Kamis, 23 Mei 2024 | 15:09
COMMUNITY

Beny Sanjaya: Blangkon Ciri Khas Lelaki Jawa, Dalam Ketidakan dan Tidak Dalam Keiyaan

Beny Sanjaya: Blangkon Ciri Khas Lelaki Jawa, Dalam Ketidakan dan Tidak Dalam Keiyaan
Beny Sanjaya (nomor 2 kiri)

ASKARA - Beny Sanjaya atau KRH Joyodipuro mengatakan, bahwa zaman sekarang ini orang memakai Blangkon hanya pada acara tertentu saja, seperti penikahan atau kegiatan budaya.

“Kadang memakai blangkon di anggap aneh dan kadang di kira seorang dukun atau klenik, kalau zaman dulu memakai blangkon dilakukan semua orang dan masyarakat, di daerah daerah Alhamdulillah masih saja blangkon di pakai dan sebagai ciri khas lelaki Jawa,” ujar Budayawan dan  Spiritualis Surakarta kepada Askara, Jumat (25/2) malam. 

Blangkon, jelasnya. adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Menurut wujudnya, blangkon dibagi menjadi 4 blangkon Ngayogyakarta, blangkon Surakarta, blangkon Kedu, dan Blangkon Banyumasan.

Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon.

Blangkon, menurut Beny  sebenarnya adalah bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Dari beberapa tipe blangkon, ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan. Dari beberapa sumber mengatakan,

“Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas,” jelasnya.

Memahami budaya Jawa dari sudut pandang orang Jawa (modern), ungkapnya, sampai saat ini masih sangat sulit. Orang Jawa senang dengan ketidak jelasan (mbulet) dan gemar dengan kebasa – basian atau tidak To the point.

Apabila ditawari sesuatu pun akan menjawab matur nuwun, mboten, sampun semuanya penolakan halus, padahal mungkin hatinya mau. Maka kebanyakan orang sering mengatakan orang Jawa itu "ya dalam ketidakan dan tidak dalam keiyaan".

Jangan salah sangka, tidak setiap orang Jawa yang berbahasa mlipir dengan sikapnya yang halus, juga memiliki watak (sifat) asli yang yang tergambar dari sikapnya. “Bisa jadi dia seorang yang culas, pendendam atau licik. Tentunya hal ini merupakan suatu kondisi yang kontradiktif. Tutur kata dan sikap santun yang ditunjukkan kadang hanyalah untuk menutupi niat dalam hati,” tuturnya.

Maka, lanjut KRH Joyodipuro, falsafah blangkon kemudian disematkan pada sikap orang Jawa yang seperti itu, tetapi tidak semua dari orang jawa seperti itu. “Dari depan blangkon terlihat rapi tetapi di belakang ada mbendholnya (mondholan), menggambarkan sikap beberapa orang Jawa yang pandai menyimpan maksud dan tujuan,” katanya.

Lebih lanjut Benny mengatakan, sekarang lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan mempunyai rambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada bagian belakang blangkon.

“Pada dasarnya, ada 2 jenis blangkon yaitu gaya Surakarta (Solo) dan gaya Yogyakarta. Blangkon gaya Surakarta mondholannya trepes atau gepeng sedang mondholan gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde – onde,” pungkas pengusaha sukses ini.

 

Komentar