Kamis, 23 Mei 2024 | 19:46
NEWS

Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-61 UNM, Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Mahasiswa Jadi Entrepreneur

Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-61 UNM, Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Mahasiswa Jadi Entrepreneur
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University,  Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mendorong para mahasiswa dan lulusan Universitas Negeri Makassar (UNM) memilih jalan menjadi pengusaha (entrepreneur).

“Para ulama telah sepakat mengenai kebaikan pekerjaan dagang (jual beli), sebagai perkara yang telah dipraktikan sejak zaman Nabi hingga masa kini,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan orasi berjudul “Memperkokoh Karakter Kewirausahaan di Era Disrupsi 4.0 Perubahan Iklim, Ketegangan Geopolitik,dan Post Truth.” pada Dies Natalis ke-61 UNM di Ballroom Theather Menara Pinisi UNM, Sulawesi Selatan, Senin (1/8).

Ia menyebutkan, semasa mudanya, Rasulullah Muhammad SAW adalah seorang entrepreneur ulung. Rasulullah SAW adalah pengusaha sukses dan tersohor (8-40 tahun), dan beliau menjadi Rasulullah dari umur 40-63 tahun.

Rasulullah SAW pernah ditanya oleh para sahabat, “Pekerjaan apakah yang paling baik, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih” (HR Al-Bazzar). Jual beli yang bersih merupakan sebagian dari kegiatan profesi bisnis.

Dalam hadits lain, kata Prof. Rokhmin Dahuri, Rasulullah SAW bersabda, “Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama-sama para Nabi, orang shadiqin, dan para syuhada” (H.R. Tirmidzi dan Hakim). Berdagang atau berbisnis harus dilandasi oleh kejujuran, apabila orang berbisnis tidak jujur, tunggulah kehancurannya. Apabila jujur, ia mendapat keuntungan dari segala penjuru yang tidak ia duga sebelumnya.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri juga mengucapkan  selamat kepada UNM atas Dies Natalis ke-61, semoga UNM yang sudah baik, kedepannya akan lebih berprestasi lagi menjadi a world class university (Universitas Berkelas Dunia).

“Lebih dari itu, seluruh Civitas Academica (Dosen, Mahasiswa, dan Tenaga Non-Akademik) serta alumni UNM diharapkan dapat lebih berkontribusi signifikan dalam mewujudkan cita-cita Kemerdekaan NKRI, yakni Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat atau Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” tuturnya.

Disamping itu, harapnya, UNM dan seluruh alumninya mampu mengurai permasalahan bangsa. Mencetak sumber daya manusia yang tidak pernah melupakan sejarah, bahwa pendahulu mungkin ada sisi negatifnya. Namun yang positif harus diteruskan.

“Sayangnya, sejak awal era Reformasi setiap ganti presiden, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota; kebijakan dan program nya berganti pula. Jadi, kita ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian poco-poco’. Tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan. Etos kerja, produktivitas, daya inovasi, dan akhlak kita sebagai bangsa pun tergolong rendah,” katanya.

Dan, lanjutnya, kita mengalami deficit pemimpin bangsa (di Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan swasta) yang capable (berkemampuan), kompeten, memiliki IMTAQ (Iman dan Taqwa) yang kokoh, berkahlak mulia, dan negarawan.

“Dewasa ini, sebagian besar pemimpin bangsa sangat transaksional, melakukan NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi), dan hanya mementingkan diri, keluarga atau kelompok nya. Mayoritas mereka menjadi pemimpin karena pencitraan diri yang dibiayai oleh oligarki melalui para ‘buzzer’ nya,” tandasnya.

Namun, jelasnya, akar masalah (root cause) dari ketertinggalan bangsa kita adalah karena sejak awal Orde Baru, kita menganut sistem (paradigma) Kapitalisme (Mubyarto, 2004; Sritua Arief dan Rizal Ramli dalam Ridwan, 2014). Bukan Pancasila. Parahnya, kita kurang atau tidak mengambil sisi-sisi positip dari Kapitalisme, seperti kerja keras, disiplin, mencintai dan menguasai IPTEK serta inovasi.

“Tetapi, justru kita praktekan nilai-nilai Kapitalisme yang negatip, seperti rakus, hedonis, hanya mengejar untung sebesar-besarnya (profit maximization), mengeksploitasi yang lain (terutama yang lemah), dan tidak mempercayai kehidupan akhirat,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Memperkokoh Karakter Kewirausahaan

Entrepreneurship, jelasnya, menjadi jalan yang paling efektif di tengah himpitan ekonomi yang semakin besar dan lapangan pekerjaan yang semakin sempit untuk membangkitkan kembali kehidupan perekonomian masyarakat. Bagi Individu, berwirausaha (menjadi entrepeneur) berarti menciptakan lapangan keja, menolong orang lain, dan menjadi “tangan di atas” menciptakan kebahagiaan. “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah” (HR. Bukhari).

Seorang entrepreneur yang sukses bisa menjadi pejabat publik (negara): Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, DPR, bahkan Presiden. Presiden Joko Widodo pernah menjadi pedagang mebel sukses. Beliau pernah berhasil memasarkan hasil kerajinan kayu hingga ke berbagai negara dan sukses. Artinya, Pak Jokowi memiliki pengalaman kerja sebagai wirausaha. Demikian pula jajaran menterinya yang merupakan pengusaha kemudian ditunjuk menjadi menteri, seperti Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Erick Thohir sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Oleh karena itu, sebenarnya bangsa ini sedang dipimpin oleh orang yang berjiwa kewirausahaan. Di Amerika Donald Trump menjadi pengusaha pertama di AS yang berhasil menjadi presiden AS, ini menjadi catatan sejarah tersendiri dalam politik AS sejak negara itu berdiri lebih dari 200 tahun lalu. Salah satu syarat sebuah negara-bangsa bisa maju, sejahtera (adilmakmur), dan berdaulat adalah bila jumlah entrepreneur (wirausahawan)nya lebih dari 7% total penduduk negara tersebut (McCLelland, 2010).

