Kamis, 25 April 2024 | 18:09
NEWS

Seminar Nasional FPIK – USNI, Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Kelestarian Ikan Lokal untuk Kesejahteraan

Seminar Nasional FPIK – USNI, Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Kelestarian Ikan Lokal untuk Kesejahteraan
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S

ASKARA – Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Satya Negara Indonesia  (USNI), Kamis (1/9), menyelenggarakan Seminar Nasional “Pelestarian Ikan Lokal Indonesia Untuk Keseimbangan Ekosistem”, dengan Keynote Speakers Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S.

Dalam paparanmya, Prof. Rokhmin Dahuri  menjelaskan, Indonesia memiliki modal besar dan lengkap untuk menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Bangsa Indonesia  setelah 77 tahun merdeka dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. Contohnya, tahun 1970, menurut BPS orang Indonesia yang miskin masih 60 persen dari total penduduk yang ada. Pertama kali dalam sejarah NKRI Pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10%.

“Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 % atau menurut data BPS sekitar 27,6 juta orang,” ujarnya membawakan makalah berjudul “Pelestarian Ikan Lokal Dan Ekosistem Perairan Untuk Mendukung Pembangunan Perikanan Yang Mensejahterakan Dan Berkelanjutan“.

Lanjutnya, dari ukuran ekonomi di seluruh dunia sekitar 204 negara yang masuk anggota PBB hanya 194 negara. Bahkan Bank Dunia menempatkan Indonesia besaran ekonominya menduduki ranking ke 16 dari 200an Negara di dunia itu, dengan produk domestik bruto atau ukuran ekonomi Negara sekitar US$ 1,1 Triliun. Pada Juli 2021, Indonesia turun kelas kembali menjadi negara menengah bawah.

“Tapi kalau US$ 1,1 Triliun itu dibagi 276 juta penduduk Indonesia maka pendapatan per orang baru mencapai US$ 3870. Itu kalau dimasukkan kedalam table klasifikasi Negara miskin dan kaya, mencapai Negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income country). Padahal cita-cita kemerdekaan kita high income atau Negara makmur,” jelasnya.

Sementara itu, negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura dengan potensi pembangunan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia, tingkat kemakmurannya sudah jauh melampaui kita bangsa Indonesia.

Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari masih tingginya angka kemiskinan, ketimpangan kelompok penduduk kaya vs miskin, disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia).

Kalau menurut garis kemiskinan versi BPS pada 2021 perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan yakni pengeluaran Rp 470.000/orang/bulan atau sudah mencapai 9,71%. Tapi kalau garis garis kemiskinan berdasarkan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan). “Jadi sekitar 100 juta jiwa orang Indonesia atau 37% masih tergolong miskin, dan disitulah sebagian besar buruh, petani dan nelayan,” ungkap Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2019-2024 itu.

Berikutnya pembangunan disparitas sebuah wilayah dimana hampir 60% ekonomi Indonesia disumbangkan hanya 5%. “Harusnya sektor perikanan menjadi champion untuk mengoreksi disparity ini, karena sebagaian besar kelautan dan perikanan seharusnya di luar Pulau Jawa,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, kita juga saat ini menghadapi deindustrilisasi dimana hal tersebut terjadi di suatu negara, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI  (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536. Hal tersebut salah satunya ditandai dengan tren naiknya proporsi angkatan kerja di sektor informal.

“Kalau orang-orang cerdas dan baik hati seharusnya tidak bisa tidur, terutama orang pemerintahan dan elit politik. Karena kalau sudah deindustrialisasi kalau kita tidak bangkit bisa terjebak di middle income country,” tandasnya.

Berikutnya kemiskinan tinggal 28 juta penduduk Indonesia. Tapi garis kemiskinan itu, menurutnya, sangat rendah sekali sekitar 470 Ribu per bulan. BPS menyebut garis kemiskinan sejumlah uang yang cukup bagi seorang memenuhi 5 kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan) dalam sebulan.

