Jumat, 26 April 2024 | 13:20
NEWS

MAKI Dorong Agar KPK Dipimpin Jaksa

MAKI Dorong Agar KPK Dipimpin Jaksa
Ilustrasi Gedung KPK (Dok Askara)

ASKARA - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar dimpimpin dari unsur Kejaksaan untuk mengimbangi kinerja Kejaksaa Agung (Kejagung) RI dalam membongkar kasus-kasus yang lebih besar.

Pasalnya, lembaga antirasuah yang kini dikomandoi Firli Bahuri hanya berkutat pada kasus-kasus yang sifatnya suap dan gratifikasi yang merupakan bagian dari pengembangan operasi tangkap tangan (OTT).

“Saya berharap lebih didorong ini KPK periode kedepannya harus ngambil pimpinan itu dari unsur Jaksa yang kompeten dan tinggi untuk mengimbangi kemampuan Kejaksaan Kegung dalam hal pasal 2 pasal 3 dan juga kerugian perekonomian negara,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada Monitor Indonesia, Minggu (26/3) malam.

“Saya tidak mendiskreditkan karena pimpinan Firli ini juga tidak ada unsur Jaksa. Tapi kedepan salah satunya harus mengambil pimpinan itu dari unsur Jaksa, yang punya prestasi membongkar kasus-kasus besar,” sambungnya.

Boy sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa KPK sebenarnya akan kalah dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah 10 tahun yang lalu dan itu sudah pernah dia sampaikan kepada kedua belah pihak.

“Karena KPK hanya fokus tentang operasi tangkap tangan (OTT), pasal yang diterapkan adalah pasal 5 tentang suap, pasal 11 gratifikasi, pasal 12 juga penerima hadiah dan juga pemerasan. Nah dari yang dikembangkan KPK itu, OTT melulu. Maka dia akan terbiasa dimudahkan dalam proses hukum yaitu dia membuat bukti istilhanya begitu,” ungkap Boy.

“Jadi mau ngincar orang kalau nggak jadi diberikan uangnya kan enggak jadi ada bukti bahwa terjadi suap. Jadi ini sesuatu yang memang membuat bukti, jadi gampang,” sambung Boy.

Bedanya dengan Kejaksaan Agung, lanjut Boy, adalah Kejagung selalu berkontribusi atau berkutat di pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi dan segala perubahannya. Di mana pasal 2 itu perbuatan melawan hukum, pasal 3 adalah perbuatan penyalahgunaan wewenang.

“Nah kalau pasal 2 dan pasal 3 ini adalah mencari bukti dan menemukan bukti. Karena korupsinya sudah terjadi bisa jadi 5 tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu atau setahun yang lalu itu sudah peristiwa yang terjadi dan kemudian harus menemukan dan mencari alat bukti,” jelas Boy.

Jadi, tambah dia, otomatis dengan demikian ketika Kejaksaan Agung itu fokus dan konsentrasi disitu maka lama-lama dia akan pasti menemukan ikan besar dan itu terbukti dimulai tahun 2018.

“Waktu itu, saya melapornya kasus Jiwasraya dan bisa dirumuskan sampai tahun 2019-2020 kemudian rentetannya menjadi kasus di Asabri itu meskipun saya bukan pelakornya, tapi rangkaian rentetan. Terus kemudian juga saya melaporkan kasus mahalnya minyak goreng akibat CPO sawit yang diekspor. Saya salah satu pelapornya lah gitu,” bebernya.

“Kemudian impor tekstil di Batam itu bisa dirumuskan sebagai korupsi dan kemudian Satelit Kemenhan, dan juga beberapa kasus yang lain yang besar-besar yang kemudian termasuk kasus perkebunan Surya Darmadi, kemudian dirumuskan kerugiannya sampai sangat tinggi begitu di atas 50 triliun,” sambungnya.

Kenapa sampai demikian, kata dia, karena Kejaksaan Agung itu adalah pada posisi kerjanya berdasarkan pasal 2 dan pasal 3 yaitu mencari dan menemukan alat bukti.

“Jadi, otomatis itu akan terjadi perbedaan terus sepanjang kedua kubu ini tetap bermain di kutub masing-masing akan terjadi. KPK hanya akan asik OTT dan hanya pasal 5, pasal 11, pasal 12 dan membangun kasusnya, kalau KPK itu dalam konteks ini adalah OTT tidak membangun kasus,” jelasnya.

“Sementara Kejaksaan Agung membangun kasus (Case Building) misalnya terakhir adalah Bansos yang terkait dengan salah satunya bekas Direktur Utama Transjakarta itu kan juga di proses dicekal itu nah itu membangun kasus Tapi itu kan juga pengembangan dari OTT kasusnya Juliari Batubara jadi hanya pengembangan,” sambungnya.

Jadi, tegas Boy, kalau untuk KPK itu menggunakan pasal 2 pasal 3 itu adalah pengembangan dari OTT.

“Pernah dulu sebenarnya kasus e-KTP itu membangun kasus itu satu prestasi lama sekali tahun 2012. 2012 kasusnya dan siproses tahun 2014 dan 2015 habis itu enggak menangani lagi. Jadi nampak kalau KPK itu agak jerry atau agak seperti tidak berusaha menyentuh pasal 2 dan pasal 3 gitu,” katanya.

Sehingga, lanjut Boy, apa yang diproses adalah kasus-kasus yang berdasarkan OTT sehingga tidak akan pernah menemukan kasus besar, karena OTT kalau tidak dikembangkan, kasus yang dibongkar itu kecil-kecil saja.

Kalau Kejaksaan Agung, tandas dia, otomatis karena konsentrasi di pasal 2 pasal 3 akan banyak menemukan kasus-kasus besar.

Menurut Boy, Kejaksaan Agung itu nampaknya banyak antri kasus besar yang lainnya yang akan bisa diungkap dan bahkan Kejaksaan Agung bukan hanya kasus besar bukan dengan pasal 2 dan pasal 3, tetapi juga mampu merumuskan tentang kerugian perekonomian negara.

“Itu dimulai impor tekstil di Batam, akhirnya terjadi kerugian perekonomian negara, terus kemudian kasus yang lain terusnya itu termasuk Surya Darmadi itu perekonomian negara kasus minyak goreng itu juga merugikan negara,” katanya.

Boy kembali menegaskan, bahwa Kejaksaan Agung itu tidak hanya membongkar kasus besar. Tetapi sudah melompat merumuskan kerugian perekonomian negara. Sementara KPK terkutat masih kerugian keuangan negara dan itu pun hanya kemudian berdasarkan OTT dan juga hanya temuan PPK.

“Jadi dua step ini sudah memang mau nggak mau ya harus tetap diakui bahwa KPK ini kalah dari Kejagung soal kasus besar, kemudian lompatan kerugian perekonomian negara kejaksaan agung sudah sangat familiar dan berhasil menuntaskan kasus besar. KPK belum pernah menyentuh kasus kerugian perekonomian negara. Nah ini memang suatu keprihatinan kita,” pungkasnya. (MI)

 

 

Komentar