Namun jumlah entrepreneur di Indonesia masih di bawah 7%, hal ini sesuai yang disampaikan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah bahwa rasio kewirausahaan Indonesia dari 2016-2021 yaitu 3,49% (2016); 3,09(2017); 3,27% (2018); 3,27 (2019); 2,93 (2020); 2,89 (2021); rata-rata rasio kewirausahaan nasional sebesar 3,16%. Rasio kewirausahaan nasional cenderung menurun di tahun 2020 dan 2021 yang dipengaruhi adanya pandemi Covid-19. Angka tersebut masih di bawah negara ASEAN lainnya. Thailand jumlah wirausahanya sudah 4,2%, Malaysia 4,7%, dan Singapura 8,7% (Kemenkop UKM, 2021).

Lebih lanjut, Prof Rokhmin Dahuri menyampaikan, sejatinya Indonesia merupakan sedikit dari negara-negara di dunia yang memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Modal dasar pembangunan yang pertama adalah besarnya jumlah penduduk, yang tahun lalu mencapai 276 juta orang (BPS, 2021).  Itu , katanya, Indonesia merupakan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah China 1,4 milyar orang, India 1,2 milyar orang, dan Amerika Serikat 370 juta jiwa (PBB, 2021).

Besarnya jumlah penduduk berarti Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang luar biasa besar. Selain itu, selama kurun waktu 2020 sampai 2032 Indonesia mengalami ‘Bonus Demografi’ (Demographic Devident), dimana jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) melebihi jumlah penduduk berusia tidak produktif.

“Apabila pemerintah mampu mengelola ‘Bonus Demografi’ itu secara cerdas dan benar, meningkatkan kualitas (kapasitas inovasi, etos kerja, dan akhlak) SDM (Sumber Daya Manusia) nya, dan menciptakan lapangan kerja yang mensejahterakan bagi seluruh penduduk usia kerja yang terus bertambah,” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 ini.

Maka, lanjutnya, ini bakal meningkatkan produktivitas, daya saing, dan pertumbuhan ekonomi inklusif yang dapat mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara adil dan berkelanjutan. Dan sebaliknya, bila pemerintah gagal memanfaatkan (to capitalize) ‘Bonus Demografi’ tersebut, Indonesia bakal terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income trap), alias akan gagal menjadi bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.

Disamping itu, terangnya, modal dasar kedua adalah berupa kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) yang sangat besar, baik SDA terbarukan (seperti hutan, lahan pertanian, peternakan, perikanan, dan keanekaragam hayati atau biodiversity) maupun SDA tidak terbarukan yang meliputi minyak dan gas, batubara, nikel, tembaga, emas, bauksit, bijih besi, pasir besi, mangan, mineral tanah jarang (rare earth), jenis mineral lainnya, dan bahan tambang.

Beragam jenis SDA itu tersebar di wilayah laut dan daratan, dari Sabang hingga Merauke, dan dari Pulau Miangas sampai P. Rote. Kekayaan SDA yang melimpah ini mestinya menjadikan Indonesia sebagai produsen (supplier) utama berbagai jenis komoditas dan produk di dunia. Mulai dari produk pangan dan minuman, sandang (tekstil, garmen/pakaian, sepatu, dan jenis pakaian lainnya), perumahan dan bangunan, farmasi dan obat-obatan (kesehatan), teknologi dan manajemen pendidikan, elektronik, otomotif, mesin dan peralatan transportasi, teknologi informasi dan digital, bioteknologi sampai nanoteknologi.

Modal dasar ketiga adalah berupa posisi geopolitik dan geoekonomi yang sangat strategis. Indonesia yang terletak diantara Samudera Pasifik dan Hindia, dan diantara Benua Asia dan Australia, menempatkannya di jantung (hub) Rantai Pasok Global (Global Supply Chain) atau perdagangan global. Dimana, sekitar 45% dari seluruh komoditas, produk, dan barang yang diperdagangkan di dunia. “Dengan nilai rata-rata 15 trilyun dolar AS per tahun diangkut (ditransportasikan) oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan wilayah laut Indonesia lainnya (UNCTAD, 2018),” ungkap Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) itu.

Harusnya, kata Prof. Rokhmin Dahuri, posisi geoekonomi yang sangat strategis ini dijadikan peluang bagi Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor barang dan jasa (goods and services) utama di dunia, sehingga menghasilkan neraca perdagangan yang positip dan besar secara berkelanjutan. “Sayangnya, justru sebaliknya, sejak 2010 hingga 2019 neraca perdagangan RI justru negatip terus. Artinya nilai total impor lebih besar ketimbang total nilai ekspor Indonesia,” tuturnya.

Dengan perkataan lain, bangsa Indonesia lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor dari pada sebagai prodosen, investor, dan pengekspor. Memang, tahun 2020 dan 2021 neraca perdagangan RI mengalami surplus. Tetapi, bukan karena meningkatnya aktivitas produksi, manufacturing, dan ekspor, tetapi lebih karena terpangkasnya kegiatan produksi, manufakturing, dan impor akibat pendemi covid-19 dan terganggunya rantai pasok global.

Kemudian, modal dasar keempat adalah fakta empiris bahwa Indonesia merupakan pusat (‘pasar swalayan’) berbagai jenis bencana alam. Sekitar 70% total gunung berapi yang ada di dunia terdapat di Indonesia. Fakta sejarah membuktikan bahwa bangsa dan Negara yang maju salah satu syaratnya dimana pemimpin dan rakyatnya memiliki persepsi bahwa kita mempunyai tantangan.

