Sabtu, 27 April 2024 | 11:12
NEWS

Di Global Forum, Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Penerapan Teknologi Ekonomi Biru dan Industri-4.0 Untuk Pengembangan Akuakultur

Di Global Forum, Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Penerapan Teknologi Ekonomi Biru dan Industri-4.0 Untuk Pengembangan Akuakultur
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menyampaikan, populasi dunia yang terus meningkat dan pendapatannya (daya beli) secara dramatis meningkatkan permintaan manusia akan makanan (termasuk ikan dan makanan laut), energi, produk farmasi, mineral, serta komoditas (sumber daya alam) dan produk lainnya.

Demikian dikatakan Prof. Rokhmin Dahuri lewat paparannya bertajuk “Penerapan Teknologi Ekonomi Biru Dan Industri-4.0 Untuk Pengembangan Akuakultur Berkelanjutan”, pada 2022 Global Forum on Sustainable Development of Fisheries China Fisheries & Seafood Expo Aquaculture China and Yellow Sea Fisheries Researach Institute, China, Selasa, 13 Desember 2022.

“Dalam konteks sektor penghasil pangan (pertanian, peternakan, perikanan budidaya, dan perikanan tangkap); hanya akuakultur yang masih memiliki ruang besar untuk mengembangkan produksinya,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Sederhananya, kata Menteri Kelautan dan Perikanan – Republik Indonesia 2001-2004 itu, karena tingkat pemanfaatan (produksi) budidaya, khususnya di lingkungan laut (budidaya laut) dan pesisir (budidaya air payau), jauh lebih rendah dari total potensi produksinya.

Sementara itu, produksi perikanan tangkap dunia mengalami stagnasi (leveling-of), sekitar 90 juta ton/tahun, sejak pertengahan tahun 1980 (FAO, 2018). Dan, pengembangan peternakan dan pertanian juga terkendala oleh alih fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan lahan lain, polusi, degradasi lingkungan ekosistem darat, dan konflik sosial.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, akuakultur bukanlah ‘roket science’ dan bukan bisnis padat modal sehingga bisnis akuakultur pada dasarnya bisa dijalankan oleh kebanyakan orang, bagus untuk mengatasi pengangguran.

“Secara umum, kegiatan budidaya merupakan sektor ekonomi yang menguntungkan dan terbarukan yang sebagian besar berada di wilayah laut, pesisir, pulau kecil, dan pedesaan, baik untuk mengentaskan kemiskinan, memperkuat ketahanan pangan, mengurangi kesenjangan pembangunan daerah antara perkotaan vs pedesaan, dan mencapai SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan),” terangnya.

Menurut definisi, tegas Prof. Rokhmin Dahuri, akuakultur tidak hanya menghasilkan ikan bersirip, krustasea, moluska, dan rumput laut; tetapi juga invertebrata, dan flora dan fauna lainnya (FAO, 1998).

Oleh karena itu, akuakultur sebenarnya merupakan sektor pembangunan yang tidak hanya menghasilkan komoditas pangan sebagai sumber protein hewani (misalnya ikan bersirip, krustasea, dan moluska), tetapi juga: (1) komoditas pangan sebagai sumber karbohidrat (beras dan tanaman pangan lainnya);

(2) komoditas seperti invertebrata, mikroalga, dan organisme air lainnya sebagai sumber bahan baku (senyawa bioaktif) untuk makanan & minuman fungsional, industri farmasi, pengecatan, dan industri lainnya; (3) komoditas sebagai sumber bahan bakar nabati (misalnya alga mikro); (4) komoditas perhiasan; dan komoditas lainnya untuk berbagai kegunaan lainnya.

“Budidaya alga mikro, alga makro (rumput laut), tanaman air, dan organisme lain yang dapat menyerap CO2 dan Gas Rumah Kaca (GRK) lainnya dapat menjadi penyerap (sequestrian) GRK yang signifikan untuk mengurangi (menghentikan) Perubahan Iklim Global (Pemanasan global),” jelasnya.

