Jumat, 26 April 2024 | 22:26
NEWS

Ancaman Kenaikan Dolar, Krisis Cadangan Devisa hingga Industri Kolaps

Ancaman Kenaikan Dolar, Krisis Cadangan Devisa hingga Industri Kolaps
Dolar dan Rupiah (Dok Tempo/Tony Hartawan)

ASKARA - Pengamat Ekonomi, Anthony Budiawan mengatakan, risiko krisis cadangan devisa Indonesia bisa membesar.

Hal itu, kata dia, menyebabkan pendapatan negara turun. Akibatnya, fiskal memburuk dan risiko krisis fiskal membesar.

"Jangan bilang krisis ekonomi di Indonesia sekitar 3 persen, tapi ekonomi tidak statis, ekonomi bergerak, kalau suku bunga naik otomatis risikonya tidak 3 persen lagi," ujarnya dalam Diskusi Politik Vox Point Indonesia, Rabu malam (20/7).   

Di sisi lain, jika Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga juga akan mengakibatkan capital outflow yang memicu terjadinya krisis cadangan devisa. 

"Maka akan bisa memicu krisis "valuta", rupiah akan lebih anjlok lagi," katanya. 

Jika BI menaikkan suku bunga, lanjutnya, akan terjadi inforted inflation.  Artinya, bahan baku energi yang berbasis US Dolar akan naik.

"Kalau suku bunga naik, ekonomi juga pasti akan melambat bisa kontraksi, krisis berkepanjangan namanya resesi," katanya.

Suryani Motik, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, yang menjadi narasumber dalam diskusi itu menyebut, kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih dalam keadaan "pingsan".

"Di bidang manufaktur sudah terjadi deindustrialisasi mungkin 10 tahun terakhir," ucapnya.

Penyebabnya, banyak faktor, dari sumber daya manusia hingga kebijakan pemerintah yang sering kali berganti. 

Dari dunia usaha, kata Suryani, jika dolar terus mengalami kenaikan akan sangat berpengaruh.  

"Jika dolar naik terus permintaan akan berkurang, dunia industri untuk membeli bahan baku akan berkurang, harga minyak tinggi, cost logistik tinggi, sementara daya beli masyarakat tidak ada, yang terjadi industri yang belum pulih dari Covid-19 kemarin akan semakin kolaps," katanya.

Hal itu kemudian bisa menyebabkan terjadi deindustrialisasi dan PHK besar-besaran. 

"Kalau PHK terjadi besar-besaran daya beli berkurang akan menjadi masalah, PHK besaran tidak bisa dihindari kalau dolar naik dan harga bahan baku naik," jelasnya.

Suryani menyarankan agar pemerintah menerapkan kebijakan yang prioritas. Dia menyebet megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang bisa ditunda untuk menyelamatkan ekonomi dan pemberian subsidi kepada masyarakat.  

"Rakyat juga nggak keberatan kalau misalnya BBN naik, tapi ada subsidi langsung buat mereka yang tidak mampu, supaya bisa mempertahankan daya beli dan menjaga stabilitas," ujarnya. 

Sementara, narasumber lainnya Wihadi Wiyanto, anggota Komisi XI DPR RI menyampaikan, krisis yang dihadapi Indonesia lebih parah pada tahun 1998 dimana dibarengi dengan krisis politik. 

Menurutnya, kondisi ekonomi saat ini dimana terjadi kenaikan nilai tukar mata uang dolar terhadap rupiah berawal dari pandemi Covid-19. 

"Kalau kita melihat dolar naik, krisis dan segala macam ini berawal dari pandemi. Justru yang terjadi bukan inflasi pada saat itu karena daya belinya turun pada saat pandemi justru distribusi terganggu semuanya," kata dia. 

Pemerintah, kata dia, kemudian bereaksi dengan mendorong beberapa program yaitu dengan PEN, Perlindungan Sosial dan lainnya untuk mendorong daya beli masyarakat. 

"Kenaikan suku bunga sudah diantisipasi pemerintah Indonesia. Karena dengan kenaikan suku bunga ini maka akan mengakibatkan koreksi terhadap nilai tukar mata uang rupiah. Itu memang saat ini terjadi, tetapi tidak secara drastis, mungkin 1,75 persen dan diperkirakan mencapai 3,5 persen tahun ini kenaikan suku bunga," jelasnya. 

Menurut penilaian Wihadi, Indonesia masih diuntungkan dengan harga komoditi. Saat ini justru komoditi di Indonesia naik sehingga koreksi dolar ke rupiah tidak seperti yang dikhawatirkan 

"Kalau misalnya tidak ada kenaikan harga komoditi mungkin lebih dari 15 ribu (nilai tukar dolar). Karena ada penerimaan yang kita dapat. Kemudian ada juga hal yang menahan laju daripada rupiah. Salah satunya utang luar negeri kita, dalam dunia usaha belum banyak yang jatuh tempo sehingga permintaan dolar itu tidak naik secara signifikan," terangnya.

Selain itu, kata Wihadi, lantaran Covid-19 banyak juga perusahaan yang menahan operasionalnya dan tidak melakukan utang luar negeri.

Kemudian, lanjutnya, yang menjadi pemicun kenaikan harga minyak dunia yang menyebabkan harga BBM di Indonesia selain Covid-19 adalah perang Rusia dan Ukraina. 

"Ini mengakibatkan kenaikan daripada gas, karena dengan embargo Eropa dengan Rusia yang tidak memperdagangkan gasnya dan minyaknya menyebabkan terjadinya inflasi," ujarnya.

Justru, tambahnya, yang perlu dikhawatirkan adalah terjadinya krisis pangan karena harga gandum, jagung dan lainnya mengalami kenaikan. 

"Suplai turun karena perang Rusia dan Ukraina itu mempengaruhi gandum dan produk pertanian dan juga pupuk. Apa yang dilakukan pemerintah dengan tidak menaikkan suku bunga karena memang belum saatnya dinaikkan," tandasnya.

Komentar