Miliki Risiko Bencana Tertinggi di Dunia, Wapres: Tidak Lagi Membangun di Wilayah Zona Merah!
ASKARA – Menurut penelitian geografi, Indonesia termasuk negara yang memiliki risiko bencana tertinggi di dunia, karena Indonesia terletak pada zona pertemuan lempeng besar dunia yang aktif, sehingga sering terjadi gempa bumi.
Selain itu, bencana hidrometeorologi yang dipicu oleh perubahan iklim global juga terus membayangi, seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, serta cuaca dan iklim ekstrem.
Terkait hal tersebut, Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin menuturkan bahwa untuk mewujudkan ketahanan bencana, penguatan mitigasi bencana serta praktik-praktik penanggulangan bencana harus terus dilakukan dengan memperhatikan aspek keselamatan masyarakat dari risiko bencana.
“Ketahanan bencana diarahkan tidak hanya dengan memperkuat mitigasi struktural, tetapi juga mitigasi secara kultural,” pinta Wapres saat menutup Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penanggulangan Bencana Tahun 2023 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (02/03/2023).
Lebih lanjut, Wapres mengungkapkan bahwa peningkatan kerangka berpikir sadar bencana juga sangat diperlukan.
“Bahkan juga termasuk dalam sisi pembiayaan, sehingga terjadi kolaborasi pembiayaan bencana, baik dari sektor privat atau dunia usaha, maupun sektor publik atau pemerintah,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, seluruh unsur terkait juga ia minta untuk terus menjaga komitmen penanggulangan bencana. “Mitigasi hulu ke hilir harus diperkuat untuk menekan dampak kerugian akibat kejadian bencana,” himbaunya.
Wapres juga mengungkapkan hal yang tidak kalah lebih penting, yaitu menegakkan aturan kebencanaan yang meliputi wilayah rawan bencana.
“Utamanya, saya meminta komitmen semua unsur dalam menegakkan aturan di bidang kebencanaan. Aturan ini meliputi aturan untuk tidak lagi membangun di wilayah zona merah, aturan untuk menindak pelaku pembakaran hutan, dan aturan untuk melayani masyarakat berdasarkan Standar Nasional Indonesia dalam penanggulangan bencana,” tegasnya.
Menutup sambutannya, Wapres juga sempat menyinggung pentingnya desentralisasi penyelenggaraan penanggulangan bencana. “Perlu integrasi pengelolaan risiko bencana bagi daerah dalam penyusunan RPJMD dan RAPBD,” ujarnya.
Sebagai ujung tombak penyelenggaraan penanggulangan bencana, menurut Wapres, pemerintah daerah perlu membangun modal sosial masyarakat untuk mendorong kemandirian dalam mengurangi risiko bencana. “Untuk itu, penerapan Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan Bencana harus dioptimalkan,” pesannya.
Sebelumnya di hari yang sama, saat membuka Rakornas Penanggulangan Bencana Tahun 2023, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa kesiapsiagaan dan kewaspadaan menjadi kunci yang harus dipersiapkan dan dikelola dengan baik dalam upaya mitigasi bencana. Menurutnya, edukasi dan pelatihan kepada masyarakat menjadi langkah antisipasi yang harus menjadi prioritas.
“Bagaimana menyiapkan masyarakat, bagaimana mengedukasi masyarakat, bagaimana memberikan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat untuk langkah-langkah antisipasi itu harus menjadi prioritas untuk meminimalisasi korban maupun kerugian,” urainya.
Selain itu, Presiden juga menekankan pentingnya penyiapan skenario secara detail apabila terjadi bencana.
“Kalau pas terjadi misalnya gunung berapi larinya ke mana, kalau pas ada gempa bumi larinya ke mana, seperti ini secara detail yang sering kita abai. Pas ada bencana kita pontang-panting, begitu sudah rampung ya rampung,” ujar Presiden mengingatkan.
Selanjutnya, terkait masalah tata ruang dan konstruksi, Presiden meminta pemerintah daerah untuk memperhatikan konstruksi bangunan, terutama di daerah rawan bencana. Kepala Negara juga meminta agar daerah mulai menyosialisasikan penggunaan konstruksi bangunan antigempa kepada masyarakat.
“Bukan hanya bangunan yang bertingkat, tetapi bangunan yang tidak bertingkat pun harus diwajibkan dan mulai diarahkan terutama di daerah-daerah yang rawan gempa itu agar menggunakan kontruksi yang antigempa,” pintanya.(Shendy Marwan)
Komentar