Komoditas (Output) Budidaya Perairan

Terkait dengan budidaya, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan peran dan fungsi konvensional akuakultur menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota air lainnya; dan (4) perhiasan seperti tiram mutiara dan organisme air lainnya.

Sedangkan peran dan fungsi akuakultur non-konvensional (masa depan): (1) pakan berbasis alga; (2) produk farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme akuatik lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan biota air lainnya; (5) wisata berbasis perikanan budidaya; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global.

Budidaya ganggang mikro, ganggang makro (rumput laut), tumbuhan air, dan organisme lain yang dapat menyerap CO2 dan Gas Rumah Kaca (GRK) lainnya dapat menjadi penyerap (sequestrian) GRK yang signifikan untuk memitigasi (menghentikan) Iklim Global Perubahan (Pemanasan Global).

“Sektor kelautan dan perikanan telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan Indonesia dimana sejak 2009 hingga saat ini Indonesia telah menjadi penghasil ikan dan hasil perikanan terbesar kedua dunia,” kata Ketua Perhimpunan Akuakultur Indonesia tersebut.

Bahkan, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, sejak tahun 2009, 13 spesies mikroalga dari perairan laut Indonesia telah diidentifikasi dan dipastikan mengandung Hydro-Carbon Compound untuk biofuel. Adapun, keempat spesies utama: Nannocholoropsis oculata (24%), Scenedesmus (22%), Chlorella (20%), dan Dunaliela salina (15%).

Selanjutnya, Budidaya alga mikro, alga makro (rumput laut), tanaman air, dan organisme lain yang dapat menyerap CO2 dan Gas Rumah Kaca (GRK) lainnya dapat menjadi penyerap (penyerap) GRK yang signifikan untuk mengurangi (menghentikan) Perubahan Iklim Global ( Pemanasan global).

“Singkatnya, jika dikelola dengan baik, akuakultur berpotensi menjadi 'obat mujarab' bagi begitu banyak masalah dan tantangan pembangunan ekonomi dan peradaban manusia di abad ke-21,” tuturnya.

Dalam tiga dekade terakhir akuakultur telah menjadi sektor penghasil makanan dengan pertumbuhan tercepat (FAO, 2022).

Namun demikian, secara umum pengembangan dan usaha perikanan budidaya selama ini masih dihadapkan pada berbagai permasalahan dan permasalahan baik pada subsistem on-farm, subsistem off-farm hulu, subsistem off-farm hilir serta subsistem pendukung antara lain tata ruang, infrastruktur, logistik, iklim. investasi, dan kebijakan pemerintah.  

“Masalah dan isu ini telah membuat produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan sebagian besar bisnis akuakultur, terutama yang tradisional, menjadi tidak pasti dan fluktuatif,” kata Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan – Republik Indonesia 2020 – 2024 itu.

Selain itu, sambungnya, sebagian besar operasi bisnis akuakultur, terutama bisnis akuakultur skala besar dan modern, disalahkan (dituduh) menyebabkan pencemaran air, degradasi ekosistem alami (misalnya mangrove, danau, dan sungai), invasi spesies asing, dan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri juga memaparkan sejumlah permasalahan pada Subsistem On-farm. Antara lain, wabah penyakit seperti EMS dan AHPND (Acute Hepato Pancreatic Nercosis Disease) pada budidaya udang; Meningkatnya harga pakan berkualitas; Ketersediaan induk dan benih (larva) berkualitas tinggi terbatas;

Sebagian besar pembudidaya ikan (budidaya), khususnya unit usaha tradisional dan skala kecil, tidak menerapkan BAP (Best Aquaculutre Practices) yang meliputi: (1) benih atau larva kualitas terbaik (SPF, SPR, dan cepat tumbuh); (2) pakan berkualitas tinggi serta penggunaan yang tepat dan benar; (3) pengendalian hama dan penyakit; (4) pengelolaan kualitas air; (5) rekayasa tambak; dan (6) biosekuriti.

Selanjutnya, pencemaran danau, sungai, dan laut sebagai media atau sumber air untuk produksi budidaya; Tersedianya indukan dan benih (larva) dengan kualitas terbaik.