Sedangkan garis kemiskinan yang dirumuskan oleh Bank Dunia yaitu 2 dollar per orang/hari atau 60 dollar per orang/hari. Jika di rupiahkan sekitar 900 Ribu. “Kalau garis kemiskinan mengiktui rumus Bank Dunia maka rakyat yang miskin masih sekitar 100 juta orang,” jelas Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2001-2004

Dalam hal ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin), kata Prof, Rokhmin Dahuri, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%.

Dari 2005 – 2014, 10% orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun.  Sementara, 40% rakyat termiskin, tingkat konsumsinya hanya tumbuh 1,6% per tahun.

Bahkan menurut Bank Dunia, total konsumsi dari 10% penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54% penduduk termiskin. Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015).

"Sekarang, menurut Institute for Global Justice, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” ungkap Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat itu.

Permasalahan bangsa lainnya yang tak kalah rumit adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

Akibatnya, P. Jawa mengalami beban ekologis yang sangat berat, dengan luas tutupan hutan kurang dari 15% total luas lahannya. Padahal, untuk suatu pulau bisa berkelanjutan (sustainable), luas tutupan hutannya minimal 30% total luas lahannya (Odum, 1976; Clark, 1989).

“Maka, jangan heran, di saat musim penghujan P. Jawa dilanda banjir dan tanah longsor dimana-mana. Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan (deficit) air yang semakin parah,” ujar Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) ini.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Yang sangat mencemaskan berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebutnya.

Tak heran, bila kapasitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) bangsa Indonesia hingga kini baru berada pada kelas-3 (lebih dari 75 % kebutuhan teknologinya berasal dari impor). Sementara menurut Unesco suatu bangsa dinobatkan sebagai bangsa maju, bila kapasitas Iptek-nya mencapai kelas-1 atau lebih dari 75 % kebutuhan Iptek-nya merupakan hasil karya bangsa sendiri.

Selain itu, Indonesia sangat disayang Tuhan karena kita punya modal dasar untuk pembangunan yang lengkap. Kita penduduknya terbesar 4 di dunia, dari segi suplai nya sumber daya alam,kemudian Indonesia dari segi suplai global terletak sangat strategis karena 40% lebih dari seluruh barang yang di datangkan  US$1,1 Triliuan. “Sayangnya,orang Indonesia selama ini menjadi pengimpor produk dari Negara lain bukan sebagai pengekspor,” katanya.

Menurutnya, peran dan kontribusi sektor kelautan dan perikanan dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045 paling tidak mencakup dua hal.  Pertama, mengatasi segenap permasalahan dan tantangan pembangunan Sektor KP pada khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya.

“Kedua, dengan menggunakan inovasi teknologi dan manajemen profesional (modern), meningkatkan pendayagunaan sumber daya kelautan dan perikanan untuk meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi inklusif, dan kesejahteraan rakyat secara ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable) menuju Indonesia Emas, paling lambat pada 2045,” kata Prof. Rokhmin Dahuri yang juga ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) tersebut.

Peta jalan pembangunan pertama, bahwa kalau kita ingin keluar dari jebakan Negara menengah pertumbuhannya di atas 7%. Kedua, karena pertumbuhan suatu kunci. Jika kita ingin maju harusnya investasi dan ekspor lebih besar dari konsumsi dan impor. “Kita sudah 15 tahun konsumsi dan impor lebih besar dari investasi dan ekspornya.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 23.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia) (Bappenas, 2019), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa.

Ada 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045. Yaitu, Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS. Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045 rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019).

Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technologyinnovator country). Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021).

Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya mata pencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarganya (zero poverty). Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat.

Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, kualitas lingkungan hidup tergolong baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan sosialekonomi harus berkelanjutan (sustainable).

