Sabtu, 27 April 2024 | 06:03
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri Apresiasi Peran Honda Marine Modernisasi Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan

Prof. Rokhmin Dahuri Apresiasi Peran Honda Marine Modernisasi Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan
Prof. Rokhmin Dahuri

ASKARA –Pakar kelautan dan perikanan dan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS mengapresiasi peran Honda Marine dalam modernisasi teknologi penangkapan ikan dan budidaya perikanan. Honda Marine yang merupakan mesin tempel untuk kapal yang memiliki beberapa keunggulan dibanding mesin lainnya. Melalui PT Alam Bahari Sukses, Honda menghadirkan mesin tempel untuk kapal di Sumatera Barat.

“Kehadiran mesin tempel untuk kapal Honda Marine dan sebagai upaya modernisasi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan kontribusi sektor perikanan bagi perekonomian secara berkelanjutan,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri saat menjadi keynote speaker pada pembukaan Dealer Honda Marine Padang PT. Alam Bahari Sukses Balroom Nike Mercure Hotel – Padang, Jumat, 27 Mei 2022.

Peran tersebut, jelasnya, antara lain: 1.Mesin Kapal Ikan yang modern dan ramah lingkungan beserta suku cadangnya, dengan energi matahari dan energi terbarukan lainnya; 2.Alat bantu penangkapan ikan: fish finder, GPS, dan lainnya; 3.Mesin pendingin untuk penyimpanan ikan di dalam Kapal Ikan; 4.Kincir air (pedal wheel) tambak udang/ikan; 5.Automatic feeder berbasis suara udang/ikan; Dll.

Menurutnya, produk Honda Marine 40 persen hemat BBM sehingga sangat membantu para nelayan di Sumbar. “Di satu sisi meningkatkan pendapatan, di sisi kedua mengurangi biaya melaut bagi nelayan. Jadi kita sambut dengan baik,” tuturnya.

Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin yang juga Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2021 – 2024  membahas tentang status dan tantangan pembangunan Provinsi Sumbar. Hingga September 2021, ungkapnya, tingkat kemiskinan Prov. Sumatera Barat sebesar 6,04% (Urutan ke-28 dari 34 Provinsi di Indonesia. Tingkat Pengangguran Terbuka (%)Hingga 2021, TPT Prov. Sumatera Barat sebesar 6,52% (tertinggi ke-8 dari 34 Provinsi di Indonesia)

Prof. Rokhmin Dahuri, menjelaskan, distribusi PDRB adhb Provinsi Sumatera Barat terdiri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Transportasi dan Pergudangan. Hingga September 2021, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Prov. Sumatera Barat sebesar 72,65 (tertinggi ke-9 dari 34 Provinsi di Indonesia).

Lebih lanjut, Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu mengatkan, bahwa Provinsi Sumatera Barat memiliki posisi strategis. Berada di pesisir barat Sumatera bagian tengah yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Diapit oleh empat provinsi: Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu. Kontribusi sektor perikanan Sumbar terhadap PDRB adhb terus meningkat, rata-rata 2,4% per tahun

Sejak tahun 2014, produksi perikanan budidaya Sumbar melebihi produksi perikanan tangkap Sumatera Barat berada pada urutan ke-22, dengan jumlah kapal sebanyak 28.018 unit (1,96% dari jumlah total kapal se Indonesia).

Kemudian Prof Rokhmin juga mengupas program pembangunan kelautan dan perikanan Sumbar, yang mencakup perikanan tangkap, perikanan budidaya, pemangunan industri pengolahan dn pemasaran hasil perikanan, serta pembangunan bioteknologi kelautan dan pembangunan kelautan.