Sedangkan masalah di Up Stream - Subsistem Off-farm, jelas Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) tersebut, antara lain: Pemilihan lokasi yang salah; Posisi tawar budidaya dalam RTRW Kota, Kabupaten, Provinsi, dan Negara mana pun relatif lebih lemah (rendah).

“Akibatnya, lahan (perairan) budidaya dengan mudah diubah menjadi kawasan industri, pertambangan, pariwisata, infrastruktur, dan lainnya penggunaan lahan (air),” tuturnya.

Ketersediaan tepung ikan sebagai sumber protein utama pakan ikan/udang mengalami stagnasi bahkan tidak berkurang yang berakibat pada naiknya harga pakan ikan/udang. Padahal, sekitar 60% dari total biaya produksi dalam budidaya adalah untuk pakan;

Kekurangan listrik, roda pedal, pengumpan otomatis, dan input produksi lainnya; Kekurangan tenaga kerja (sumber daya manusia) yang berkualitas dan berdedikasi tinggi.

Sedangkan masalah di Down Stream - Subsistem Off-farm, menurut Prof. Rokhmin Dahuri yakni: Industri pengolahan komoditas perikanan budidaya untuk menghasilkan nilai tambah dan daya saing di banyak negara penghasil perikanan budidaya, khususnya di negara berkembang masih tertinggal;

Persaingan yang semakin ketat di pasar global (ekspor) untuk beberapa komoditas dan produk akuakultur; Di banyak negara penghasil akuakultur, konsumsi ikan (makanan laut) per kapita rendah yang mengakibatkan rendahnya pasar domestik.

Kemudian, kurangnya kerjasama win-win antara produsen budidaya (petani ikan) dan industri pengolahan. Akibatnya, kontinuitas pasokan bahan baku (komoditas budidaya) ke industri pengolahan tidak dapat terjamin, dan harga komoditas budidaya yang diterima oleh produsen (ikan petani) juga sangat fluktuatif.

Sedangkan masalah pada Subsistem Pendukung, kata Prof. Rokhmin Dahuri, antara lain: Kurangnya infrastruktur (misalnya saluran irigasi, jaringan listrik, jalan, pelabuhan, dan jaringan telekomunikasi), dan keterhubungan antara daerah penghasil akuakultur dengan industri pengolahan dan lokasi pasar;

Industri manufaktur, pertambangan, pertanian, pembangunan perkotaan, kegiatan domestik (rumah tangga), dan kegiatan pembangunan lainnya yang ceroboh (tidak ramah lingkungan) telah mengakibatkan pencemaran yang parah terhadap danau, sungai, perairan pesisir dan laut sebagai media atau sumber air. untuk produksi akuakultur;

Kurangnya akses terhadap suku bunga yang relatif lebih rendah dan persyaratan Pinjaman Bank (Kredit) yang lebih lunak, terutama untuk Badan Usaha Perikanan Budidaya Skala Mikro dan Kecil (petani ikan); Tindakan Mitigasi dan Adaptasi yang tidak siap terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, badai, dan bencana alam lainnya;

Lalu, Iklim Investasi yang tidak kondusif (misalnya perizinan, dan keamanan usaha), dan kebijakan Ekonomi-Politik (moneter, fiskal, ekspor-impor, dan stabilitas politik).

Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, bagaimana menjaga dan meningkatkan produktivitas, efisiensi (profitabilitas), daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan seluruh unit usaha perikanan budidaya yang ada di ekosistem laut (marikultur), ekosistem lahan pesisir (tambak), dan ekosistem air tawar (danau, waduk, sungai , kolam, dan wadah lainnya)?

Bagaimana memperluas (membuka) pengembangan dan bisnis akuakultur di kawasan (ekosistem) laut, pesisir, dan air tawar baru yang produktif, efisien, kompetitif, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan?.

Bagaimana mendiversifikasi pengembangan dan usaha akuakultur dengan spesies atau varietas baru yang produktif, efisien, kompetitif, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan?.