Maka, kata Prof. Rokhmin Dahuri. untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan tujuh kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan;

(4) peningkatan kedaulatan/ketahanan pangan, energi, dan farmasi; (5) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (6) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif, dan atraktif; dan (7) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Prof Rokhmin Dahuri melanjutkan bahwa peran sektor perikanan dan kelautan terhadap pembangunan berkelanjutan dan peradaban akan terus meningkat. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang mana 77% total wilayahnya berupa laut dan 28% wilayah daratnya berupa ekosistem perairan tawar (danau, bendungan, sungai, dan rawa), Indonesia memiliki potensi produksi perikanan budidaya terbesar dunia.

Saat ini, peran sektor kelautan dan perikanan antara lain dibidang ekonomi, rekreasi dan spiritual, ekologi, pertahanan dan keamanan, penelitian dan pendidikan. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi perikanan budidaya sekitar 100 juta ton per tahun, namun hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 16%. “Sekarang baru sekitar 16%, masih sangat sedikit. Makanya masih bisa kita dorong terus agar lebih meningkat di tahun-tahun mendatang,” jelas Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Disamping itu juga, secara definisi perikanan budidaya bukan hanya menghasilkan protein hewan berupa ikan, udang , moluska. Tetapi sekali lagi bahan baku raw material berbagai jenis industri pun bisa disediakan oleh perikanan budidaya makanya potensi perikanan budidaya luar biasa.

“Masa depan perikanan kita ada di perikanan budidaya. Makanya pentingnya adanya perencanaan yang matang guna terus menggarap potensinya sehingga produktivitas perikanan budidaya kita bisa terus meningkat,” ujarnya.

Menurut Prof Rokhmin Dahuri, Sektor Kelautan dan Perikanan dianggap berperan (berjasa) signifikan bagi kemajuan dan kesejahteraan suatu wilayah (Kabupaten/Kota, Provinsi, atau Negara), bila ia mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang: (1) tinggi (rata-rata > 7% per tahun), (2) berkualitas (banyak menyerap tenaga kerja), (3) inklusif (mampu mensejahterakan seluruh pelaku usaha dan stakeholders secara berkeadilan), dan (4) ramah lingkungan serta berkelanjutan (sustainable). “Seorang nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, dan pedagang ikan termasuk sejahtera, jika pendapatan (income) nya > US$ 300 (Rp 4,5 juta) per bulan,” katanya.

Sektor kelautan dan perikanan telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan Indonesia dimana sejak 2009 hingga saat ini Indonesia telah menjadi penghasil ikan dan hasil perikanan terbesar kedua dunia (FAO, 2010; FAO, 2020).

Jelasnya, seiring dengan permintaan ikan, produk ikan, dan jasa lingkungan ekosistem laut yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, maka peran sektor kelautan dan perikanan juga semakin penting dan strategis.

“Indonesia memiliki potensi produksi perikanan tangkap dan budidaya terbesar, sekitar 115 juta metrik ton per tahun dan total produksi (pemanfaatan) hanya 22 juta metrik ton (20%) pada tahun 2019," ujarnya.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, Indonesia termasuk negara yang rentan terhadap perubahan iklim global. Oleh sebab itu perlu langkah serius menyelamatkan perikanan dan kelautan Indonesia, karena sekitar 16 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan dan kelautan.

“Perubahan iklim adalah hal yang nyata, seperti halnya dampak negatifnya bagi perikanan. Masalah ini harus dihadapi bersama secara global,” katanya.

Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu, membeberkan strategi pelestarian ikan lokal dan ekosistem perairan. Yaitu, Pertama, Save it:  Amankan spesies ikan lokal dan ekosistem perairan yang mengalami kerusakan dan terancam kelestarian (sustainability) nya.

Kedua, Study it: teliti, pelajari semua aspek terkait dengan biodiversity, baik pada tingkatan genetik, spesies maupun ekosistem serta proses-proses ekologis yang menyertainya.

Ketiga, Use it sustainably: berdasarkan pada hasil penelitian dan pengkajian pada butir-2  susun rencana aksi untuk pengelolaan pemanfaatan (pembangunan) spesies ikan lokal dan ekosistem perairan bagi kesejehateraan umat manusia secara adil dan berkelanjutan (sustainable).

 

 

Komentar