Sabtu, 27 April 2024 | 07:41
NEWS

dr Andreas Pekey: Perlukah Standarisasi Satu Kelas Pelayanan Perawatan di Rumah Sakit?

dr Andreas Pekey: Perlukah Standarisasi Satu Kelas Pelayanan Perawatan di Rumah Sakit?
dr Andreas Pekey, Sp.PD, Wadir RSUD Jayapura, Papua
ASKARA - Pemerintah berencana menghapus kelas rawat inap dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2022. Kabar tersebut kini menjadi perdebatan semua kalangan. 
 
Wakil Direktur (Wadir)  RSUD Dok 2 Jayapura dr Andreas Pekey Sp.PD ikut menanggapi hal tersebut. Ia mengatakan bahwa pro kontra terkait adanya perubahan kelas rawat inap, adalah hal biasa. Inti pokok perubahan tersebut,  adalah dengan rencana menghapus pembagian kelas 1, 2 dan 3 menjadi kelas standar (standar A dan standar B).
 
Menurut Wadir RSUD Jayapura, pembagian kelas 1, 2 dan 3 sebenarnya sudah mewakili kemampuan ekonomi si pasien membayar iuran peserta BPJS Kesehatan.
 
Dikatakan dokter penyakit dalam lulusan Universitas Indoensia ini, jika memang standarisasi rawat inap dilakukan sebenarnya tidak menjadi masalah.
 
"Tapi, ini ada tapinya, pertama apakah pasien yang selama ini membayar sesuai kelasnya mau menyesuaikan standar baru yang direncanakan bagi peserta BPJS Kesehatan. Kedua, apakah semua rumah sakit dapat menyesuaikan sarana prasarana dan ketersediaan SDM (sumber daya manusia)  sesuai hak pasien? Terutama rumah sakit di perifer/pinggiran. Ketiga, jika standarisasi mengurangi jumlah tempat tidur perkamarnya misalnya dari enam tempat tidur kelima tempat tidur.  Apakah daya tampungnya tidak berkurang? Ini mesti diperhatikan," kata dr Andreas Pekey, Sp.PD di ruang kerjanya, Jumat (17/12/2021).
 
Kata Wadir RSUD Jayapura, adalah bila akan diubah standar mana yang akan menjadi patokan kelasnya. 
 
Dokter Andreas mencontohkan, misalnya kelas 3 dengan kapasitas enam tempat tidur dijadikan standar. Peserta BPJS yang sebelumnya membayar kelas 1 apakah mau menumpuk dalam ruangan yang banyak tempat tidurnya di kelas 3?
 
Dalam hal ini, sebagai Wadir RSUD Jayapura kembali mempertanyakan, kelas mana yang akan dipakai sebagai standarisasi kelas. Apakah ruangan dengan enam tempat tidur, empat tempat tidur atau yang mana?
 
"Ini kan akan menjadi acuan bagi RS (rumah sakit) untuk menyesuaikan sarana prasarana dalam standarisasi," ujarnya.
 
"Masalah daya tampung rumah sakit. Saya contohkan rumah sakit ini (RSUD Jayapura), kalau satu ruangan ada enam tempat tidur terus diubah lagi menjadi empat tidur, maka akan  terjadi kehilangan dua tempat tidur. Ini akan mengurangi daya tampung pasien. Jangan sampai pasien membludak di IGD (instalasi gawat darurat),  jadi sebelum ada perubahan setidaknya dilihat kembali standarisasi rumah sakit-rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia," harapnya.
 
"Nanti yang menjadi masalah ada pada pasien. Sudah membayar tapi tidak mendapatkan fasilitas yang diinginkan. Dan akhirnya rumah sakit yang disalahkan," ucapnya.
 
Dokter muda ini juga menambahkan, bila perubahan ini terjadi jangan sampai rumah sakit yang menjadi beban karena tidak bisa memberikan pelayanan sesuai standar iuran yang mereka bayar. Perlu diketahui bahwa pembayaran iuran peserta BPJS Kesehatan ke kas BPJS Kesehatan, bukan ke rumah sakit, puskesmas atau ke klinik.
 
"Rumah sakit, puskesmas dan klinik  hanya melayani pasien peserta BPJS Kesehatan. Rumah sakit tidak menampung iuran yang dibayar oleh peserta. Jangan sampai masyarakat salah pemahaman soal ini," katanya.
 
 Perlukah Pembayaran Iuran Disamaratakan? 
 
Wadir RSUD Jayapura ini juga menambahkan bahwa kalau menjadi standarisasi ruang inap, tentunya pembayarannya disamaratakan agar tidak ada ketimpangan  pasien atau peserta BPJS Kesehatan.
 
Diceritakan Wadir RSUD Jayapura, soal sarana dan prasarana ruang kelas, misalnya kelas 1 di kota besar dan kota kecil bahkan di wilayah pegunungan seperti di Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan lainnya di Papua tidak sama dalam pelayanan dan fasilitas untuk pasien.
 
Mantan Direktur RSUD Nabire ini menuturkan, akan lebih baik bila perubahan tersebut disertakan dengan keseragaman standar layanan semuanya fasilitas kesehatan di semua tempat. 
 
"Contoh pasien kelas 1 di  kota besar seperti di Jakarta ditangani seorang profesor atau dokter spesialis mestinya disamakan juga dengan di daerah. Kan sama-sama kelas 1, apakah ini bisa? Ini yang harus dipikirkan, supaya tidak ada kesenjangan," tutur dia.
 
Untuk itu, dokter spesialis penyakit dalam ini meminta agar pemerintah lebih memperhatikan hak-hak masyarakat dalam keseragaman pelayanan dan fasilitas kesehatan.
 
Ditambahkan dr Andreas Pekey, pemerataan SDM dapat dilakukan dengan membuat program khusus, seperti membuka lowongan kerja dengan merekrut dokter-dokter spesialis dan dibiayai oleh kementerian lalu disebar keseluruh daerah yang belum ada SDM dokter spesialisnya. Tentunya jangan dipaksa penugasan mereka agar tidak menjadi kesalahpahaman.
 
"Kami sebagai penyedia jasa pelayanan masyarakat di rumah sakit akan siap bila ada perubahan di BPJS Kesehatan terkait standarisasi rawat inap. Walaupun nantinya manajemen yang dibuat sibuk dalam perubahan ini. Kami mendukung perubahan itu, tapi kami juga berharap pemerintah lebih teliti dan melihat kembali soal ini agar tidak merugikan semua pihak," pungkas Wadir RSUD Jayapura dr Andreas Pekey, Sp.PD. 

Komentar