Makanya, Indonesia dikenal sebagai ‘a ring of fire’ Negara yang sering terkena gempa bumi dan letusan gunung berapi. Potensi bencana tsunami juga sangat besar, karena wilayah Nusantara merupakan pertemuan tiga lempeng bumi utama.

“Belum lagi bencana hidrometri, seperti banjir, tanah longsor, dan erosi. Fakta empiris dan sejarah telah membuktikan semua negara-bangsa yang maju dan makmur adalah mereka yang para pemimpin dan rakyatnya punya persepsi sama, yakni adanya tantangan bersama (common challenges) yang mereka hadapi,” katanya.

Sehingga, kata Prof. Rokhmin Dahuri, mereka menjadi bangsa dengan kualitas SDM unggul, etos kerja unggul, dan berakhlak mulia. Nah, saya menduga karena alam Indonesia subur – makmur, bak zamrud di khatulistiwa, bak kolam susu, tongkat dan batu jadi tanaman. Dan, orangnya pun pada umumnya sangat baik, saling bantu-membantu, bergotong royong.

Maka, mayoritas orang Indonesia, baik para pemimpin maupun rakyatnya masih malas, kurang produktif dan inovatif, berbudaya instan, ‘tangan dibawah’, kurang mampu bekerjasama, saling iri dan dengki, dan karakter negatif lainnya. Jika, dugaan saya ini benar, maka bencana alam sungguh merupakan ‘hikmah’ dari Allah swt, agar bangsa (peminpin dan rakyat) Indonesia terus meningkatkan kualitas, etos kerja, dan akhlaknya bagi kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa Indonesia.

Lanjutnya, meskipun modal dasar yang dimiliki bangsa Indonesia sedemikian besar, tetapi sudah 77 tahun merdeka Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income country) dengan Pendapatan Nasional Kotor (Gross National Income) perkapita hanya sebesar 3.870 dolar AS (World Bank, 2021). Lebih dari itu, angka pengannguran, kemiskinan, ketimpangan kaya vs miskin, dan stunting pun masih sangat tinggi.

Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia masih sebagai Negara berpendapatan menengah bawah, belum sebagai negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Mulai belum adanya rencana pembangunan (Road Map, Blue Print) yang komprehensif dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan sampai dengan masih rendahnya kualitas SDM, etos kerja, dan akhlak bangsa. “Namun, yang relevan dengan tema Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke-61 UNM kali ini adalah rendahnya jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) dan jumlah entrepreneur (wirausahawan),” ujar Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Status Dan Tantangan Pembangunan Indonesia

Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, alhamdulillah bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. Contohnya, kalau pada 1945 – 1955 sekitar 75 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen. Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen.

“Sayang, karena pandemic Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 persen atau sekitar 27,6 juta orang (BPS, 2021). Ukuran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia saat ini mencapai 1,1 trilyun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia (World Bank, 2021),” kata Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

Namun, bila PDB sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 274 juta orang, maka per Maret 2021 Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS per kapita. Artinya, hingga saat ini (sudah 77 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai Negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country).

Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI per kapita diatas 12.695 dolar AS. Sementara itu, negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura dengan potensi pembangunan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia, tingkat kemakmurannya sudah jauh melampaui kita bangsa Indonesia.

Bahkan Singapura dan Brunei Darussalam sudah dinobatkan sebagai negara makmur, dengan GNI per kapita 54.920 dolar AS dan 32.230 dolar AS. Tingkat kemajuan bangsa Indonesia, yang diukur atas dasar kapasitas IPTEK (UNESCO, 2014), pun sampai sekarang masih berada di kelas-3 (technology-adaptor country), belum sebagai negara maju (technology-innovator country) atau kelas-1.

Technology-adaptor country adalah negara yang sekitar 70% kebutuhan teknologinya berasal dari impor, bukan dari hasil karya (inovasi) bangsa sendiri. Sebaliknya, negara maju (technology-innovator country) adalah negara yang lebih dari 70% kebutuhan teknologinya dipenuhi oleh hasil karya bangsanya sendiri, bukan dari impor. Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan.

Mulai dari masih tingginya angka kemiskinan, ketimpangan kelompok penduduk kaya vs miskin, disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia).

Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 472.525/orang/bulan, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 27 juta orang atau 10,2% jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2021). Tetapi, atas dasar garis kemiskinan internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 100 juta orang atau 37% jumlah penduduk (Bank Dunia, 2021).

Dalam hal ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin), Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara.

Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfam International, 2021). Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).

Permasalahan bangsa lainnya yang tak kalah rumit adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

Akibatnya, Pulau Jawa mengalami beban ekologis yang sangat berat, dengan luas tutupan hutan kurang dari 15% total luas lahannya. Padahal, untuk suatu pulau bisa berkelanjutan (sustainable), luas tutupan hutannya minimal 30% total luas lahnnya (Odum, 1976; Clark, 1989). “Maka, jangan heran, di saat musim penghujan P. Jawa dilanda banjir dan tanah longsor dimana-mana),” sebut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan (deficit) air yang semakin parah. Dalam pada itu, potensi pembangunan berupa SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang begitu melimpah, tidak dimanfaatkan secara optimal atau dicuri pihak asing. Implikasi lainnya adalah biaya logistic Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, sekitar 24% PDB (UNCTAD, 2021). Ini menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing ekonomi Indonesia.

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur). Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS.

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya (a lost generation). Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80 (UNDP, 2021),” katanya.

Ironisnya, sambung Prof. Rokhmin Dahuri, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis. Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia (UNEP, WWF; 2020).

Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi Negara maju, adil-makmur, dan berdaulat. Pada tataran praksis, penyebab itu karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, danbenar serta diimplementasikan secara berkesinambungan.

Sejak awal Orde Baru sampai sekarang, sambungnya, perekonomian sebagian besar berbasis pada eksploitasi SDA, ekspor komoditas mentah, buruh murah, dan investasi asing. Akibatnya, keuntungan ekonomi (economic rent) dari berbagai kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis kebanyakan lari ke Jakarta atau negara-negara asal investor asing (regional leakages). Negara dan rakyat Indonesia hanya menikmati sebagain kecil keuntungan ekonomi itu atau ‘remah-remah’ nya saja.

Key Global Trends Yang Mempengaruhi Kehidupan Umat Manusia Di Abad-21

Pada prinsipnya, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, ada 5 kecenderungan global (key global trends) yang mempengaruhi kehidupan dan peradaban manusia di abad-21, yakni: (1) jumlah penduduk dunia yang terus bertambah; (2) Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat); (3) Perubahan Iklim Global (Global Climate Change); (4) Dinamika Geopolitik; (5) Era Post-TruthPertama adalah jumlah penduduk dunia yang terus bertambah.

Pada 2011 jumlah penduduk dunia sebanyak 7 milyar orang, kini sekitar 7,9 milyar orang, tahun 2050 diperkirakan akan menjadi 9,7 milyar, dan pada 2100 akan mencapai 10,9 milyar jiwa (PBB, 2021). Implikasinya tentu akan meningkatkan kebutuhan (demand) manusia akan bahan pangan, sandang, material untuk perumahan dan bangunan lainnya, obat-obatan (farmasi), jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, jasa rekreasi dan pariwisata, dan kebutuhan manusia lainnya.

Implikasi selanjutnya adalah bahwa magnitude dan laju eksplorasi serta eksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan (envrionmental services) baik di wilayah (ekosistem) daratan, lautan maupun udara akan semakin meningkat.

Kedua, era Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat) yang melahirkan inovasi teknologi dan non-teknologi baru yang mengakibatkan disrupsi hampir di semua sektor pembangunan dan aspek kehidupan manusia. Jenis-jenis teknologi baru yang lahir dan berubah super cepat di era Industri 4.0 berbasis pada kombinasi teknologi digital, fisika, material baru, dan biologi. Antara lain adalah IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Blockchain, Robotics, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (Metaverse), Big Data, Biotechnology, dan Nannotechnology (Schwab, 2015).

“Namun saat ini perkembangan industri teknologi digital masih bergerak pada sektor jasa dan distribusi saja, padahal seharusnya pemanfaatan teknologi dan artificial intelligence dapat meningkatkan dan mengefektifkan sektor eksplorasi, produksi, dan pengolahan (manufacturing) SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat,” ujarnya.

Ketiga, sambungnya, perubahan Iklim Global (Global Climate Change) beserta segenap dampak negatipnya seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), banjir, kebakaran lahan dan hutan, dan peledakan wabah penyakit; bukan hanya mengurangi kemampuan ekosistem bumi untuk menghasilkan bahan pangan, farmasi, energi, dan SDA lainnya. Tetapi, juga akan membuat kondisi lingkungan hidup yang tidak nyaman bahkan dapat mematikan kehidupan manusia (Sach, 2015; Al Gore, 2017).

Keempat, ketegangan geopolitik yang menjurus ke perang fisik (militer) seperti yang terjadi antara Rusia vs Ukraina. Ketegangan geopolitik yang lebih besar sebenarnya adalah antara AS serta para sekutunya (seperti Jepang, Australia, Inggris, dan Uni Eropa) vs China serta sekutunya (seperti Rusia, Korea Utara, dan Iran).

Selain karena faktor ideologi, penyebab ketegangan geopolitik dan perang adalah perebutan wilayah dan SDA (resource war). Sejumlah kawasan sangat rawan terjadinya perang, sperti Timur Tengah, Afrika, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan Asia Timur. Invasi Rusia terhadap Ukraina telah memicu kenaikan harga pangan dan energi, inflasi yang tinggi, dan resesi ekonomi global. Akibat dari terganggunya produksi pupuk, pangan, dan energy serta rantai pasok global.

Kelima, Post-truth atau Paska Kebenaran adalah kondisi di mana fakta (kebenaran) tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik disbanding emosi dan keyakinan personal (Hartono, 2018). Post-truth dianggap sebagai fenomena disrupsi dalam dunia politik yang secara besar-besaran diintensifkan oleh teknologi digital secara masif menjadi suatu prahara (Wera, 2020).

Pada era post-truth sekarang ini bangsa Indonesia perlu bersikap waspada karena hoaks politik dapat melemahkan ketahanan nasional, bahkan memecah belah NKRI, sehingga mengganggu proses pembangunan nasional yang sedang berjalan (Amilin, 2019). Kelima kecenderungan global diatas mengakibatkan kehidupan dunia bersifat VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous), bergejolak, tidak menentu, rumit, dan membingungkan (Radjou and Prabhu, 2015).

Oleh sebab itu, sistem dan lembaga Pendidikan Tinggi harus mampu mendesain dan memberikan kapasitas kepada para mahasiswa nya dan bangsa Indonesia yang dapat mengelola atau mengatasi fenomena VUCA tersebut. Melalui kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi nya: Pengajaran/Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat.

Kapasitas (knowledge, skills, expertise, dan attitude) yang dibutuhkan untuk mengarungi kehidupan di era VUCA dengan sukses dan bahagia adalah: kreativitas, inovatif, kemampuan beradaptasi, daya lenting (resillience), agility (kegesitan), kolaborasi (teamwork), positive thinking, entrepreneurship, dan iman dan taqwa menurut agama kita masing-masing.