Mengutip dkp.sumbarprov.go.id, pada 2021 Potensi Lestari (MSY) SDI Laut Sumbar sebanyak 565.100 ton/tahun. Hingga 2020, tingkat pemanfaatan potensi tersebut baru 36,31%. Sementara, Produksi Perikanan Laut Sumbar menurut Komoditas Utama terbesar berasal dari Kabupaten Pasaman Barat (52%), antara lain: Jumlah Kapal Perikanan Laut Sumbar, Kapal Motor (KM): 2.620 unit, Perahu Motor Tempel: 18.964 unit, Perahu Tanpa Motor: 3.135 unit dengan Prorporsi jumlah MT >30 GT hanya 0,28%

Sedangkan Pelabuhan Perikanan (PP) di Sumbar terdiri 1 PP Samudera/PPS (Bungus), 6 Pangkalan Pendaratan Ikan/PPI (Air Bangih, Sasak, Tiku, Carocok, Pasar Kambang, dan Sikakap), 1  Pelabuhan Perikanan (Muara Anai). Dengan jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) Kab./Kota Pesisir Sumatera Barat, 2019 Skala Menengah-Besar: 2 Unit, Skala Mikro-Kecil: 628 Unit.

Selain itu, sebaran UPI Kab./Kota Wilayah Pesisir Sumbar, 2019 (unit) Jumlah UPI terbanyak berada di Kabupaten Agam (37%). Adapun beberapa produk olahan perikanan Sumbar terdiri Abon Ikan Tuna, Kerupuk Ikan Tenggiri, Dendeng Ikan, Teri Kering, Ikan Asin, Cakalang Beku.

Disisi lain, karena cuaca buruk atau musim paceklik ikan, pada umumnya nelayan sekitar 4 bulan tidak melaut, dan menganggur (tidak ada pekerjaan lain)  Akibatnya, banyak yang terjerat utang kepada rentenir dengan bunga sangat tinggi (60%).

Kemudian, posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga sangat tidak diuntungkan.  Ketika membeli sarana produksi, harganya jauh lebih mahal ketimbang harga di pabrik.  Sebaliknya, pada saat mereka menjual ikan hasil tangkapan atau budidaya, harganya jauh lebih murah dari pada harga di konsumen (pasar) terakhir.  Ini karena banyakanya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga), dan mereka mengambil untung besar.

Pada umumnya pemukiman nelayan kurang higienis dan sehat, sehingga para nelayan dan keluarganya rentan terhadap penyakit (ISPA, kulit, dan waterborbe dieases) menurunkan produktivitas dan meningkatkan pengeluaran rumah tangga.

Begitu pula, asupan gizi makanan keluarga nelayan kurang sehat dan kurang berimbang, terlalu banyak nasi dan ikan, tetapi sangat kurang buah dan sayuran  Prevalensi penyakit gula dan stroke cukup tinggi menurunkan produktivitas dan menaikkan pengeluaran keluarga (Kemenkes, 2014).

Tak hanya itu, kebanyakan nelayan kurang mampu mengelola keuangan keluarga secara bijakana (“lebih besar pasak dari pada tihang”). Lalu, overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing. Pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisir, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain. Bahkan, kecelakaan dan perampokan di laut.

Selanjutnya, dampak negatip Perubahan Iklim Global (seperti peningkatan suhu dan permukaan laut, cuaca ekstrem, pemasaman perairan), tsunami, dan bencan alam lain. Rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya. Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah. Ditambah kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif.

Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, Indonesia memiliki potensi pembangunan yang lengkap dan sangat besar untuk menjadi negara maju, makmur, dan berdaulat. Namun, karena belum ada Peta Jalan Pembangunan Bangsa (Nasional) yang komprehensif dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan, kualitas SDM relatif rendah, dan defisit kepemimpinan (nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan desa).  

“Maka, sudah 76 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai lower-middle income country, belum sebagai negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat sebagaimana cita-cita kemerdekaan  RI,” sebut Prof. Rokhmin Dahuri lewat paparanya berjudul “Modernisasi Tekonologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Nelayan Dan Kontribusi Sektor Perikanan Bagi Perekonomian Secara Berkelanjutan”.

Prof Rokhmin Dahuri selaku Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu meyakini Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang lengkap dan sangat besar untuk menjadi bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat, antara lain:

1. Jumlah penduduk 274 juta orang (terbesar keempat di dunia) dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah, dan dapat bonus demografi dari 2020 – 2040 merupakan potensi human capital (daya saing) dan pasar domestik yang luar biasa besar.

2. Kaya Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun di laut. Potensi Produksi barang dan jasa (goods & services) sangat besar

3. Posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk dengan nilai 15 trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2012).  Catatan: Selat Malaka (ALKI-1) merupakan jalur transportasi laut terpadat di dunia, 200 kapal/hari

4. Rawan bencana alam (70% gunung berapi dunia, tsunami, dan hidrometri)  mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa.

