enforcement).

“Periode 2000-2019, emisi GRK Indonesia meningkat rata-rata 8,3% per tahun, hingga pada 2019 mencapai 1.866.552 Gg CO2e. Sumber emisi GRK Indonesia terbesar berasal dari kategori Kehutanan dan Kebakaran Gambut (50%), disusul sektor Energi (34%),” kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Sedangkan dasar hukum kebijakan dan komitmen pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim, yaitu: 1. UU No. 6 Tahun 1994: Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

2. UU No. 17 Tahun 2004: Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Perubahan Iklim)

3. UU No. 16 Tahun 2016: Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim); 4. Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011: Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.

Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan tesebut menguraikan upaya Pemerintah dalam menangani perubahan iklim.

APBN merupakan instrumen penting untuk mengatasi perubahan iklim di Indonesia. Salah satu inovasi yang dilakukan oleh KemenKeu berupa penerbitan surat utang Negara/sukuk yang berbasis pada program pengurangan perubahan rumah kaca atau dikenal sebagai green bonds.

Kebijakan lain: pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup dan SDG Indonesia One untuk mempertemukan berbagai kegiatan maupun perubahan iklim dengan sumber dananya (APBN, mitra pembangunan, badan usaha, filantropis, individu dan lembaga multilateral).

“Dalam bidang perpajakan, pemerintah memberikan kebijakan tax holiday guna mendukung investasi untuk pengembangan energi terbarukan,” kata Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat 2022 – 2026 itu.

Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan pendekatan Iptek dan Sosial-Politik dalam menanggulangi perubahan iklim global, melalui endekatan Iptek, terdiri: 1. Inovasi dan aplikasi teknologi untuk mengurangi emisi GRK ke atmosfer, sehingga peningkatan suhu bumi pada 2030 lebih kecil dari 1,50 C dibandingkan dengan suhu bumi pada tahun 1800 (pengukuran suhu bumi pertama kali).

“Contohnya: penggunaan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) seperti solar (matahari), angin, air, panas bumi, bioenergy, kelautan, dan hidrogen serta zero waste and emission technology yang lebih efisien dan murah,” ujarnya.

2. Inovasi dan aplikasi teknologi untuk menyerap emisi GRK, sehingga peningkatan suhu bumi pada 2030 lebih kecil dari 1,50 C dibandingkan dengan suhu bumi pada tahun 1800 (pengukuran suhu bumi pertama kali). Contohnya: penghutanan kembali (reboisasi), pengembangan RTH, penanaman mangrove, pengembangan artficial reefs, restorasi ekosistem alamiah yang rusak, penebaran nutrien dan zat besi di lautan, dan proteksi ekosistem alam.

3. Inovasi dan aplikasi teknologi 3 R (Reduce, Reuse, and Recycle) yang lebih efisien dan lebih murah. 4. Inovasi dan aplikasi teknologi dan manajemen pemanfaatan SDA terbarukan (hutan, lahan pertanian, dan perikanan) yang menguntungkan (mensejahterakan pelaku usahanya) dan sekaligus menjamin kelestarian (sustainability) dari SDA terbarukan tersebut, yang lebih efektif dan murah.

5. Inovasi dan aplikasi teknologi pengolahan (manufacturing) SDA terbarukan yang lebih menghasilkan nilai tambah, efisien, berdaya saing, menguntungkan, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Kemudian pendekatan Sosial Politik, yaitu: 1. Peningkatan kesadaran di kalangan pemerintah, swasta, dan publik (masyarakat) tentang penting dan urgen nya PIG serta upaya untuk menanggulanginya melalui kampanye, iklan, promosi, dan cara lainnya.

2. Peningkatan kapasitas pemerintah, swasta, dan publik terkait dengan upaya MITIGASI dan ADAPTASI PIG melalui program DIKLATLUH dan advokasi secara benar, sistematis, dan berkesinambungan.

3. Peningkatan komitemen pemerintah dan DPR dalam upaya MITIGASI dan ADAPTASI PIG yang tercermin dalam produk UU dan PP serta politik anggaran. 4. Tumpas tuntas penguasa dan pengusaha ‘komprador’.

5. Seluruh kebijakan dan program pembangunan pemerintah harus berbasis pada sains dan teknologi terkait PIG diatas. 6. Implementasu Good Governance dan Law Enforcement.

 

 

Komentar