Peta Jalan Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045

Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 23.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia) (Bappenas, 2019), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa sebagaimana saya sajikan secara ringkasAda 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045. Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS.

Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045 rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019). Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technologyinnovator country). Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021).

Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya matapencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarga nya (zero poverty). Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat.

Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, kualitas lingkungan hidup tergolong baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan sosialekonomi harus berkelanjutan (sustainable).

Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan tujuh kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan; (4) peningkatan kedaulatan/ketahanan pangan, energi, dan farmasi; (5) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (6) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif, dan atraktif; dan (7) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Karena transformasi struktural ekonomi merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara-bangsa untuk dapat lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan kemudian menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. “Maka, saya ingin sedikit mengelaborasi tentang proses transformasi struktural ekonomi. Menurut United Nations (2008), “structural economic transformation involves the reallocation of productive factors from traditional agriculture to modern agriculture, manufacturing industry, and services; and the reallocation of those productive factors among manufacturing and service sector activities. It also means shifting resources (productiveAda 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045. Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS,” tuturnya.

Menurutnya, target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045 rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019). Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technologyinnovator country). Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021).

Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya matapencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarga nya (zero poverty). Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat. Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, kualitas lingkungan hidup tergolong baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan sosialekonomi harus berkelanjutan (sustainable).

Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan tujuh kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan; (4) peningkatan kedaulatan/ketahanan pangan, energi, dan farmasi; (5) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital;

(6) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif, dan atraktif; dan (7) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Karena transformasi struktural ekonomi merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara-bangsa untuk dapat lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan kemudian menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Maka, saya ingin sedikit mengelaborasi tentang proses transformasi struktural ekonomi.

Menurut United Nations, “transformasi ekonomi struktural melibatkan realokasi faktor-faktor produktif dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; dan realokasi faktor-faktor produktif tersebut di antara kegiatan sektor manufaktur dan jasa. Ini juga berarti menggeser sumber daya (faktor produktif) dari sektor berproduktivitas rendah ke tinggi. Hal ini juga terkait dengan kemampuan bangsa untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional yaitu: untuk menghasilkan kegiatan ekonomi baru, memperkuat keterkaitan ekonomi dalam negeri, dan membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri”.

Mengacu pada definisi dan pengertian tentang transformasi structural ekonomi itu, maka untuk konteks Indonesia, transformasi struktural ekonomi mencakup enam elemen (proses) berikut. Pertama, dari dominasi kegiatan eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable). Kedua, dari dominasi sektor impor dan konsumsi ke dominasi sektor investasi, produksi, dan ekspor. Ketiga, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Keempat, revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Makanan Minuman, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya. Kelima, pengembangan industri manufakturing baru, seperti mobil listrik, EBT (Energi Baru Terbarukan), Semikonduktor, Baterai, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan Industri 4.0. Keenam, kelima proses pembangunan ekonomi tersebut mesti berbasis pada Ekonomi Digital (Industry 4.0, Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Pancasila.

Di bidang lingkungan hidup, pertama adalah bahwa RTRW harus diimplementasikan secara serius dan konsisten di tingkat nasional, provinsi hingga ke Kabupaten/Kota. Kedua, pemanfaatan SDA terbarukan (seperti hutan, perikanan, dan lahan pertanian) harus dikerjakan secara optimal, tidak melampaui potensi produksi lestarinya, dan ramah lingkungan.

Ketiga, eksploitasi SDA tidak terbarukan (seperi minyak, gas, batubara, mineral, dan bahan tambang) mesti dilakukan secara ramah lingkungan, didahului dengan studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), pemantauan lingkungan, dan pengelolaan lingkungan. Pastikan bahwa masyarakat setempat (lokal) dilibatkan sejak awal perencanaan proyek pembangunan, dapat bekerja di proyek pembangunan, dan mendapatkan keuntungan (berkah) langsung.

Sebagian keuntungan harus dialokasikan untuk rehabilitasi lingkungan yang rusak, dan pengembangan berbagai kegiatan usaha ekonomi yang produktifefisien, berdaya saing, dan berkelanjutan, sebelum masa tambang berakhir.

Keempat, pengendalian pencemaran dengan tidak membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) ke lingkungan (seperti lahan darat, danau, sungai, dan laut). Limbah B3 harus diolah (treated) dahulu di instalasi pengolahan limbah B3, sampai netral (tidak berbahaya). Untuk limbah non-B3 boleh dibuang ke lingkungan, tetapi jumlah (laju) pembuangannya tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan alam untuk menetralisirnya.

Kelima, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) baik pada tingkat gen, spesies maupun ekosistem. Keenam, dalam mengubah (memodifikasi) bentang alam (landscape atau seascape), infrastruktur, gedung, kawasan pemukiman, kawasan industri. kawasan pertanian, dan ekosistem buatan manusia (man-made ecosystems) lainnya; kita mesti mengerjakannya berdasarkan prinsip dan prosedur ‘design and construction with nature’ atau sesuai dengan kondisi, struktur, karakteristik, dan dinamika lingkungan alam setempat. Ketujuh, mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya.

Di bidang sosial-budaya, kita mesti meningkatkan kinerja sektor Pendidikan supaya semua anak, remaja, dan orang dewasa mampu menyelesaikan pendidikannya, dari jenjang PAUD, SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi dengan kualitas Pendidikan yang terbaik, a world-class education.

Struktur tenagan kerja Indonesia yang saat ini terdiri dari 55% lulusan SLTP (18%) dan lulusan SD atau tidak tamat SD (37%), ke depan melalui perbaikan sektor Pendidikan, semua angkatan kerja minimal lulusan SLTP, seperti halnya di negara-negara maju dan makmur. Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi yang saat ini baru mencapai 36,3% pun bisa meningkat seperti di negara-negara maju dan makmur diatas 60%.