“Sangat diyakini bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi akuakultur berkelanjutan dapat diatasi dengan menerapkan Teknologi Ekonomi Biru dan Industri-4.0,” kata Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan sejumlah manfaat penerapan teknologi ekonomi biru dan industri 4.0 dalam Budidaya Perairan diantaranya: Pertama, Revolusi Industri Keempat (atau IR-4.0) menawarkan berbagai teknologi, dan beberapa dapat diterapkan untuk sistem akuakultur.

“Sangat tepat untuk menerapkan istilah ‘Akuakultur 4.0’ untuk budidaya perairan yang didorong oleh teknologi 4.0. Beberapa “Proyek Akuakultur 4.0” yang menarik telah terbukti berhasil di sektor akuakultur,” ujarnya.

Kedua, Meningkatkan akurasi, presisi, dan pengulangan dalam proses akuakultur. Ketiga, Memfasilitasi tingkat otomatisasi yang lebih besar atau kontrol bawaan dalam pemantauan rutin sistem akuakultur

Keempat, Menyediakan sistem pendukung keputusan yang dapat diandalkan yang dicirikan oleh program komputerisasi untuk mengumpulkan dan menganalisis data dan mensintesis informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dengan algoritma komputer atau intervensi manusia atau keduanya.

Kelima, mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manual, dan penilaian subjektif produktif, Efisien, Inklusif, dan Berkelanjutan.

Ekonomi Biru

Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) dimana 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global.

Sejak pertengahan tahun 1980-an, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai jawaban untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) antara lain: 1 miliar penduduk dunia berada dalam kemiskinan yang ekstrim, 3 miliar orang masih miskin, 800 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global (UNEP, 2011; Bank Dunia, 2022).

Mengutip UNEP, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, Ekonomi Hijau adalah salah satu yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, Ekonomi Biru merupakan suatu konsep yang sangat penting. Pada dasarnya Ekonomi Biru merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). “Ekonomi Biru, menurut Uni Eropa berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan,” terangnya, mengutip UNEP.

Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik hijau; (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif; (3) dan pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (UNEP, 2012; PEMSEA, 2016).

“Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” jelas Prof. Rokhmin Dahuri.

Maka, lanjutnya, untuk mendukung implementasi ekonomi biru, ada tujuh langkah yang maesti dijalankan Indonesia yakni: pertama, setiap kegiatan pembangunan (unit bisnis) harus sesuai dengan RTRW laut – pesisir – daratan secara terpadu di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional.

“Dalam setiap RTRW terpadu, minimal 30% total luas wilayah dialokasikan untuk kawasan lindung (protected area), selebihnya (< 70%) untuk kawasan pembangunan (development zone) berbagai sektor ekonomi seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, ESDM (pertambangan & energi), industri bioteknologi kelautan, industri manufaktur, dan industri serta jasa maritim,” tuturnya.

Kedua, Pembangunan Kawasan Industri Terpadu berkelas dunia yang berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan sustainable di wilayah perbatasan (terdepan) NKRI, di wilayah pesisir di sekitar ALKI, dan pulau-pulau kecil.

Ketiga, Ciri ekonomi (Kawasan Industri Terpadu) berkelas dunia seperti diatas: (1) ukuran unit usaha memenuhi economy of scale, (2) menerapkan ISCMS (Integrated Supply Chain Management System), (3) menggunakan teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai Supply Chain System, dan (4) mengikuti prinsip-prinsip Sustainable (Green) Development:

“RTRW, Optimal and Sustainable Utilization of Natural Resources, Zero Waste and Emission, Biodiversity Conservation,  Design & Construction with Nature, dan Mitigasi & Adaptasi Perubahan Iklim serta Bencana Alam lainnya,” jelas Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

Keempat, Dalam jangka pendek – menengah (2023 – 2028) (Quick Wins), kita revitalisasi dan kembangkan sektor-sektor: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan dan seafood; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) ESDM seperti Blok Natuna – Anambas, Blok Tangguh (Papua Barat), dan ZEEI Laut Andaman; (6) pariwisata bahari; (7) perhubungan laut; dan (8) industri dan jasa maritim (shipyard, dockyard, peralatan dan mesin, aplikasi digital, dan lainnya).

