Senin, 06 Mei 2024 | 00:40
NEWS

Di Executive Brief DPD RI, Muhadam: Pasal 33 UUD Sudah Dibajak Oligarki

Di Executive Brief DPD RI, Muhadam: Pasal 33 UUD Sudah Dibajak Oligarki
Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN, Muhadam Labollo

ASKARA - Dekan Fakultas Politik Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Muhadam Labollo, mengatakan ada 3 hal yang harus diperhatikan jika negara ingin mewujudkan  kesejahteraan rakyat. Yakni kebijakan, manajemen dan teknis operasi.

"Problem bangsa ini ada di public goods yang tidak dibagi untuk memberi makan 270 juta penduduk Indonesia. Untuk itu di level kebijakan perlu untuk diidentifikasi dan diinventarisasi mana public goods dan private goods. Mana yang seharusnya menjadi milik negara dan mana yang bisa diprivatisasi," ujar Muhadam Labollo dalam Executive Brief 'Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat: Kembali ke UUD 1945 Naskah Asli, Khususnya Pasal 33 dan Penjelasannya' yang diselenggarakan DPD RI, Senin (5/9).

Di level manajemen, diperlukan perencanaan dengan baik. Muhadam menyontohkan Indonesia perlu memiliki peta energi dan Sumber Daya Alam.

"Ini justru swasta yang mempunyai peta semacam ini. Tentu sangat disayangkan," ujarnya.

Selain itu organisasi yang menggarap SDA harus jelas. Mana yang diserahkan ke BUMN atau mana yang bukan BUMN. Di sini pun penting dilakukan evaluasi, apakah untung atau rugi.

"Lalu di level teknis operasi. Tata kelola bumi, air dan sumber daya alam yang  terkandung di dalamnya perlu ditata kembali. Tapi ini balik ke persoalan culture dan etika. Faktanya dengan mekanisme pemilihan kepala daerah kita menyumbang 445 kepala daerah yang sekarang dicokok KPK. Ini tentu ada korelasi," ujar dia.

Muhadam pun menilai Pasal 33 UUD sudah dibajak oleh oligarki. Selama ini negara tidak hadir. Konsep bangsa ini sangat liberal, tidak berpihak lagi pada rakyat.

"Prinsip pengelolaan negara ada dua. Apakah negara menguasai seluruh kekayaan alam atau kita privatisasi. Panduannya adalah Konstitusi. Tapi konstitusi kita ada intervensi sehingga ketika diterjemahkan ke dalam UU menjadi bias," ungkapnya.

"Kita ini sekarang berprinsip bagaimana menjual seuntung mungkin. Problem kita, yang dijual selalu rugi. Prinsip kedua, membeli semurah mungkin. Faktanya sebaliknya. Malah rugi. Yang diuntungkan adalah oligarki. Bukan menumbuhkan kemampuan domestik tapi malah impor. Keuntungan impor sudah jelas siapa yang menikmati. Berangkat dari situ tentu sulit bagi kita membangun kekuatan negara," tuturnya.

Muhadam berharap bangsa ini mengelola ekonomi seefisien mungkin. Karena ada anak cucu kita yang menanti apakah ada sisa untuk mereka.

"Faktanya nikel, emas dan tambang lainnya tidak dieksploitasi dengan baik. Bagaimana anak cucu kita nanti," tanyanya.

Pemerintah, swasta dan civil society seharusnya bekerja bersama  mewujudkan kemakmuran rakyat. Tetapi sekarang, kata Muhadam, swasta mempunyai ruang yang lebih besar. Padahal di Indonesia esensi pokoknya adalah gotong royong.

"Itu dalam konstitusi esensinya adalah ekonomi gotong royong. Tidak perlu mengadopsi sistem dari luar. Itulah problem yang dihadapi bangsa dan negara ini.

Selain Muhadam Labolo, narasumber lainnya adalah Salamuddin Daeng, narasumber lain dalam Executive Brief adalah Ichsanuddin Noorsy (pengamat politik ekonomi) dan Ahmad Daryoko (Koordinator Indonesia Valuation for Energy and Infrastructure/INVEST).

Dalam kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator Bustami Zainuddin (Lampung), Alirman Sori (Sumbar), Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifuddin dan Togar M Nero serta Kabiro Setpim DPD RI, Sanherif Hutagaol.

Komentar