Kinerja sektor Kesehatan mulai sekarang juga harus disempurnakan untuk menurunkan angka stunting anak-anak kita dari sekarang 30% menjadi 14% pada 2024, gizi buruk dari 17,7% menjadi 10%, dan berbadan kurus dari 10,2% menjadi 5%. Kapasitas riset dan inovasi mulai sekarang juga harus ditingkatkan hingga seperti di negara-negara maju dan makmur. Pasalnya, kapasitas riset dan inovasi sangat menentukan produktivitas dan daya saing suatu bangsa.

Terakhir adalah perbaikan etos kerja dan akhlak bangsa melalui Pendidikan agama, budipekerti, contoh teladan dari orang tua dan tokoh masyarakat, dan penciptaan sistem sosial yang kondusif bagi tumbuh kembangnya insan-insan Indonesia yang beretos kerja unggul, berkahlak mulia, dan beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.

“Di bidang politik-hukum-keamanan, pertama yang mesti dibenahi adalah tata kelola pemerintahan yang hingga kini belum mencapai kinerja sebagaimana di negara-negara maju dan makmur. Praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) bukannya membaik, malah kian merajalela,” kata Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan Seluruh Indonesia (ASPEKSINDO) itu.

Maka, katanya, prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) termasuk transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan melayani publik (rakyat) mesti dilaksanakan di setiap unit kerja pemerintah, dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota sampai desa. Hukum sungguh-sungguh harus ditegakkan secara tegas, keras, adil, tanpa pandang bulu, dan berwibawa. Jaminan rasa aman dan keadilan harus benar-benar hadir di tengah kehidupan masyarakat kita.

Sistem sosial budaya dan polhukam harus menciptakan masyarakat meritokrasi, yakni system kehidupan sosial yang memberikan penghargaan dan kepercayaan kepada setiap warga negara yang kompeten, beretos kerja unggul, berakhlak mulia, dan berprestasi untuk menduduki jabatan tinggi dan terhormat di pemerintahan, perusahaan swasta, dan Lembaga-lembaga lainnya. Sebaliknya, bagi warga negara yang pemalas, etos kerjanya rendah, akhlaknya buruk, dan bikin masalah melulu mesti diberi hukuman (punishment), disinsentif, dan efek jera.

Selanjutnya, pemerintah berkewajiban untuk memperbaiki kompetensi, etos kerja, dan akhlak dari semua warga negara yang terkena masalah ini. Dengan demikian, generasi mendatang akan berusaha untuk menjadi warga negara yang baik dan berprestasi agar bisa hidup sukses, terhormat, dan bahagia. Stop praktik PILKADA, PILEG, PILPRES, dan PEMILU yang selama ini sangat dipenuhi oleh politik uang (money politics), yang mengakibatkan biaya sangat tinggi.

Sehingga, ujungnya lebih dari 70 persen Kepala Daerah terjerat kasus korupsi. Yang lebih mencemaskan, di tingkat nasional, kini negara dikuasai oleh oligarki (kerjasama elit politik dan konglomerat jahat) untuk merampok kekayaan negara dan ‘menjual negara’ ke pihak asing.

Kini saatnya kita menyudahi demokrasi liberal dengan ‘one man, one vote’ nya. Dan, kemudian menerapkan demokrasi yang berlandaskan pada hikmah dan kebijksanaan melalui permusywaratan/perwakilan (Sila-4 Pancasila).

Kekuatan pertahanan nasional yang meliputi SDM, alusista, infrastruktur, dan anggaran harus ditingkatkan supaya berwibawa dan disegani oleh bangsabangsa lain di dunia. Dengan kekuatan ekonomi, IPTEK, dan Hankam yang tangguh, berkelaas dunia; kita akan mampu melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, sekaligus turut menjaga perdamaian dunia sebagaimanadiamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Semua kebijakan dan program pembangunan di bidang ekonomi, lingkungan hidup, sosial-budaya, dan polhukam diatas haruslah berdasarkan pada Pancasila, sebagai pengganti system Kapitalisme.

Prof. Rokhmin Dahuri lalu mengutip pendapat sejumlah pakar mengenai makna entrepreneur. Menurut Rusdiana (2018) manfaat wirausaha secara lebih terperinci, antara lain: (1) menambah daya tampung tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran; (2) sebagai generator pembangunan lingkungan, bidang produksi, distribusi, pemeliharaan lingkungan, kesejahteraan, dan sebagainya; (3) menjadi contoh bagi anggota masyarakat lain, sebagai pribadiunggul yang patut dicontoh dan diteladani karena seorang wirausaha adalah orang terpuji, jujur, berani, hidup tidak merugikan orang lain;

(4) menghormati hukum dan peraturan yang berlaku, berusaha selalu memperjuangkan lingkungan; (5) memberi bantuan kepada orang lain dan pembangunan sosial, sesuai dengan kemampuannya; (6) mendidik karyawannya menjadi orang mandiri, disiplin, jujur, tekun dalam menghadapi pekerjaan; (7) memberi contoh tentang cara bekerja keras, tanpa melupakan perintah-perintah agama, dekat kepada Allah SWT; (8) hidup secara efisien, tidak berfoya-foya, dan tidak boros; (9) memelihara keserasian lingkungan, baik dalam pergaulan maupun kebersihan lingkungan.

Dari banyaknya manfaat wirausaha, menurut Rusdiana (2018) ada dua darma bakti wirausaha terhadap pembangunan bangsa, yaitu: (1) sebagai pengusaha, memberikan darma baktinya dalam melancarkan proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Wirausaha mengatasi kesulitan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat; (2) sebagai pejuang bangsa dalam bidang ekonomi, meningkatkan ketahanan nasional, mengurangi ketergantungan pada bangsa asing.