Sayangnya, berdasarkan status pembangunan beberapa negara Asia berdasarkan GNI (Gross National Income) per kapita (dolar AS) pada 2021, Indonesia turun kelas kembali menjadi negara menengah bawah. “Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017),” katanya.

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan dari 2005 – 2014, 10% orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun.  Sementara, 40% rakyat termiskin, tingkat konsumsinya hanya tumbuh 1,6% per tahun.  Bahkan Bank Dunia mengungkapkan, total konsumsi dari 10% penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54% penduduk termiskin.

“Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekarang, menurut Institute for Global Justice, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” sebutnya.

Dari bermacam literatur, Prof. Rokhmin Dahuri menyebut ada 10 tantangan dan permasalahan pembangunan untuk menggapai Indonesia Emas, antara lain:  

1. Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun); 2. Pengangguran & Kemiskinan; 3. Ketimpangan Ekonomi Terburuk Ke-3 Di Dunia; 4. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah; 5. Fragmentasi Sosial-Politik Yang Mengancam Persatuan Dan Kesatuan Bangsa;

Selanjutnya, 6. Deindustrialisasi; 7. Kedaulatan Pangan, Farmasi, Dan Energi Rendah; 8. Inovasi, Daya Saing & Ipm Rendah; 9. Kerusakan Lingkungan & SDA; 10. Volatilitas & Disrupsi Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Rusia vs Ukraina, Industry 4.0, dan Pandemi Covid-19).

Sedangkan, lanjutnya, perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19. Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (Maret 2021), yakni pengeluaran Rp 472.525/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan. Sementara, menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2020 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk).

“Yang memprihatinkan, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Dimana 1 persen orang terkaya sama dengan 45 persen kekayaan Negara , sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. “Ketimpangan sosial ini, akan berdampak buruk terhadap kohesifitas sosial, stabilitas politik, dan akhirnya mengguncang iklim investasi dalam negeri,” katanya.

Selanjutnya, terang Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu, pertumbuhan ekonomi dan kontribusi PDRB menurut Pulau, Triwulan I dan II-2021, masih di dominasi oleh kelompok Provinsi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB TW-1 sebesar 58,70% dan TW-2 Sebesar 57 %. Disamping itu, kekurangan rumah yang sehat dan layak huni dari 65 Juta rumah tangga masih 61,7 % rumah tidak layak huni. Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945.

Mengutip data World Digotal Competitiveness, yakni penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan. “Pada 2021, Indonesia berada pada urutan ke-53 dari 64 negara. Pada 2017-2019, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2019 diurutan ke-50 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN,” tuturnya.

Sementara itu, lanjut Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kelautan dan Perkanan itu, dari data UNCTAD dan UNDP (2021), implikasi dari rendahnya kualitas SDM, kapasitas riset, kreativitas, inovasi, dan entrepreneurship adalah proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1 persen; selebihnya (91,9 persen) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah. "Sementara, Singapura mencapai 90 persen, Malaysia 52 persen, Vietnam 40 persen, dan Thailand 24 persen," sebutnya.

Bahkan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, permasalahan dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan di Provinsi Sumatera Barat, antara lain:

Pertama, sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro. Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI, produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

Kedua, ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan, alias miskin.

Ketiga, sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran. Sehingga, tidak ada kepastian harga jual ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi.

Keempat, pada umumnya, tingkat pemanfaatan Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Bioteknologi Perairan, SD Non-Perikanan, dan jasa-jasa lingkungan kelautan belum optimal (underutilized).

Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri juga membahas kebijakan dan program peningkatan pendapatan nelayan, yaitu: (1) Peningkatan produktivitas (CPUE, Hasil Tangkap per Satuan Upaya) secara berkelanjutan (sustainable). Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata > US$ 300 (Rp 4,2 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan.