Kelima, Pengembangan logistik dan konektivitas maritim (Tol Laut & digital). Keenam, Mendirikan Otoritas ALKI untuk mengelola lalu lintas kapal berbasis fee untuk NKRI, seperti pola Terusan Suez dan Terusan Panama with necessary adjustments.

Ketujuh, Economic rents dari pembangunan ekonomi maritim, sebagian untuk membangun HANKAM Maritim- RI berkelas dunia.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri menjabarkan tujuan Ekonomi Biru (Transformasi Biru) di Sektor Perikanan dan Budidaya (FAO, 2022). Antara lain: 1. Ekspansi dan intensifikasi akuakultur yang berkelanjutan, 2. Pengelolaan yang efektif dari semua perikanan tangkap, 3. Peningkatan rantai nilai.

Sedangkan tujuan Ekonomi Biru (Transformasi Biru) dalam Akuakultur (FAO, 2022) yaitu: 1. Untuk meningkatkan pengembangan dan penerapan praktik akuakultur berkelanjutan. 2. Mengintegrasikan akuakultur ke dalam strategi pembangunan dan kebijakan pangan nasional, regional, dan global.

3. Memperluas dan mengintensifkan produksi akuakultur untuk memenuhi permintaan makanan akuatik yang terus meningkat dan meningkatkan mata pencaharian yang inklusif.

4. Untuk meningkatkan kapasitas di semua tingkatan untuk mengembangkan dan mengadopsi teknologi inovatif dan praktik manajemen untuk industri akuakultur yang lebih efisien dan tangguh.

Program peningkatan produktivitas dan produksi komoditas berorientasi ekspor secara berkelanjutan, kata Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu dapat dijalankan melalui berbagai program diantaranya:

Komoditas (Spesies): Udang Vanammei, Lobster, Baramundi, Kerapu, Rumput Laut Karagen (Euchema spp), Rumput Laut Agarose (Gracillaria spp), Kepiting Bakau, Tilapia, serta Ikan Hias dan Tumbuhan Akuatik.

Model Pengembangan (Bisnis): (1) perusahaan swasta skala besar, (2) UKM Korporasi, (3) Badan Usaha Milik Negara, (4) proyek percontohan pemerintah sebagai role model, dan (5) kemitraan antara Korporasi dan UKM.

Pemerintah memastikan tersedianya infrastruktur, tenaga kerja terampil, pinjaman bank (kredit) yang relatif lunak, Iklim Investasi yang kondusif, dan kebijakan ekonomi politik.

Program Peningkatan Produktivitas dan Produksi Komoditas Berorientasi Pasar Dalam Negeri Secara Berkelanjutan

Komoditas (Spesies): Lele Clarias, pangasius, ikan mas, udang galah air tawar, gurami, ikan bandeng, dan spesies endemik (lokal) lainnya.

Model Pengembangan (Bisnis): (1) UKM Korporasi, (2) proyek percontohan pemerintah sebagai panutan, dan (3) UKM perorangan.

“Pemerintah dalam hal ini menjamin ketersediaan infrastruktur, tenaga terampil, pinjaman bank (kredit) yang relatif lunak, Iklim Investasi yang kondusif dan kebijakan ekonomi politik,” terangnya.

Program Peningkatan Produktivitas dan Produksi Komoditas Akuakultur sebagai Bahan Baku Makanan dan Minuman Fungsional, Farmasi, Biofuel, dan Industri lainnya secara berkelanjutan. Yaitu: Komoditas (Spesies): komoditas non-konvensional.

Model Pengembangan (Bisnis): (1) proyek percontohan pemerintah sebagai role model, (2) BUMN, (3) korporasi swasta, dan (4) kemitraan antara Korporasi dan UKM.

“Pemerintah memastikan tersedianya infrastruktur, tenaga terampil, teknologi, pinjaman bank (kredit) yang relatif lunak, Iklim Investasi yang kondusif, dan kebijakan ekonomi politik,” terangnya.

Komentar