Sehubungan dengan hal tersebut, pengembangan kewirausahaan (entrepreneurship) sangat penting bagi mahasiswa. Disamping untuk kesuksesan individu, menjadi entrepreneur akan turut serta berkontribusi membantu dalam pembangunan bangsa.

Definisi dan pengertian dari entrepreneurship diungkapkan oleh beberapa tokoh, pertama menurut Daniel Priestley (2013): “An entrepreneur is someone who spots an opportunity and acts to make it into a commercial succes” (seorang yang mampu menangkap suatu peluang dan kemudian mengubahnya menjadi bisnis yang sukses.

Sedangkan, kedua menurut Ir. Ciputra (2007): entrepreneur adalah seseorang yang mampu mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas. Ketiga menurut Rusdiana (2018): entrepreneur adalah (1) orang yang menanggung resiko; (2) orang yang mengurus perusahaan; (3) orang yang memobilisasi dan mengalokasikan modal; (4) orang yang mencipta barang baru, dan sebagainya.

Istilah entrepreneur tidak hanya berkaitan dengan dunia usaha, atau pengusaha, tetapi juga berkaitan dengan bidang lain. Menurut Ir. Ciputra (2007) Tipe entrepreneur terbagi menjadi empat, yaitu pertama Business Entrepreneur, kelompok ini terbagi menjadi dua yaitu Owner Entrepreneur and professional Entrepreneur.

Owner Entrepreneur adalah para pemilik bisnis, sedangkan Professional Entrepreneur adalah orang-orang yang memiliki daya wirausaha yang mempraktekkannya pada perusahaan orang lain. Kedua, Government Entrepreneur yaitu pemimpin pemerintahan dan ASN (Aparatur Sipil Negara) yang mampu mengelola dan menumbuhkan jiwa dan kecakapan wirausaha penduduknya. Contoh dari Government Entrepreneur adalah pemimpin Negara Singapura Lee Kuan Yew, PM. Malaysia Mahatir Muhammad, Presiden China Xi Jin Ping.

Ketiga, Social Entrepreneur yaitu pendiri organisasi social kelas dunia yang berhasil menghimpun dana masyarakat untuk melaksanakan tugas social yang mereka yakini. Contohnya adalah Mohammad Yunus, peraih nobel perdamaian tahun 2006 serta pendiri Grameen Bank. Keempat, Academic Entrepreneur yaitu akademisi yang mengajar atau mengelola lembaga pendidikan dengan pola dan gaya entrepreneur sambil tetap menjaga tujuan mulia pendidikan.

Universitas Harvard, MIT (Massasuchet Institute of Technology), Stanford University, Oxford University, Cambridge University, Nanyang Technology University, National University of Singapore, University of Tokyo, dan Seoul National University merupakan beberapa uiversitas terkemuka di dunia yang mengelola Lembaga Pendidikan tinggi dengan gaya entrepreneur.

Menurut Regional Innovation and Entrepreneurship Research Center (2019), Indonesia menduduki peringkat ke- 75 Global Entrepreneurship Index (GEI) dari 137 negara di dunia dengan skor 26. Sementara, peringkat 5 tertinggi diduduki oleh negara Amerika (86,8), Swiss (82,2), Kanada (80,4), Denmark (79,3), dan Inggris (77,5) Badan Pusat Statistik (2021) mencatat, ada 129.137 unit usaha perdagangan menengah dan besar di Indonesia pada 2020 menunjukkan dari jumlah tersebut, mayoritasnya atau sekitar 39% pemilik usaha merupakan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sementara itu, pemilik usaha perdagangan yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Diploma IV/S1 sebanyak 28%. Lalu sebanyak 10,8% merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ada pula 6,9% pemilik usaha perdagangan yang merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD), 3,6% tidak tamat SD, dan 5,5% merupakan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kemudian persentase pemilik usaha perdagangan yang memiliki tingkat pendidikan Diploma I/II/III sebanyak 4,7%.

Sementara, hanya 2,4% yang merupakan lulusan S2/S3Perkembangan kewirausahaan di Indonesia pada tahun 2019 menunjukkan tren yang positif, hal ini bisa dilihat dari adanya peningkatan dari 61,65 juta unit pada Tahun 2016, menjadi 65,46 juta pada Tahun 2019 (mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2% per tahun). Namun Rasio kewirausahaan nasional mengalami penurunan dari yang sebelumnya senilai 3,27% pada tahun 2019 menjadi 2,93% pada tahun 2020 dan turun kembali menjadi 2,89% pada tahun 2021 (belum mencapai target: 3,55%). Persentase pertumbuhan wirausaha di Indonesia hanya sebesar 0,07% (Kemenkop UKM, 2021)

Kontribusi kewirausahaan terhadap perekonomian Indonesia tahun 2019 dapat dikatakan dominan, karena kontribusi PDB UMKM terhadap PDB Nasional sebesar 60,5%, total tenaga kerja yang terserap sebesar 96,9%, membuka lapangan kerja sebanyak 99,9%, berkontribusi terhadap ekspor sebesar 15,6%, serta penciptaan investasi sebesar 60% (Kemenkop UKM, 2021).

Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) dalam buku Mapping & Database Startup Indonesia 2021 melaporkan ada 1.190 perusahaan rintisan (startup) di Indonesia menunjukkan dari jumlah tersebut, sebanyak 32,7% startup termasuk ke dalam bidang usaha general. Kemudian, sebanyak 16,48% startup bergerak dalam bidang content creator atau pembuatan konten. Lalu, ada 14,59% startup yang bergerak di bidang e-commerce, sedangkan yang bergerak di bidang fintech atau teknologi finansial sebanyak 8,52%.