“Maka, perlu modernisasi armada kapal ikan tradisional yang ada saat ini, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan//bulan. Pengembangan kapal ikan modern (> 30 GT) dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan SDI di wilayah laut 12 mil – 200 mil (ZEEI), dan  Kapal Ikan > 50 GT untuk laut lepas > 200 mil ( International Waters atau High Seas). Intensitas (laju) penangkapan = MSY. Kurangi intensitas laju penangkapan di wilayah overfishing, dan tingkatkan laju penangkapan di wilayah underfishing,” tuturnya.

Yang berikut (2) Nelayan harus menangani ikan dari kapal di tengah laut hingga didaratakan di pelabuhan perikanan (pendaratan ikan) dengan cara terbaik (Best Handling Practices), sehingga sampai di darat kualitas ikan terpelihara dengan baik, dan harga jual tinggi.  Cool Box, RSW, dll; (3) Revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai Kawasan Indsutri Perikanan Terpadu (industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjang), dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualitas dan keamanan pangan (food safety).

Kemudian (4) Untuk jenis-jenis ikan ekonomi penting, harus ditransportasikan dari Pelabuhan Perikanan ke pasar domestik maupun ekspor dengan menerapkan cold chain system. Model Kawasan Industri Perikanan Terpadu: Industri Pengolahan, Sarana Produksi, Perumahan Nelayan & Pembudidaya, Lembaga Ekonomi, dan Pelabuhan; (5) Pemerintah wajib menyediakan sarana produksi dan perbekalan melaut (kapal ikan, alat tangkap, mesin kapal, BBM, energi terbarukan, beras, dan lainnya) yang berkualitas tinggi, dengan harga relatif murah dan kuantitas mencukupi untuk nelayan di seluruh wilayah NKRI;

Selanjutnya, (6) Pemerintah menjamin seluruh ikan hasil tangkapan nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat dijual kapan saja dengan harga sesuai ‘’nilai keekonomian” (menguntungkan nelayan, dan tidak memberatkan konsumen dalam negeri); (7) Pada saat nelayan tidak bisa melaut, karena paceklik ikan maupun cuaca buruk (rata-rata 3 – 4 bulan dalam setahun), pemerintah wajib menyediakan mata pencaharian alternatif (perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, agroindustri, dan potensi ekonomi lokal lainnya), supaya nelayan tidak terjerat renternir, seperti selama ini.

Berikutnya, (8)Evaluasi dan perbaikan sistem bagi hasil antara pemilik kapal dengan nelayan ABK supaya lebih adil dan saling menguntungkan; (9) Pemerintah harus menyediakan skim kredit perbankan khusus untuk nelayan, denga bunga relatif murah (3% per tahun) dan persyaratan relatif lunak; (10) Penyediaan asuransi (jiwa maupun usaha) untuk nelayan; (11) Pemberantasan IUU fishing dan destructive fishing; (12) Restorasi dan pemeliharaan lingkungan: pengendalian pencemaran, rehabilitasi hutan mangrove, terumbu karang dan ekosistem pesisir yang rusak, restocking, dan stock enhancement.

Lalu, (13) Mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lain; (14) P emerintah harus melaksanakan DIKLATLUH tentang teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan, Best Handling Practices, dan konservasi secara reguler dan berkesinambungan.

Terkait kebijakan dan program pengendalian pengeluaran dan resiko nelayan, Prof Rokhmin menuturkan, 1. pemerintah membantu membangun kawasan pemukiman nelayan yang bersih, sehat, cerdas, produktif, aman, dan indah. “Sehingga, nelayan beserta anggota keluarga bisa hidup dan tumbuh kembang dengan sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong itu.

2. Penyuluhan dan pendampingan manajemen keuangan keluarga agar nelayan dan anggota keluarganya bisa hidup ‘tidak lebih besar pasak dari pada tihang’ seperti pembatasan jumlah anak, gemar menabung, dan lainnya.

3. Selain kerja cerdas dan keras sebagai nelayan, mereka harus meningkatkan iman, taqwa, dan doa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.

“Jika ekonomi Kelautan dan Perikanan dikembangkan dan dikelola dengan menggunakan inovasi IPTEKS dan manajemen mutakhir, maka sektor ekonomi KP akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa (khususnya pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosek, dan disparitas pembangunan antar wilayah), dan secara simultan dapat mengkselerasi terwujudnya INDONESIA EMAS (Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat) pada 2045,” tutup Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany itu.

Komentar