Jumat, 26 April 2024 | 22:19
NEWS

Minta Ketua KPK Mundur, Emrus Sihombing: Sarat Motif Komunikasi Politik

Minta Ketua KPK Mundur, Emrus Sihombing: Sarat Motif Komunikasi Politik
Komunikolog Indonesia Emrus Sihombing

ASKARA – Sangat-sangat aneh sejumlah mantan pimpinan dan personel KPK berdemonstrasi pada Senin (10/4) meminta Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipecat. 

Sebagai mantan penegak hukum, sejatinya mereka berjuang di jalur hukum, bukan di jalur (komunikasi) politik. Sekalipun demonstrasi sebagai hak demokrasi, seharusnya mereka lebih mengedepankan penegakan hukum ketika menurut padangan mereka ada dugaan keganjilan hukum, bukan masuk ke ranah (komunikasi) politik dengan berdemontrasi. 

Oleh karena itu, tindakan komunikasi politik demonstrasi yang dilakukan sejumlah mantan pimpinan KPK tersebut sangat berlebihan dan sarat muatan motif komunikasi politik.

Demikian disampaikan Komunikolog Indonesia Emrus Sihombing kepada para wartawan, Selasa (11/4).

Sebagai mantan pendekar hukum, tutur Emrus, dugaan keganjilan hukum, idealnya mereka bertindak atas tahapan proses hukum. 

"Tentu dimulai dengan pelaporan dan atau pengaduan ke-institusi hukum yang terkait sesuai dengan undang-undang. Mereka sebaiknya berjuang di jalur hukum untuk memproses dugaan keganjilan hukum. Tentu didahului dengan kajian dan analisis hukum yang objektif dan komprehensif," ujar Emrus.

Sebab, tanya Emrus, bukankah para (mantan) penegak hukum biasanya “berteriak” panglima itu adalah penegakan hukum di jalur hukum? Bukan di jalur politik. 

"Demontrasi meneriakkan “copot Ketua KPK” menunjukkan mereka telah masuk ke rana politik, sehingga tidak melakukan pendidikan kesadaran hukum yang benar kepada masyarakat," kata Emrus.

Demonstrasi ini, tutur Emrus, langsung atau tidak langsung berpotensi mengganggu upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air, atau mereka telah bermutasi dari pendekar hukum menjadi “pendekar politik”. 

"Kalau begitu, saya menyarankan mereka mendirikan atau masuk partai politik saja," saran Dosen Pasca Sarjana Fikom UPH, Tangerang ini.

Oleh karena itu, imbuh Emrus, demontrasi yang dilakukan oleh sejumlah mantan pimpinan KPK perlu dipertanyakan dari perspektif komunikasi politik.

"Apa motif komunikasi politiknya? Apa makna terselubung di balik demontrasi yang mereka lakukan? Apakah ada agenda terselubung di balik tindakan demonstarasi tersebut ditengah KPK melakukan pemberantasan korupsi yang massif, di antaranya melalui penindakan dan operasi tangkap tangan (OTT). Atau salah satu, atau beberapa orang, atau semua mantan pimpinan KPK tersebut ingin “kembali” ke KPK lagi?," tanya Emrus.

Jika pertanyaan yang terakhir ini menjadi tujuannya, lanjut Emrus, sebaiknya mereka bersabar dulu menunggu untuk mengikuti seleksi yang dilakukan oleh pansel pimpinan KPK dalam waktu sangat dekat ini, sehingga mereka bisa berkuasa kembali di KPK dengan keinginan, pola dan sistem yang pernah mereka lakukan di KPK.

"Oleh sebab itu, berbasis komunikasi politik saya berhipotesa, demonstrasi yang mereka lakukan sangat kecil kemungkinan mendapat dukungan opini publik. Atau berpotensi hilang ditelan badai. Sebab disadari atau tidak oleh mereka, demontrasi tersebut bisa bermakna bahwa data hukum, bukti hukum dan pengaruh hukum yang mereka miliki lemah," terang Emrus. 

Sebaliknya, sambung Emrus, bila data hukum, bukti hukum dan pengaruh hukum yang mereka miliki valid dan kuat, mereka lebih cenderung menempuh jalur hukum. 

"Untuk itu saya menyarankan, jika mereka sungguh-sungguh kredibel di bidang hukum, para mantan pimpinan KPK tersebut, suka tidak suka, harus memilih jalur hukum untuk merawat kredibilitas ketokohan sosial (hukum) mereka. Bukan berdemontrasi yang terkait dengan penegakan hukum. Sangat disayangkan," imbau Emrus.

Di sisi lain, tutur Emrus, KPK bekerja atas dasar undang-undang siapapun pemimpinnya, termasuk masa kepemimpinan para mantan pimpinan KPK yang berdemonstrasi tersebut. 

"KPK tidak pernah tunduk pada kekuasaan apapun, termasuk pengaruh dari pusat kekuasaan eksekutif, legislatif, judikatif dan demontrasi dalam bentuk apapun, termasuk yang dilakukan oleh para mantan pimpinan KPK tersebut. KPK bekerja imparsial. KPK tidak tebang pilih atau pilih tebang dalam penegakan hukum. KPK tidak penah menarget sosok tertentu untuk diproses atas dugaan tindak pidana korupsi, kecuali berbasis cukup bukti hukum keterlibatan dugaan tindak pidana korupsi," papar Emrus.

Untuk menetapkan seseorang menjadi saksi, dan atau tersangka dan atau terdakwa dalam dugaan tindak pidana korupsi, ucap Emrus, KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri berkerja prudent tanpa mengenal waktu. 

"Para insan KPK ada juga bekerja malam hari beratapkan langit,  berselimutkan awan dan embun dingin, seperti di Papua. Di siang hari, ada mereka bekerja di bawah terik panasnya matahari demi “memerdekakan” Indonesia dari para “penjajah” pelaku korupsi," tukas Emrus.

Emrus menilai, KPK yang sekarang bekerja profesional, objektif dan netral demi pemberantasan korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa di Indonesia. 

Oleh sebab itu, tambah Emrus, sejatinya semua komponen bangsa mendukung KPK. 

"Jangan ada elite sosial di negeri ini mencoba-coba mengganggu atau mempolitisasi semua peran, fungsi dan tugas KPK dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia," pungkas Emrus Sihombing.

Komentar