Selain itu, data dari MIKTI menunjukkan mayoritas startup tersebut berbadan usaha dalam bentuk perseroan terbatas (PT) dengan persentase 51,39%. Sebanyak 7,13% startup berbadan usaha commanditaire vennootschap (CV). Sementara, 29,1% startup belum berbadan usaha 12,38% lainnya tidak diketahui.

Dari data MIKTI tersebut dapat disimpulkan bahwa perkembangan startup di Indonesia masih bergerak pada sektor jasa saja yang hanya bisa menyelesaikan dan mempercepat sektor distribusi, padahal sektor produksi pun sangat membutuhkan inovasi dan peran serta para startup untuk memenuhi berbagai kebutuhan dengan skala yang besar. Perkembangan startup digital di Indonesia pada tahun 2019 dan 2020 menjadi tahun-tahun yang penting sekaligus menantang.

Pada tahun 2019, Indonesia yang diwakili oleh Jakarta berhasil masuk dalam jajaran kota dengan ekosistem startup terbaik di dunia. Bahkan di tahun 2020, rilis Global Startup Ecosystem Report 2020, yang dikeluarkan oleh Genome yang juga bekerjasama dengan MIKTI di Indonesia, menyatakan Jakarta sebagai peringkat kedua dalam Top 100 Emerging Ecosystem Ranking (MIKTI, 2021).

Pertama, perguruan tinggi dinilai memiliki peran dalam mencetak lulusan yang berpotensi menciptakan lapangan kerja sendiri. Namun, kenyataannya sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi cenderung memilih menjadi pencari kerja (job seeker) dibanding menciptakan lapangan kerja (job creator). Apabila dievaluasi dari sistem pendidikan di Indonesia, hambatan yang mungkin ditemui, yaitu: (1) Sistem pendidikan di Perguruan Tinggi Indonesia masih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukan lulusan yang siap menciptakan pekerjaan;

(2) Penyediaan sarana dan prasarana untuk kewirausahaan masih terbatas; (3) Kesiapan perguruan tinggi dalam mengelola program kewirausahaan seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Pelaksanaan Kuliah Kerja Usaha (PKU), dan Program Magang Kewirausahaan (PMK) masih belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan (Wiratno, 2012).

Kedua, minat berwirausaha di kalangan generasi muda sebenarnya sudah mulai berkembang, tetapi banyak hal yang terkadang menjadi penghambat. Beberapa tantangan yang dihadapi generasi muda, yaitu masih berkembangnya persepsi masyarakat yang menganggap bahwa bekerja sebagai pegawai pemerintah lebih terjamin dibandingkan menjadi wirausahawan. Belum lagi masih kentalnya anggapan bahwa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah suatu prestasi yang sangat membanggakan.

Ketiga, Regulasi pemerintah tidak memudahkan wirausahawan untuk mendapatkan akses pembiayaan, karena diwajibkan untuk memiliki legalitas usaha dan memenuhi berbagai persyaratan yang cukup sulit bagi pelaku usaha.

Pinjaman usaha yang digunakan sebagai modal terbanyak berasal dari: (1) pinjaman bank sebesar 49,36%; (2) pinjaman perorangan sebesar 33,47%; (3) pinjaman koperasi (6,85%), program pemerintah (4,97%); (4) lembaga keuangan non-bank (2,90%); dan (5) swasta (2,44%). Besarnya persentase pinjaman usaha Industri Mikro dan Kecil (IMK) yang berasal dari perorangan menunjukkan bahwa usaha ini masih bersifat sangat tradisional (BPS, 2020).

Penguatan dan Pembangunan Entrepreneurship, Pertama, strategi pengembangan kewirausahaan oleh perguruan tinggi: (1) memberikan materi Kewirausahaan yang lebih banyak praktik lapangan (learning by doing) dibandingkan pemberian materi yang sifatnya simulasi dalam kondisi yang tidak riil; (2) perguruan tinggi seharusnya melakukan update kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan dunia kerja (demand driven) seperti academic knowledge, analitical skill, managerial skill, teamwork, communication skill, dan leasdership;

(3) mengusahakan standar pelayanan minimal dalam menyelenggarakan program pendidikan kewirausahaan sehingga pola penyelenggaraan kewirausahaan dapat mencapai sasaran secara optimal. Kedua, melakukan edukasi kepada masyarakat berkaitan dengan kewirausahaan. Khususnya kepada para orang tua agar memotivasi dan mendidik anaknya untuk bisa menjadi entrepreneur sukses yang menciptakan lapangan pekerjaan dan bermanfaat untuk masyarakat sekitar.

Ketiga, pemerintah harus melakukan beberapa upaya: (1) Pemberdayaan UKM guna mendorong kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin melalui peningkatan kapasitas usaha, keterampilan, perlindungan, dan pembinaan usaha; (2) Pemerintah harus berperan memudahkan wirausahawan dalam akses pinjaman modal, pemerintah juga harus terus mengalokasikan sebagian APBN/APBD untuk perkuat UKM, selain itu meningkatkan peranan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dalam menggulirkan berbagai bantuan perkuatan kepada para wirausaha;

(3) meningkatkan akses pasar melalui peningkatan kualitas, desain, dan harga yang bersaing di pasar domestik maupun internasional, selain itu untuk meningkatkan akses pemasaran juga diperlukan adanya penyederhanaan regulasi.

“Semoga Orasi Ilmiah ini diberkahi Allah SWT dan mampu membangkitkan jiwa kewirausahaan dan jumlah wirausahawan bangsa Indonesia pada umumnya, dan Civitas Academica serta alumni UNM pada khususnya untuk mewjudkan Indonesia Emas, paling lambat pada 2045,” pungkas Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Komentar